RISALAH SEJARAH ULAMA ASWAJA NUSANTARA DAN DISTORSI YANG DILAKUKAN KAUM WAHABI TERHADAPNYA
Oleh: Milisi Oposisi Naga
Daftar Isi:
1. Pendahuluan
2. Kehebatan Ulama-ulama Aswaja Nusantara di Masa Lalu
5. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan oleh Wahabi terhadap Polemik Pembaharuan di Minangkabau
6. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan Wahabi terhadap KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyyah-nya di Tanah Jawa
7. Van Der Plas, Syeikh Ahmad Syurkati (Pendiri Al-Irsyad) dan Peranan Freemasonry-Wahabi dalam Distorsi Sejarah Muhammadiyah
1. Pendahuluan
“....Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para rohaniawan non-Yahudi (muslim) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan di mana-mana. Tinggal masalah waktu, maka agama-agama itu akan bertumbangan…” (Protokol Zionis ke 17).
Salah satu kejahatan Wahabi dan seluruh varian harokah yang berafiliasi serta menganut akidah yang sama dengannya, di luar pentahrifan kitab-kitab ulama klasik, adalah memanipulasi sejarah ulama aswaja khususnya ulama aswaja Nusantara yang sangat dihormati oleh kalangan umat Islam berbasic tradisional.
Seperti yg ditulis baru-baru ini di sebuah situs resmi harokah yang mengklaim bahwa KH. Wahab Hasbullah salah seorang tokoh pendiri NU yang juga berperan dalam pendirian NKRI sebagai seorang yang mendukung sebuah konferensi yang memperjuangkan tegaknya kembali khilafah. Dalam hal ini tentu saja khilafah versi pemahaman mereka bukan versi pemahaman aswaja. (sIlahkan di cek tulisan mengenai hal tersebut di http://hizbut-tahrir.or.id/ 2012/05/15/ sejarah-umat-islam-indonesia-se jarah perjuangan-syariah-dan-khilafa h/).
Sebelum itu telah kami temukan juga sebuah tulisan di sebuah blog mengenai KH. Hasyim Asy’ari yang dikatakan panjang lebar sebagai ulama yang anti terhadap bedug dan perayaan Maulid. (Silahkan baca di http://axingx.blogspot.com/ 2012/07/ kh-hasyim-asyary-tolak-beduk-ma ulid.html).
Selain itu mereka juga memanipulasi fakta sejarah polemik yang terjadi antara Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan para ulama thariqat di ranah Minang di zamannya, sebagai alibi untuk mengatakan beliau sebagai seorang ulama yang anti thariqat sufi dan pendukung gerakan pembaharuan islam ala Wahabiyah Muhammad Abduh.
Hal ini tentunya membuat kami sebagai generasi muda Aswaja pemerhati sejarah bertanya tanya: “Manufer apalagi yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Indonesia sekarang ini? Apakah setelah gagal atau paling tidak kurang berhasil memalingkan kaum muslimin dunia dan Indonesia pada khususnya dari aqidah Asy’ariyah-Maturidiyah dan dari madzhab Imam yang empat dengan segala vonis sesat, bid’ah dan kafirnya lalu mereka sekarang melakukan ini? Atau memang mereka sudah tidak percaya diri lagi mengusung nama ulama ulama Wahabiyahnya yang selama ini selalu mereka jadikan sumber hujjah sehingga mereka berusaha membajak ulama ulama Aswaja sebagai sumber hujjah baru mereka?”
Entahlah. Namun menurut pengamatan kami ketidakpedulian generasi muda Islam akan sejarah keislaman negerinya sendirilah yang membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kejahatan Wahabi yang satu ini. Siapapun yang cenderung silau dengan apapun yang berbau Timur Tengah alias Arab sentris, lebih mengenal ulama ulama khalaf/mutakhir Timur Tengah wabil khusus yang mengusung sesuatu yang mereka sebut sebagai Gerakan Pembaharuan Islam yang berpusat di Arab Saudi sana. Maka dialah mangsa yang tak perlu lagi diburu oleh para Wahabi yang melakukan distorsi sejarah ini.
Atau mereka yang bersemangat meneriakkan gerakan penegakan kembali khilafah, pemberlakuan syariah Islam yg salah kaprah dan basah kuyup dalam gegap gempita gerakan Pan islamisme radikal-fundamental yang berakar dari buah fikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hassan al-Bana, Taqiyudin an-Nabhani, Sayyid Quthb dan sejenisnya maka pastilah juga yang menjadi mangsa empuk korban distorsi sejarah ini.
Kami tidak bicara omong kosong. Coba lihat berapa banyak anak muda Islam yang aslinya berasal dari keluarga berbasic Nahdliyyin dan mungkin juga Pertiyyin yang putar haluan menentang akidah dan amalan-amalan orang tuanya sendiri setelah mengenal Islam dari sumber yang salah. Sumber-sumber yang menampilkan wujud Islam yang tampak kemasan luarnya lebih nyunnah, yang semangatnya berapi-api, gagah dan mengobral surga instant serta murah berbungkus kaleng berlabel jihad dunia maya yang merupakan produk import dari Saudi Arabia, Mesir, Yaman, Qatar, Kuwait, Iran, Palestina, Syuriah dan Jordania.
Produk-produk import Wahabisasi global yang berbumbu manis jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits sesuai pemahaman para salafus sholeh” dengan dalil-dalil yang shahih, sharih dan rajih.
Ahaha...., siapakah yang tak akan mabuk kepayang lupa daratan yang dipijak, lupa air bumi mana yang diminum dan lupa udara mana yang setiap detiknya dihirup jika terkena slogan agama sedahsyat itu? Sedangkan yang dari kalangan Muhammadiyyin lebih parah lagi karena sejarah Muhammadiyah memang telah mengalami distorsi sedemikian rupa secara sistematis semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Mereka lebih mengenal tauhid trinitas ala Wahabi yang tak berdasar dan bak martabak dibelah tiga itu ketimbang sifat 20.
Mereka malu mengakui kenyataan bahwa ibunya ikut pengajian Aswaja, hobi maulidan, ratiban, dan tahlilan. Atau si Mbahnya ada yang berbaiat kepada thariqat-thariqat sufi serta hobi tirakatan dan ngobong (membakar) menyan. Mereka lebih mengenal pemikiran dan fatwa-fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan sang muhadits nomer wahid Syeikh Albani ketimbang pemikiran Syeikh Muhammad Sa'ad al-Khalidi Mungka Tuo atau KH. Hasyim Asy’ari misalnya.
Dan kalaupun mereka mengenalnya maka sosok yang dikenal adalah sosok ulama aswaja yang telah didistorsikan oleh tangan-tangan kreatif seperti di 2 (dua) buah link yang kami cantumkan di atas.
Lalu yg terjadi kemudian adalah klaim-klaim sok tahu kalau mereka dalam aktifitas gerakan dakwahnya juga terpengaruh oleh pemikiran Kyai Hasyim misalnya. Namun disaat bersamaan mereka memuja-muja Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sampai langit yang ke tujuh “Oooh muwahiddun”. Entah ke mana logika dan akal sehatmu kau campakkan? Masihkah dia ada bersemayam di dalam kepalamu saat ini seperti bersemayamnya Allah di atas ArsyNya yang kau yakini sebagai akidah yang haq? Atau dia sudah kabur entah ke mana.
Atau mungkin kesadaran historismu yang teramat sangat miskin itulah yang membuatmu begitu? Karena tidaklah mungkin seorang yang akalnya berfungsi dengan baik mengaku terpengaruh oleh dua tokoh yang bahkan dalam masalah ushuludin saja bagai bumi dan langit bedanya, dimana yang satu menyelisihi yang lainnya.
Namun mereka ini sebenarnya adalah korban. Ya! korban dari sebuah konspirasi manipulasi sejarah yang secara sistematis dilancarkan dari dalam tubuh Islam sendiri oleh Illuminati-Freemasonry serta agen-agennya.
Karenanya, sebuah usaha pangkajian sejarah Aswaja Nusantara secara mendalam sangatlah diperlukan. Ketahuilah saudara-saudara kami yang hobi klaim dan memanipulasi sejarah sana sini. Tindakan kalian akan mendapat perlawanan yang sengit dari kami. Sejarah tak bisa kalian putar balikkan seenak kepentingan kalian.
2. Kehebatan Ulama-ulama Aswaja Nusantara di Masa Lalu
Para ulama kita dahulu memang hebat-hebat adanya. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh dunia dan mengharumkan serta melambungkan nama Nusantara ke pentas dunia Islam internasional. Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf al-Makassari (Makassar) dan Syekh Abdur Rauf as-Sinkili (Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdus Shomad al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis al-Banjari (Kalsel), Syekh Arsyad al-Banjari (Kalsel) merupakan ulama tasawuf thariqat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18.
Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin ar-Raniri (Aceh), Syekh Abdur Rahman al-Masry al-Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan) dan lain-lainnya.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena mereka tidak sekadar menuntut ilmu tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Tercatat ada 2 nama ulama Indonesia yang menjadi Imam di Masjidil Haram Mekkah, yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Tersebut jualah Syeikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo yang telah melanglang buana menuntut ilmu sampai ke Mekkah, Madinah dan Yaman disaat bahkan penduduk Indonesia mungkin belumlah mengenal memakai celana apalagi yang berbahan dan bermodel pantalon. Atau mungkin sebagian dari kita juga akan asing mendengar nama KH. Kholil Bangkalan, KH. Sholeh Darat Semarang, Buya Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Buya H. Sirajuddin Abbas, Syekh Tuanku Shaliah Keramat dan Syeikh Mahfudz Termas. Serta masih puluhan bahkan ratusan nama ulama-ulama Indonesia yang hebat di masanya yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu di sini.
Seluruh ulama pilih tanding Nusantara yang disebutkan di atas adalah ulama berakidah Asy’ariyah-Maturidiyah dan bermadzhab Syafi’iyah, madzhab yang lazim dianut oleh penduduk muslim Nusantara semenjak dulu kala. Tak satupun diantara mereka yang berakidah Mujasimah-Musyabihah, dan berfaham ekstrim nyeleneh anti madzhab imam yang empat alias Wahabiyah. Lebih jauh lagi seluruh mereka adalah para sufi, ulama-ulama thariqat yang bertassawuf.
Sebuah kenyataan historis yang mencengangkan mengingat ulama-ulama thariqat saat ini dikecam secara membabi buta dengan sebutan “kaum sufi yang tolol dan terbelakang” oleh orang-orang ahistoris tak tahu diri yang mengklaim diri mereka sebagai penegak tauhid.
Mereka buta akan fakta bahwa setelah era keemasan Walisongo di tanah Jawa dan ulama-ulama besar di tanah Sumatera serta Melayu pada umumnya para ulama sufi yang tolol dan terbelakang itulah yang menjadi imam-imam panutan tempat bertanya dan menuntut ilmu serta merenangi samudera keilmuan Islam yang nyaris tak terlihat bibir pantainya.
Dari tangan tangan mulia para ulama serta para wali Allah inilah kemudian lahir ulama-ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan dan lainnya yang kelak sangat berperan dalam membebaskan bangsa Indonesia pada umumnya dan umat islam nusantara pada khususnya dari belenggu penjajahan Belanda.
3. Gerakan Pembaharuan Islam Mesir dan Efeknya pada Ulama-ulama Indonesia serta Polemik antara Golongan Tradisional serta Modern yang Dimanipulasi oleh Wahabi di Masa Kini
Mereka para ulama yang kami sebutkan panjang pendek perihalnya di atas, terkemuka di dalam dunia keilmuan Islam tak hanya di Nusantara melainkan juga di dunia selama abad ke 18 dan paruh kedua abad ke 19 serta awal abad ke 20. Hingga akhirnya hembusan gerakan pembaharuan islam bertiup dari Mesir, setelah beberapa waktu sebelumnya berhembus pula dari Najd. Namun anehnya sumber hembusan terdahsyat justru datang dari Perancis.
Ya, tersebutlah 3 tokoh di sini: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Uniknya majalah al-Manar yang merupakan corong propaganda ide-ide pembaharuannya diterbitkan pertama kali saat mereka berada di Paris-Perancis. Bukankah sebuah keanehan pembaharuan islam namun dihembuskan dari negeri kafir penjajah yang terang-terang dikenal sebagai salah satu markas gerakan Freemasonry dunia?
Sepintas lalu ide pembaharuan yang digagas mereka itu sangatlah luar biasa. Ide-ide tentang modernisasi pendidikan islam, sosial dan politik tentunya tak dapat dipungkiri memang diperlukan oleh kaum muslimin di seluruh belahan dunia yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat saat itu. Tiba-tiba saja al-Manar menjadi konsumsi bacaan populer para pelajar Islam di Mekkah saat itu, tak terkecuali ulama-ulama asal Nusantara seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang sedang belajar di sana. Tak sedikit dari para pelajar itu lalu beramai-ramai ke Mesir untuk bertemu dan kursus kilat gerakan tajdid (pembaharuan) kepada Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.
Namun gerakan modernisasi Islam alias gerakan tajdid ini menyimpan racun yang justru sangat mematikan bagi umat Islam itu sendiri yaitu pelepasan diri dari kaidah bermadzhab kepada madzhab yang empat serta pemberangusan thariqat-thariqat sufi bahkan yang mu’tabarah sekalipun.
Mereka juga menolak madzhab akidah Asy’ariyah-Maturidiyah yang telah berabad-abad dikenal sebagai akidah Ahlussunnah wal Jam’ah. Bayangkan, bukankah itu ibarat seekor kambing yang tak bisa mengaum namun ingin diakui sebagai singa bukan?
Selain itu mereka juga mengecam keras tradisi keislaman seperti maulid, perayaan isra mi’raj dan berziarah ke makam orang-orang sholeh. Dan mereka sangat menekankan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar dan siapapun bisa dan berhak melakukannya.
Walhasil lahirlah mujtahid-mujtahid gadungan yang kurang ilmu, kering hikmah, miskin khazanah dan bahkan tanpa sanad keilmuan yang jelas. Sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkanpun bukan alang kepalang nyeleneh bin ngawurnya.
Semua orang asal bisa berbahasa Arab agak sejurus dua jurus, sepukul dua pukul maka dia bisa dan boleh berijtihad sekehendak hatinya tanpa harus memperhatikan ijma’ ulama terdahulu.
Kalau perlu silakan saja menyalahkan pendapat mereka, shahihkan, dha’ifkan, maudhu’kan, bahkan kafirkan muhadits sekelas Imam Bukhari dan Imam Muslim jika hadits mereka tak sesuai dengan akidah Wahabiyah yang merujuk kepada Syeikh Ibnu Taimiyah. Ini sama saja dengan membebaskan segerombolan anak Paud mengurus keperluan hidupnya sendiri tanpa ada bekal yang cukup dan tanpa ada yang mengawasi.
Agama Islam itu bisa kau fahami dengan seenak nafsu dan akalmu “Do what You want, do what You wilts.” Dari luar gerakan pembaharuan ini sangat mempesona dengan ide ide modernisasi Islam yang bertujuan mengangkat Islam dari keterbelakangan, namun isinya tak lebih dari gerakan Wahabisme jilid dua.
Bahkan yang menarik adalah Muhammad Abduh sendiri mengakui bahwa dia sangat terpengaruh pemikiran Mu’tazilah alias Islam liberal, suatu faham Islam yang ditolak mentah-mentah dengan reaksi yang sangat over acting oleh pengagum-pengagumnya saat ini.
Kemu’tazilahan Abduh bukanlah sebuah rahasia lagi di dunia kajian sejarah faham Wahabi di kalangan para ulama Aswaja dan pemerhati masalah konspirasi saat ini. Bahkan seorang bernama David Livingstone di dalam bukunya “Illuminati and Terrorism” dengan tegas dan berani mengatakan Abduh, Ridha, dan Jamaludin al-Afghani sebagai agen-agen Freemasonry yang ditanam di dalam tubuh islam.
4. Pelurusan Distorsi Sejarah, Fitnah serta Klaim Wahabi terhadap Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi serta Polemiknya dengan Thariqat Naqsabandiyah di Minangkabau
Gelombang gerakan pembaharuan ini ditanggapi dengan reaksi yang beragam oleh para pelajar dan ulama Indonesia saat itu baik yang belajar di Mekkah maupun tokoh-tokoh pergerakan Islam yang berada di tanah air.
Golongan pertama adalah mereka yang cenderung menerimanya bulat-bulat sebagai sesuatu yang mutlak dan sebagai sebuah keniscayaan, termasuk ide Abduh dan Ridha untuk meninggalkan taqlid kepada madzhab imam yang empat dan pemberangusan thariqat-thariqat sufi.
Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang menerima dan menyerap gagasan pembaharuan Islam Abduh dalam bidang modernisasi pendidikan, sosial dan kesadaran politik, namun dengan tegas menolak mentah-mentah gagasan untuk keluar dari kaidah taqlid bermadzhab kepada Imam madzhab yang empat serta mengikuti dan mengamalkan tassawuf melalui thariqat thariqat sufi.
KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan termasuk kepada golongan yang kedua ini. Sedangkan ulama seperti Syeikh Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) dan pimpinan organisasi pergerakan Islam seperti HOS. Tjokroaminoto termasuk kepada golongan yang pertama.
Tentunya terjadi perdebatan, ketegangan dan tarik menarik diantara kedua golongan ini. Namun diantara mereka tetap saling menghargai dan menghormati. Cita-cita untuk mencapai Indonesia yang merdeka dari penjajahan bangsa kafir Belanda yang menjadi impian seluruh rakyat Indonesia saat itu membuat mereka mau tak mau harus duduk dan berjuang bersama.
Di sinilah kaum Wahabi hari ini melakukan distorsi-distorsi sejarah yang cukup signifikan. Mereka mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang merupakan guru dari nyaris seluruh ulama Indonesia yang belajar di Mekkah saat itu sebagai seorang ulama yang anti tassawuf, anti thariqat dan anti kaum sufi, sejalan dengan Abduh dan Ridha. Ini tentunya cukup menggelikan, memang Syeikh Ahmad Khatib pernah terlibat polemik permasalahan thariqat dan hukum adat yang berlaku di alam Minangkabau dengan ulama-ulama dan kaum Niniak Mamak-Cadiak Pandai di Ranah Minang.
Memang beliau juga pernah terlibat berbantah-bantahan cukup panjang dengan ulama-ulama thariqat Naqsabandiyah dan mengecam thariqat itu melalui kitabnya Idzar Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi ash-Shadiqin (Menyatakan kebohongan orang-orang yang menyerupai orang-orang yg benar) terbitan 1906. Di kitab yang membuat heboh Urang Awak di masanya tersebut beliau menyerupakan orang yang bersuluk dengan memakai rabithah (membayangkan wajah mursyid saat melafalkan dzikir pada prosesi suluk) sama dengan orang menyembah berhala.
Lebih lanjut beliau juga memfatwakan haramnya harta pusaka serta hukum berwaris dari mamak (paman) kepada kemenakan sebagaimana yang lazim berlaku dalam adat Minang. Kecaman ini telah dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syeikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat kitab balasannya Irghamu Unuf al-Muta’annithin fi Inkarihim Rabithat al-Washilin (Meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang mengingkari Rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah).
Polemik ini kemudian ramai dibicarakan oleh ulama-ulama muda wabil khusus yang berasal dari Minangkabau yang tentunya mendukung Syeikh Ahmad Khatib. Sikap mereka ini disinyalir akibat terpengaruh oleh bacaan mereka yaitu majalah al-Manar yang diasuh oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Perbantahan seputar masalah thariqat ini kemudian terus berlanjut, masing-masing kedua ulama besar ini kemudian mengeluarkan satu kitab lagi untuk berargumentasi. Namun para ulama Minang dan seluruh Sumatera sepakat bahwa argumen dan dalil-dalil dari Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang didukung dengan ilmu alat yang lengkaplah yang jauh lebih kuat dan unggul ketimbang apa yang disampaikan oleh Mufthi Mekkah Syeikh Ahmad Khatib.
Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi, ulama besar di Aceh, pernah menulis dalam kitabnya “Intan Permata” mengenai keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa’ad Mungka bahwa dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh Ahmad Khatib itu ibarat seekor harimau yang telah terpenggal lehernya oleh kitab tulisan Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka Tuo.
Kelak di kemudian hari Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo bertemu di sebuah jamuan makan di Mekkah. Syeikh Ahmad Khatib tercengang dan takjub dengan kerendahan hati, kezuhudan serta kefasihan dan kealiman Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo saat berbicara dengannya. Mereka berbincang-bincang akrab, bahkan Syeikh Ahmad Khatib yang adalah seorang mufti saat itu mempersilakan Syeikh Sa'ad duduk di sebelahnya sebagai tanda penghormatan.
Nyata betul kalau perdebatan mereka jauh sekali dari perilaku takfir dan tabdi' seperti yang lazim ditulis para akademisi sejarah Islam berhaluan Wahabi saat ini. Jelas sekali kalau polemik mereka hanyalah sebatas keilmuan saja, selayaknya dua raksasa intelekual Islam yang saling menguji sampai batas mana kefahaman mereka terhadap al-Qur'an dan Hadits, tak lebih.
Hal itu karena walau bagaimanapun mereka adalah sama-sama ulama berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah, sama-sama bermadzhab Syafi'iyah dan bahkan lebih dari itu sama-sama mursyid thariqat. Ya, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi walau bagaimanapun keras argumennya tentang thariqat, namun beliau tetaplah seorang sufi belaka.
Beliau memang mempunyai pandangan-pandangan khusus tentang thariqat, namun bukan seluruh thariqat yang dikritisinya atau bahkan dibantainya seperti yang dilakukan Abduh dan Ridha, melainkan hanyalah thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah saja dan itupun argumennya mentah dibasuh oleh Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo.
Terlebih dari itu bagaimanapun luasnya keilmuan beliau namun hingga akhir hayatnya tak sekalipun beliau berlepas diri dari madzhab Imam yang empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah. Begitupula murid-murid beliau baik yang berasal dari Minang maupun dari tanah Jawa, walaupun akrab dengan al-Manar tapi mereka tetaplah berpegang teguh kepada tradisi bermadzhab dan mengikuti thariqat-thariqat sufi.
5. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan oleh Wahabi terhadap Polemik Pembaharuan di Minangkabau
Tersebut jualah seorang tokoh ulama besar Indonesia asal Minangkabau Sumatera Barat yang disebut-sebut oleh kaum Wahabi saat ini sebagai tokoh pembaharu pendukung dan pengadopsi gerakan tajdid Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta mendukung gerakan pemurnian tauhid ala Wahabiyah. Beliau adalah Syeikh DR. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) di Ranah Minang.
Keduanya memang merupakan tokoh modernisasi Islam di Indonesia, dan memang pernah mengenal dan mengakrabi ide-ide Abduh yang termaktub di dalam majalah al-Manar. DR. Abdul Karim Amarullah atau yang lebih dikenal dengan Inyiak Rasul ini merupakan pendiri sekolah dan perkumpulan Sumatera Thawalib di Parabek Padang panjang serta orang yang pertama kali memperkenalkan perkumpulan Muhammadiyah di ranah Minang. Bersama DR. Abdullah Ahmad Padang (pendiri Adabiyah School) dan lainnya, beliau menerbitkan surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang dengan nama “Majalah al-Munir” (senada dengan al-Manar di Mesir). Memang seperti halnya guru mereka Syeikh Ahmad Khatib merekapun melakukan kritisi terhadap praktek thariqat wabil khusus thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah yang lazim dianut kaum ulama tua di Minangkabau.
Hal ini menimbulkan polemik yang merupakan kepanjangan dari polemik thariqat antara Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya. Pihak Sumatera Thawalib melalui majalah al-Munir-nya mengkritisi kejumudan kaum tua yang terlalu sibuk dengan urusan suluk dan beramal bathiniyah namun melupakan keadaan sosial masyarakat yang terpuruk di bawah kaki penjajah Belanda saat itu.
Sebagai aksi nyatanya mereka mendirikan sekolah-sekolah diniyah dan madrasah modern yang pendidikannya mengkombinasikan pendidikan ala Islam dan Barat sebagai antitesis dari pendidikan Islam ala surau yang lazim berlaku di ranah Minang dan tanah Melayu pada umumnya.
Dan ulama-ulama tua Minang pun tak tinggal diam. Puluhan kitab ditulis mereka untuk membantah tuduhan jumud dan kolot dari kaum muda tersebut. Diantaranya Maulana Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, salah satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwal al-Washithah fi Dzikr wa Rabithah; kemudian Syeikh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syeikh Arifin Batu Hampar, kemudian Syeikh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh.
Dan saat polemik tersebut semakin meruncing sampai ke ranah khilafiyah dan furu’iyah fiqih maka para ulama kaum tua di Minang merespon gerakan pembaharuan kaum muda tersebut dengan mendirikan PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1930. Maka lengkaplah sudah babak polemik agama Islam antara kaum muda/modernis dan kaum tua/tradisionalis di ranah Minang.
Namun seiring dengan waktu setelah masa pergolakan dan perang dingin antara kaum pembaharu muda dengan Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah-nya serta kaum tua dengan PERTI-nya tersebut, mereka lalu hidup berdampingan dalam persaudaraan hingga hari ini. Sungguh ikatan persaudaraan mereka sebagai muslim dan ikatan emosional adat dan kekerabatan di alam Minangkabau tak memberi sedikitpun tempat bagi perilaku takfir dan tabdi' ala Wahabiyah.
Terlebih lagi semoderat apapun pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah akibat pengaruh gerakan tajdid ala Abduh dan Ridha di Mesir dia tetaplah jua seorang ulama yang sangat kental corak dan latar belakang thariqatnya. Bahkan seperti halnya gurunya diapun adalah seorang sufi belaka jua.
Sang Inyiak Rasul ini adalah anak dari seorang ulama besar dan legendaris Minangkabau bernama Syeikh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi. Ayahnya tersebut yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Minang saat itu dengan sebutan Tuanku Kisai ini adalah seorang ulama pewaris kaum paderi dan seorang mursyid thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah dan beberapa thariqat lainnya. Dari ayahandanya inilah Inyiak Rasul mendapatkan ijazah thariqat Alawiyah dan Haddadiyah.
Begitupula dengan DR. Abdullah Ahmad Padang dan Syeikh Muhammad Jalil Jambek serta ulama-ulama Minang pengusung modernisme lainnya juga adalah orang-orang yang berlatar belakang thariqat belaka adanya.
Dan perlu juga kami tuturkan di sini bahwa tak sedikit pula murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang justru malah menjadi ulama-ulama thariqat Naqsabandiyah dan cenderung berdiri di sisi kaum tua.
Jadi di Minangkabau tak ada itu gerakan tajdid membabi buta ala Abduh dan Ridha di Mesir yang secara serampangan memberangus thariqat-thariqat sufi dengan menggunakan kekuasaan Abduh sebagai seorang mufti. Tak ada pula itu obral tabdi' apalagi takfir dan tindakan penghalalan darah sesama muslim sebagaimana layaknya corak kelam dan menjijikkan yang mewarnai sejarah gerakan Wahabi di manapun dia berada.
Perdebatan boleh bergemuruh laksana guruh di dalam topan badai, argumen dan dalil boleh diumbar selebar dan sepanjang jalan berkelok ampek puluah ampek nan masyhur itu, namun hanya sebatas kajian keilmuan saja, tiadalah lebih.
Modernisasi tak pelak memang perlu dilakukan sebagai keniscayaan tuntutan zaman, namun bukan berarti menjadi alibi dan legitimasi untuk mendobrak tatanan kaidah agama yang telah ijma' selama nyaris 1000 tahun lebih seperti tradisi dan kaidah bermadzhab.
Inilah yang sangat disadari oleh kaum muda pembaharu di Minangkabau, mereka mengganti yang usang dengan yang baru sesuai tuntutan zaman tanpa harus membuang seluruhnya. Mana yang baik dan bisa dipakai maka tetaplah dipertahankan karena merenovasi sebuah rumah bukanlah dengan cara meruntuhkan pondasi rumah tersebut dengan dinamit, sungguh hanya orang kurang akal dan telah pesong otaknya saja yg melakukan hal itu.
Tapi walaupun demikian adanya, tiadalah dapat dipungkiri kalau angin gelombang pembaharuan ini berperan tidaklah sedikit dalam memudarkan tradisi belajar agama di surau yang lazim berlaku di ranah Minang. Lengang sudah surau-surau tempat anak nagari mempelajari ilmu agama, mengkaji kitab-kitab kuning para ulama terdahulu, mengenal adat nan basandi syara' dan basandi Kitabullah, serta menyelami dan meniti jenjang syariat, hakikat dan ma'rifat menuju sosok insan kamil.
Zaman kini telah berganti, gamis dan sarung, saluak, kopiah serta imamah telah berganti dengan kemeja, celana pentalon serta setelan jas ala Eropa. Ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma'ani, bayan, manthiq dan ushul telah tergantikan dengan pelajaran agama bermetode Barat yang serba modern dan menggunakan huruf latin. Tradisi “lalok di surau” (menginap di mesjid/mushola) selepas mengaji dan shalat Isya telah lenyap sudah menjadi cerita masa lalu bagi generasi muda nan lugu dan tak tahu asa barasa carito cadiak pandai urang awak.
Dan akibatnya semakin sedikit yang bisa membaca kitab-kitab tulisan hasil buah fikiran dan manisnya lautan madu ilmu ulama-ulama angku nan tuo. Kitab itu kini semakin habis dimakan usia, seiring habis dan terangkatnya kejayaan dan keemasan serta harum mewanginya ranah Minang sebagai salah satu gudangnya ulama, sastrawan serta kaum cerdik pandai di Nusantara. Inikah yang dinamakan pembaharuan yang gegap gempita bergaung suaranya dari Mesir hingga ke pojok-pojok kampung yang orang-orangnya bahkan tak tahu ada negeri lain di dunia ini selain nagari nan diapik gunung Singgalang dan danau Maninjau? Tajdid... oooh tajdid!
DR. Abdul Karim Amrullah dan seluruh ulama pembaharu di ranah Minang hingga akhir hayatnya tetaplah berpegang teguh kepada madzhab akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, madzhab fiqih Syafi'iyah dan berthariqat dengan thariqat-thariqat yang mu'tabarah.
Tak sejengkalpun mereka melepaskan diri dari taqlid kepada madzhab Imam Syafi'i sebagaimana yang diserukan Abduh dan Ridha. Beliau tetaplah mengikuti jejak ayahandanya Tuanku Kisai, gurunya Syeikh Ahmad khatib al-Minangkabawi dan ulama-ulama terdahulu dalam hal kaidah tradisi bermadzhab kepada salah satu madzhab yang empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah.
Tiadalah beliau mengenal apalagi menganut tauhid yang dibagi tiga laksana membelah martabak yang dibeli di pinggir jalan itu, tak ada itu Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Shifat dalam kamus dalil Inyiak Rasul.
Maka dengan itu klaim murahan kaum Wahabi bahwa para pembaharu di Minang adalah kaum Wahabiyah adalah kebohongan belaka. Sebuah usaha pendistorsian sejarah yang sangat licik dan menjijikkan serta dengan mudah dapat ditelanjangi di siang hari bolong di tengah ramainya orang di balai.
Coba fikir, seorang Wahabi macam apa yang berbaiat kepada dua thariqat sekaligus seperti beliau? Wahabi macam apa pula yang tetap berpegang teguh dan taqlid kepada Imam Syafi'i? Bahkan putera beliau yaitu Buya Hamka yang tak luput jua dari distorsi sejarah dan klaim para Wahabi bahwa beliau berfaham tauhid ala Najd itupun sejatinya juga adalah seorang Asy'ariyah-Syafi'iyah. Walaupun dalam beberapa masalah beliau cukup moderat toh menjelang akhir hayatnya Buya Hamka akhirnya berbaiat kepada KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah Anom dari pesantren Suryalaya di bawah thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
Terlebih lagi beliau juga menulis sebuah buku tentang tassawuf berjudul “Tassawuf Modern”, patahlah sudah klaim kaum Wahabi terhadap beliau laksana kayu lapuk yang telah usang dimakan rayap. Dan jika klaim serta distorsi yang mereka lakukan terhadap kaum pembaharu di era modern masih kurang maka mereka kemudian melakukan hal yang sama liciknya kepada figur ulama ranah Minang yang jauh lebih tua lagi. Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan kaum Paderi di Minang diklaim juga oleh mereka sebagai ulama yang berfaham Wahabiyah.
Hal ini tentunya jauh lebih menggelikan bagi kami karena klaim ini teramat sangatlah lebih mentah dari klaim mereka terhadap kaum muda pembaharu di era modern. Hal tersebut karena Tuanku Imam bonjol, Tuanku Nan Renceh dan seluruh ulama paderi yang mahsyur dengan sebutan “Harimau nan salapan” itu adalah murid dan salik dari Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, seorang ulama tua dan mursyid thariqat Syattariyah.
Dengan demikian terlepas dari keradikalan mereka dalam menegakkan syari'at Islam di ranah Minang dan menghadapi kaum adat pada masanya, Tuanku Imam bonjol dan kaum paderi lainnya tak lain tak bukan adalah kaum sufi jualah kiranya.
Mau tak mau lagi lagi kami harus bertanya: “Wahabi macam apa pulakah yang berthariqat Syattariah? Wahabi manakah yang di kepalanya melingkar lilitan imamah seperti kaum paderi?”
Kami rasa tak satupun Wahabi yang bisa menjawabnya. Sungguh cahaya kebenaran itu memang lebih terang dari sinar mentari bagi orang-orang yg mengetahuinya, bagi yang tak pernah berhenti menggalinya dan bagi yang diberi petunjuk oleh Allah Swt.
6. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan Wahabi terhadap KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyyah-nya di Tanah Jawa
Lain di Minang, maka lain pula yang terjadi di pulau Jawa. Di pulau yang lazim dulu disebut dengan nama Jawadwipa ini tersebutlah seorang tokoh pembaharu bernama KH. Ahmad Dahlan. Sebagaimana rekannya dari Minang KH. Ahmad Dahlan yang bernama asli Muhammad Darwis ini, pun adalah murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kaum Wahabi mengatakan bahwa beliau adalah salah seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang berfaham Wahabi dengan alibi bahwa fiqih kaum Muhamadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan mirip dengan mereka.
Memang, kaum Muhammadiyin saat ini melaksanakan shalat dengan tanpa membaca “Usholi”. Shalat Shubuh dengan tidak memakai doa qunut, anti ziarah kubur, tahlilan dan menjauhi segala macam praktek agama Islam yang menurut mereka mengandung TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat). Selama puluhan tahun semenjak berdirinya Muhammadiyah dianggap sebagai representasi dari golongan Islam modernis di Indonesia dan merupakan rival serta antitesis dari golongan Islam tradisional NU, Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari.
Dan memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat akrab dengan ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah al-Manar. Dan saat berada di Mekkah beliau seperti para pelajar asal Indonesia lainnya juga ramai mendiskusikan bagaimana cara agar negeri asal mereka segera lekas merdeka dari belenggu penjajahan kolonialis Belanda.
Keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani semakin memperparah keadaan umat Islam di negeri-negeri terjajah dan memaksa banyak orang berfikiran maju seperti KH. Ahmad Dahlan harus mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Dan ide-ide modernisasi pendidikan, ekonomi, sosial dan kesadaran politik yang dipropagandakan oleh Abduh dan Ridha sedikit memberi gambaran apa langkah yang harus dia lakukan. Maka terbentuklah pemikiran seorang Ahmad Dahlan dari sini, sosok seorang santri dan Kiyai Jawa yang besar di daerah yang juga kental budaya Jawa dan pengajaran Islamnya di daerah Kauman Jogjakarta Hadiningrat yang terbuka matanya.
Dari dalam dirinya lahirlah kesadaran bahwa umat saat itu perlu mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka, atau mau tak mau akan tergilas oleh perubahan zaman dan tetap tunduk di bawah kaki penjajahan Belanda.
Belum lagi saat itu misi Zending yang diback-up penuh oleh pemerintah kolonial Belanda gencar sekali melakukan misi pemurtadannya terhadap rakyat di daerah-daerah di pulau Jawa. Hal ini tentu saja merisaukan dirinya sebagai seorang ulama dan pejuang kemerdekaan karena ternyata umat saat itu tak hanya terjajah fisik dan mentalnya namun juga akidahnya.
Sementara kehidupan beragama masyarakat saat itupun semakin tak jelas, kekakuan sikap sebagian besar kalangan Islam tradisional pesantren saat itu tidak memberi solusi apapun atas keadaan yang terjadi waktu itu baginya.
Maka diapun membuka dirinya terhadap hal-hal yang baru bahkan tabu bagi sebagian besar kalangan kiyai Jawa saat itu. Yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah membangun sebuah madrasah sekolah diniyah yang menggunakan metode pengajaran Barat yang mengkombinasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum diajarkan di sekolah-sekolah resmi Belanda saat itu, seperti bahasa Inggris dan ilmu bumi.
Kemudian dia juga tak segan bergabung dengan organisasi modern pribumi pertama saat itu yaitu Boedi Oetomo. Padahal kalangan kiyai dan pesantren saat itu menganggap Boedi Oetomo adalah perkumpulan berbasis sekuler-kejawen yang tentunya kurang pantas dimasuki oleh seorang kiyai seperti Ahmad Dahlan.
Belakangan saat Syarekat Islam, sebuah organisasi massa modern Islam pertama di Indonesia terbentuk, KH. Ahmad dahlan pun ikut bergabung di sana. Dan yang terakhir dia bergabung pula dengan Jami'at Kheir, sebuah organisasi modern yang didirikan oleh kalangan keturunan Arab di Indonesia wabil khusus dari kalangan Ahlul Bait Dzuriyat Rasulullah Saw.
Dengan demikian KH. Ahmad Dahlan tak hanya akrab dengan pemikiran Islam, namun juga dengan pemikiran-pemikiran modern di luar Islam yang dikenalnya dari sosok tokoh-tokoh pergerakan nasional saat itu seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, HOS. Tjokroaminoto dan yang lainnya.
Putera Kauman ini lalu berubah menjadi sosok yang modern, berfikiran maju dan kritis dalam mengahadapi setiap permasalahan. Dan bagi sebagian orang saat itu tindak tanduk dan gaya berfikir KH. Ahmad Dahlan telah keluar dari pakem-pakem kalangan pesantren.
Pergesekan tentunya terjadi, namun KH. Ahmad Dahlan tentunya melakukan semua itu bukan tanpa tujuan. Semua itu ia lakukan karena ia ingin belajar dan menyerap ilmu berorganisasi secara modern yang dimiliki kalangan Indonesia non pesantren saat itu, yaitu kalangan orang-orang terpelajar pribumi yang telah mendapatkan pendidikan modern ala Eropa.
Jadi betul sekali kalau KH. Ahmad Dahlan adalah seorang kiyai yang berfikiran modern dan visioner jauh ke depan, namun mereka menyembunyikan beberapa hal penting seputar sejarah berdirinya Muhammadiyah dan figur pendirinya tersebut.
KH. Ahmad Dahlan seperti layaknya ulama-ulama pada zamannya berguru kepada banyak ulama dalam hidupnya. Selain kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah beliau juga berguru kepada banyak ulama lainya.
Salah satu guru beliau dan yang paling mempengaruhi diri dan pemikirannya adalah KH. Sholeh Darat Semarang, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya dan berasal dari kota Semarang Jawa tengah. Beliau adalah salah seorang ulama generasi tua di pulau Jawa dan merupakan orang yang mempelopori penulisan penerjemahan kitab al-Quran dengan menggunakan huruf Jawa pegon (huruf hijaiyah yang dipakai untuk melafalkan bahasa Jawa).
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau biasa dikenal adalah seorang ulama yang tidak saja berilmu tinggi dan banyak sekali menulis kitab semasa hidupnya, namun juga sangat merakyat, dekat dengan masyarakat, memikirkan keadaannya dan pastinya sangat anti terhadap fihak penjajah Belanda.
Saat mondok di Pesantren Darat ini pada usia 16 tahunlah KH. Ahmad Dahlan yang saat itu masih dikenal dengan nama kecilnya Muhammad Darwis mengenal kesadaran akan cita-cita kemerdekaan dari gurunya tersebut. Di pesantren ini jugalah ia saat itu bertemu dan berkawan sangat akrab dengan seorang remaja berusia 14 tahun yang berasal dari Dusun Gedang Karas Jombang, Jawa timur. Remaja sederhana, santun dan cenderung pendiam itu bernama Hasyim Asy'ari, seorang yang kelak menjadi seorang ulama besar bergelar Hadhratus Syeikh dan pendiri NU, ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Mereka berdua bahkan tinggal di dalam kamar yang sama di pondokan Mbah Sholeh Darat dan merupakan santri-santri kesayangan beliau yang sangat patuh dan manut dengan dawuh kiyainya tersebut.
Selama kurang lebih 2 tahun mereka sama-sama mondok di pesantren Mbah Sholeh Darat dalam asuhan kasih sayang serta curahan ilmu dari sang guru tercinta. Setelah itu mereka sama-sama menyusuri jalannya masing masing.
Dan walaupun saat telah sama-sama menjadi tokoh besar mereka mempunyai beberapa perbedaan pandangan namun kenangan manis saat sama-sama nyantri kepada Kyai Sholeh Darat dulu adalah perekat persaudaraan mereka yang tak pernah hilang. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang saat mondok dulu sering berebut untuk berkhidmat kepada gurunya tersebut bagaikan dua sisi mata koin yang saling melengkapi.
Kiyai Sholeh Darat sendiri adalah seorang penganut akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, dan pembela madzhab akidah tersebut. Dan sebagai seorang murid tentunya KH. Ahmad Dahlan manut taqlid dengan akidah yang sama dengan gurunya tersebut. Ditambah lagi saat ia belajar di Mekkah pun ia berguru kepada masyaikh berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah dan berfiqih Syafi'iyah pula. Maka sebagaimanapun akrabnya dia dengan ide-ide gerakan tajdid yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ia tetaplah tiada sejengkalpun jua beranjak apalagi berani membelakangi akidah yang dipelajari dari guru-gurunya dan kaidah taqlid bermadzhab kepada madzhab imam yang empat, dalam hal ini Syafi'iyah.
Saat ia pulang dari Tanah Suci, bahkan ia mendapat dawuh atau perintah langsung dari gurunya Kiyai Sholeh Darat untuk berdakwah di kalangan masyarakat perkotaan modern. Hal inilah yang membuat beliau kamudian terdorong untuk mendirikan Muhammadiyah yang memang dirancang untuk memajukan pendidikan umat di perkotaan dan membentengi umat dari misi Kristenisasi Zending.
Ditambah lagi saat masa-masa awal pendirian Muhammadiyah beliau yang saat itu menjadi anggota Jamiat Kheir mendapatkan bantuan baik moril maupun materil yang tak sedikit dari Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir. Sebagai seorang keturunan dari Sayyid Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, tentunya beliau memiliki pertalian darah dengan komunitas Arab Dzuriyah Alawiyin dan membuatnya cukup akrab dengan mereka.
Dan tentunya telah maklumlah kita adanya bahwa para Dzuriyah Rasulullah dari kalangan Alawiyin adalah orang-orang yang sangat gigih memegang teguh akidah Asy'ariyah-Maturidiyah serta madzhab Syafi'i, tak terkecuali dengan KH. Ahmad Dahlan.
Walaupun ia tidak terang-terangan menolak mentah-mentah dengan tegas seruan serta ide Abduh dan Ridha untuk keluar dari madzhab imam yang empat namun dalam keyakinan serta prakteknya beliau tetaplah menafikkan seruan mereka tersebut. Sejauh apapun ilmu dituntut, semodern apapun fikiran dikembangkan yang namanya pondasi akidah dan kaidah bermadzhab adalah hal yang niscaya mutlak bagi KH. Ahmad Dahlan.
Begitupulalah pandangan beliau terhadap permasalahan thariqat, beliau juga membuang jauh-jauh ide untuk keluar dari thariqat-thariqat yg mu'tabarah. Tak banyak yang tahu bahwa di balik jubah seorang modernisnya KH. Ahmad Dahlan tetaplah seorang sufi dan tokoh thariqat di tanah Jawa yang berbaiat kepada guru mursyidnya yaitu KH. Sholeh Darat Semarang.
Sejauh apapun ilmu suthur (ilmu fiqih syariat) dituntut dan dikumpulkan di kepala tetaplah takkan lengkap kiranya jika tak dibarengi dengan ilmu shudur (ilmu bathin yang menata dan mengolah hati). Hal ini sangat disadari oleh KH. Ahmad Dahlan. Di hadapan gurunya ia tetaplah Muhammad Darwis yang manut dengan dawuh dari guru dan mursyidnya tercinta KH. Sholeh Darat Semarang.
Hal inilah juga yang beliau terapkan saat beliau mendirikan ormas/jemaah Muhammadiyah. Walaupun tak terang-terangan menggariskan bahwa Muhammadiyah adalah jemaah bermadzhab Syafi'iyah seperti yang kelak dilakukan oleh sahabatnya KH. Hasyim Asy'ari saat mendirikan NU, namun dalam amalannya Muhammadiyah tetaplah mengamalkan fiqih sesuai madzhab Imam Syafi'i.
Kami tidak bicara kosong dan melakukan klaim yg mengada ada seperti layaknya kebiasaan kaum Wahabi di sini. Berikut kami kutipkan ringkasan fiqih yang diamalkan kalangan Muhammadiyah di masa awal berdirinya organisasi Islam yang sempat menjadi sangat besar di masa lalu tersebut, dan tetaplah terpandang dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara hingga hari ini. Berikut ini ringkasannya:
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).
Pertanyaan kami, apakah kaum pemegang teguh manhaj salaf dan pewaris gerakan tajdid Pan Islamisme radikal-fundamental saat ini mengamalkan hal yang juga diamalkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan orang-orang Muhammadiyah di masa awalnya seperti yang tercantum di atas?
Jika iya, maka selamat Anda telah menjadi seorang Aswaja Syafi'iyah seperti halnya kami, namun jika tidak maka janganlah mempermalukan diri tuan-tuan dengan mengklaim bahwa KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah berfiqih dan berfaham Wahabiyah seperti yang kalian anut.
sHingga akhir hayatnya di tahun 1923 beliau KH.Ahmad Dahlan adalah murni seorang Asy'ariyah-Maturidiyah bermadzhab Syafi'iyah dan tak pernah sejengkalpun beranjak dari kaidah-kaidah bermadzhab.
Lalu dari manakah datangnya amalan-amalan warga Muhammadiyah yang saat ini konon katanya persis dengan apa yang diamalkan oleh kaum berfaham Wahabi? Setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan oleh banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924.
Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang- orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya KH.Ahmad Dahlan.
Salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah KH. Mas Mansur. Atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927. Sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaqlid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah berubah menjadi tidak lagi bermadzhab Syafi'i.
Di masa KH. Mas Mansyur inilah terjadi revisi-revisi dalam amalan-amalan warga Muhammadiyah setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. Sebuah hal yang nyaris mustahil terjadi jika KH. Ahmad Dahlan masih hidup, dimana saat itu Muhammadiyah sepi dari perdebatan yg melahirkan keputusan yang berkenaan dengan khilafiyah dan keluar dari kaidah bermadzhab.
7. Van Der Plas, Syeikh Ahmad Syurkati (Pendiri Al-Irsyad) dan Peranan Freemasonry-Wahabi dalam Distorsi Sejarah Muhammadiyah
Namun tak banyak yang mengetahui bahwa perubahan haluan Muhammadiyah dalam bermadzhab ini adalah akibat dari konspirasi yang dilancarkan oleh fihak kolonial Hindia Belanda dari dalam tubuh perkumpulan ini sendiri.
Posisi Muhammadiyah yang saat itu berkembang menjadi perkumpulan Islam yang besar dan semakin tertarik ke pusat pusaran politik seperti halnya Syarekat Islam/SI cukup membuat khawatir Gubernemen di Batavia. Posisi Gubernemen sendiri cukup terjepit saat itu menghadapi gelombang pergerakan politik etis serta tuntutan balas budi kepada kaum pribumi dari kaum demokrat liberal di dalam negeri Belanda di satu sisi.
Sedangkan di sisi lainnya mereka direpotkan oleh kaum pergerakan nasional Indonesia yang semakin hari semakin radikal saja, terutama dari kalangan Islam dalam hal ini SI yang saat itu juga terpengaruh oleh semangat revolusi Bolsheviks di Russia.
Ditambah lagi dengan kedatangan dua orang pelarian politik dari sayap radikal kaum sosial demokrat negeri Belanda bernama Sneevliet dan Baars yang dengan cepat membangun massanya di antara anggota SI yang diperkenalkan kepada ajaran Marxisme oleh mereka.
Gubernemen di Batavia sangat khawatir kalau Muhammadiyah yang sedang besar-besarnya saat itu ikut menjadi radikal seperti halnya SI mengingat mereka sama-sama berhaluan Islam moderat yang sangat terbuka akan pengaruh dari luar.
Pemerintah kolonial di Batavia tentunya tidak memerlukan dua lawan yang besar sekaligus. Berkali-kali mereka mencoba untuk melancarkan pembunuhan terhadap KH. Ahmad Dahlan, namun selalu gagal karena sang kiyai selalu dijaga ketat dan dikelilingi oleh jamaahnya. Oleh karena itu maka Van Der Plas seorang orientalis dan disinyalir juga sebagai agen MI-6 yang bekerja untuk Gubernemen Hindia Belanda segera merancang sebuah plot untuk “menjinakkan” Muhammadiyah dari dalam.
Tersebutlah seorang pemuda asal Aceh bernama Muhammad Basya Dahlan, seorang yang dibina langsung oleh Van Der Plas untuk menyusup ke dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammad Basya Dahlan lalu dikirim oleh Van Der Plas ke Saudi Arabia, pusat gerakan Wahabi yang pemerintahannya disokong penuh oleh pemerintah Inggris dan gerakan Zionis-Freemasonry dunia.
Di sana dia mempelajari gerakan dan faham Wahabi langsung dari para masyaikh masyaikhnya di Najd dan kembali ke Indonesia untuk meniti karier keorganisasian di perkumpulan Muhammadiyah. Van Der Plas dengan sokongan penuh Gubernemen menggelontorkan uang jutaan gulden untuk mengantarkan Muhammad Basya ke posisi penting di dalam strata kepengurusan Muhammadiyah.
Setelah berhasil mulailah dia melancarkan aksinya menebar racun faham Wahabi di tubuh perkumpulan tersebut dan mencetak kader-kader muda Muhammadiyah yang berfaham wahabi. Dan ketika posisi Muhammad Basya Dahlan ini semakin kuat di dalam perkumpulan, atas dukungan kader-kader muda, maka KH. Ahmad Dahlan sampai terpaksa harus menyingkir ke pelosok lereng gunung merapi untuk menghindari kejaran dan bentrokan dengan Muhammad Basya Dahlan serta pengikutnya yang berfahaman keras Wahabi. Kelompok kecil KH. Ahmad Dahlan yang menyingkir inilah yang kemudian disebut sebagai “Muhammadiyah Dalam”.
Akidah mereka masih sama dengan akidah yang dianut oleh KH. Ahmad Dahlan, begitupula dalam masalah fiqih masih menganut madzhab Syafi'iyah sehingga amalan dan pemahamannya pun sama persis dengan warga NU dan Islam tradisional pada umumnya.
Sedangkan kelompok kaum muda yang dikader oleh Muhammad Basya Dahlan disebut sebagai “Muhammadiyah Luar”, kelompok inilah yang mendominasi dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Kelompok ini cenderung keras dalam bersikap terhadap kaum tradisionalis pesantren serta kiyai-kiyai Jawa, bahkan cenderung memusuhi KH. Hasyim Asy'ari dan NU serta kaum tradisionalis pada umumnya. Sikap mereka khas orang yang berfaham wahabi, dengan mengkampanyekan anti TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), tabdi', bahkan dalam beberapa kasus tak segan-segan melancarkan takfir.
Mereka memusuhi dengan keras amalan-amalan warisan KH. Sholeh Darat yang diamalkan oleh kaum Muhammadiyah Dalam dan NU seperti Shalawat Burdah, tahlil dan kitab-kitab karangan beliau yang menerangkan tentang kaidah bermadzhab serta faham akidah Asy'ariyah-Maturidiyah.
Selain itu mereka juga memusuhi dan tidak mangakui para Ahlul Bait Dzuriyah Rasulullah dan menafikan peran mereka sebagai pembawa Islam ke Nusantara. Ajaibnya beberapa keturunan Kiyai Sholeh Darat sendiri ada yang mendukung pemahaman dan penyikapan kaum Muhammadiyah Luar ini termasuk memusuhi tradisi dan kitab-kitab kakek buyut mereka sendiri.
Inilah yang menyebabkan timbulnya ketegangan antara warga Muhammadiyah dan NU serta kaum tradisionalis lainnya di masa lalu, tentunya kita pernah mendengar bahwa hanya karena masalah qunut atau tidak qunut saja pun mereka sering kali nyaris baku hantam bukan?
Sebuah kenyataan yang sangat memilukan hati ini jika kita mengetahui bahwa kedua pendiri ormas Islam ini dahulunya adalah teman satu kamar di pondok pesantren Kiyai Sholeh Darat, sama-sama pernah berguru pada masyaikh Aswaja Syafi'iyah v sama di Mekkah dan merupakan sahabat karib yang saling menghormati dan menyayangi sepanjang hidup keduanya.
Walau seiring dengan waktu dan perkembangan zaman, penyikapan Muhammadiyah Luar ini semakin bijak dan melunak namun ketegangan serta perbedaan antara kedua ormas yang mewakili golongan medern dan tradisionalis ini seringkali masih muncul ke permukaan.
Dengan demikian berhasil lah Van Der Plas dengan gilang-gemilang memecah dan mengendalikan serta merubah haluan Muhammadiyah dari dalam seperti halnya juga SI yang berhasil dipecah belah menjadi SI Merah dan SI Putih.
Orientalis andalan Gubernemen Belanda disamping Snouck Hurgronje yang juga agen MI-6 ini memang sangat piawai memecah belah bangsa ini dari masa ke masa. Dan sebagai seorang orientalis tentunya dia juga mendalami bahasa dan budaya pribumi, Arab bahkan keilmuan Islam. Uniknya Van Der Plas belajar ilmu tafsir dan fiqih dari Syeikh Ahmad Surkati, pendiri al-Irsyad saat dia menjabat sebagai Ajun Advisor di sebuah kantor pemerintah kolonial Belanda (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yaitu sebuah badan Gubernemen Hindia Belanda yang mengurusi urusan bahasa-bahasa asing dan timur jauh.
Di sinilah juga Syeikh Ahmad Surkati bekerja sebagai penasihat Van Der Plas sekaligus sebagai guru dan sahabatnya. Hal ini justru diungkapkan di sebuah buku yang ditulis oleh anak dari asisten pribadi serta murid Syeikh Ahmad Surkati yang bernama Hussein Badjerei putera dari Abdullah Aqil Badjerei. Hussein Badjerei ini adalah penulis resmi buku sejarah perkembangan al-Irsyad di Indonesia. Jadi datanya pastilah valid karena dia dapat langsung dari ayahnya dan orang dalam al-Irsyad sendiri.
Maka nyatalah sudah permainan spionase serta konspirasi agen MI-6 yang merupakan badan intelijen Inggris dan alat dari gerakan Zionis-Freemasonry/Illuminati yang dibantu oleh seorang tokoh gerakan tajdid berfaham salafi sendiri, Syeikh Ahmad Surkati, entah dia sadar atau tidak. Bukanlah rahasia lagi jika para pejabat tinggi Gubernemen kolonialis Hindia Belanda adalah para Mason dengan derajat yang cukup tinggi.
Contohnya adalah Jenderal Van Heutz, mantan panglima perang pasukan Marsose yang meluluhlantakkan Aceh dan membunuhi para syuhada pembela Islam di bumi Serambi Mekkah tersebut.
Setelah sukses menaklukkan para pejuang Aceh atas bantuan riset Snouck Hurgronje, dia kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekaligus atasan langsung Van Der Plas. Tentunya sang grand master tak akan membiarkan raksasa muda Muhammadiyah menjadi lebih besar dan membahayakan kelangsungan kepentingan mereka bukan hanya di masa kolonial namun juga di masa-masa yang akan datang.
Dan sisi terkelam dari sebuah kisah gerakan tajdid yang digaungkan oleh tiga orang agen Freemasonry dari tanah para Fir'aun pun ternyata menggelar konspirasinya juga di bumi Jawadwipa.
Bersambung...
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 14 Februari 2013
Oleh: Milisi Oposisi Naga
Daftar Isi:
1. Pendahuluan
2. Kehebatan Ulama-ulama Aswaja Nusantara di Masa Lalu
3. Gerakan Pembaharuan Islam Mesir dan Efeknya pada Ulama-ulama
Indonesia serta Polemik antara Golongan Tradisional serta Modern yang
Dimanipulasi oleh Wahabi di Masa Kini
4. Pelurusan Distorsi Sejarah,
Fitnah serta Klaim Wahabi terhadap Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
serta Polemiknya dengan Thariqat Naqsabandiyah di Minangkabau5. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan oleh Wahabi terhadap Polemik Pembaharuan di Minangkabau
6. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan Wahabi terhadap KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyyah-nya di Tanah Jawa
7. Van Der Plas, Syeikh Ahmad Syurkati (Pendiri Al-Irsyad) dan Peranan Freemasonry-Wahabi dalam Distorsi Sejarah Muhammadiyah
1. Pendahuluan
“....Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para rohaniawan non-Yahudi (muslim) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari faham agama telah dikumandangkan di mana-mana. Tinggal masalah waktu, maka agama-agama itu akan bertumbangan…” (Protokol Zionis ke 17).
Salah satu kejahatan Wahabi dan seluruh varian harokah yang berafiliasi serta menganut akidah yang sama dengannya, di luar pentahrifan kitab-kitab ulama klasik, adalah memanipulasi sejarah ulama aswaja khususnya ulama aswaja Nusantara yang sangat dihormati oleh kalangan umat Islam berbasic tradisional.
Seperti yg ditulis baru-baru ini di sebuah situs resmi harokah yang mengklaim bahwa KH. Wahab Hasbullah salah seorang tokoh pendiri NU yang juga berperan dalam pendirian NKRI sebagai seorang yang mendukung sebuah konferensi yang memperjuangkan tegaknya kembali khilafah. Dalam hal ini tentu saja khilafah versi pemahaman mereka bukan versi pemahaman aswaja. (sIlahkan di cek tulisan mengenai hal tersebut di http://hizbut-tahrir.or.id/
Sebelum itu telah kami temukan juga sebuah tulisan di sebuah blog mengenai KH. Hasyim Asy’ari yang dikatakan panjang lebar sebagai ulama yang anti terhadap bedug dan perayaan Maulid. (Silahkan baca di http://axingx.blogspot.com/
Selain itu mereka juga memanipulasi fakta sejarah polemik yang terjadi antara Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan para ulama thariqat di ranah Minang di zamannya, sebagai alibi untuk mengatakan beliau sebagai seorang ulama yang anti thariqat sufi dan pendukung gerakan pembaharuan islam ala Wahabiyah Muhammad Abduh.
Hal ini tentunya membuat kami sebagai generasi muda Aswaja pemerhati sejarah bertanya tanya: “Manufer apalagi yang dilakukan oleh kaum Wahabi di Indonesia sekarang ini? Apakah setelah gagal atau paling tidak kurang berhasil memalingkan kaum muslimin dunia dan Indonesia pada khususnya dari aqidah Asy’ariyah-Maturidiyah dan dari madzhab Imam yang empat dengan segala vonis sesat, bid’ah dan kafirnya lalu mereka sekarang melakukan ini? Atau memang mereka sudah tidak percaya diri lagi mengusung nama ulama ulama Wahabiyahnya yang selama ini selalu mereka jadikan sumber hujjah sehingga mereka berusaha membajak ulama ulama Aswaja sebagai sumber hujjah baru mereka?”
Entahlah. Namun menurut pengamatan kami ketidakpedulian generasi muda Islam akan sejarah keislaman negerinya sendirilah yang membuat mereka menjadi sasaran empuk bagi kejahatan Wahabi yang satu ini. Siapapun yang cenderung silau dengan apapun yang berbau Timur Tengah alias Arab sentris, lebih mengenal ulama ulama khalaf/mutakhir Timur Tengah wabil khusus yang mengusung sesuatu yang mereka sebut sebagai Gerakan Pembaharuan Islam yang berpusat di Arab Saudi sana. Maka dialah mangsa yang tak perlu lagi diburu oleh para Wahabi yang melakukan distorsi sejarah ini.
Atau mereka yang bersemangat meneriakkan gerakan penegakan kembali khilafah, pemberlakuan syariah Islam yg salah kaprah dan basah kuyup dalam gegap gempita gerakan Pan islamisme radikal-fundamental yang berakar dari buah fikiran Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Hassan al-Bana, Taqiyudin an-Nabhani, Sayyid Quthb dan sejenisnya maka pastilah juga yang menjadi mangsa empuk korban distorsi sejarah ini.
Kami tidak bicara omong kosong. Coba lihat berapa banyak anak muda Islam yang aslinya berasal dari keluarga berbasic Nahdliyyin dan mungkin juga Pertiyyin yang putar haluan menentang akidah dan amalan-amalan orang tuanya sendiri setelah mengenal Islam dari sumber yang salah. Sumber-sumber yang menampilkan wujud Islam yang tampak kemasan luarnya lebih nyunnah, yang semangatnya berapi-api, gagah dan mengobral surga instant serta murah berbungkus kaleng berlabel jihad dunia maya yang merupakan produk import dari Saudi Arabia, Mesir, Yaman, Qatar, Kuwait, Iran, Palestina, Syuriah dan Jordania.
Produk-produk import Wahabisasi global yang berbumbu manis jargon “kembali kepada al-Qur’an dan Hadits sesuai pemahaman para salafus sholeh” dengan dalil-dalil yang shahih, sharih dan rajih.
Ahaha...., siapakah yang tak akan mabuk kepayang lupa daratan yang dipijak, lupa air bumi mana yang diminum dan lupa udara mana yang setiap detiknya dihirup jika terkena slogan agama sedahsyat itu? Sedangkan yang dari kalangan Muhammadiyyin lebih parah lagi karena sejarah Muhammadiyah memang telah mengalami distorsi sedemikian rupa secara sistematis semenjak berpuluh-puluh tahun lalu. Mereka lebih mengenal tauhid trinitas ala Wahabi yang tak berdasar dan bak martabak dibelah tiga itu ketimbang sifat 20.
Mereka malu mengakui kenyataan bahwa ibunya ikut pengajian Aswaja, hobi maulidan, ratiban, dan tahlilan. Atau si Mbahnya ada yang berbaiat kepada thariqat-thariqat sufi serta hobi tirakatan dan ngobong (membakar) menyan. Mereka lebih mengenal pemikiran dan fatwa-fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan sang muhadits nomer wahid Syeikh Albani ketimbang pemikiran Syeikh Muhammad Sa'ad al-Khalidi Mungka Tuo atau KH. Hasyim Asy’ari misalnya.
Dan kalaupun mereka mengenalnya maka sosok yang dikenal adalah sosok ulama aswaja yang telah didistorsikan oleh tangan-tangan kreatif seperti di 2 (dua) buah link yang kami cantumkan di atas.
Lalu yg terjadi kemudian adalah klaim-klaim sok tahu kalau mereka dalam aktifitas gerakan dakwahnya juga terpengaruh oleh pemikiran Kyai Hasyim misalnya. Namun disaat bersamaan mereka memuja-muja Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sampai langit yang ke tujuh “Oooh muwahiddun”. Entah ke mana logika dan akal sehatmu kau campakkan? Masihkah dia ada bersemayam di dalam kepalamu saat ini seperti bersemayamnya Allah di atas ArsyNya yang kau yakini sebagai akidah yang haq? Atau dia sudah kabur entah ke mana.
Atau mungkin kesadaran historismu yang teramat sangat miskin itulah yang membuatmu begitu? Karena tidaklah mungkin seorang yang akalnya berfungsi dengan baik mengaku terpengaruh oleh dua tokoh yang bahkan dalam masalah ushuludin saja bagai bumi dan langit bedanya, dimana yang satu menyelisihi yang lainnya.
Namun mereka ini sebenarnya adalah korban. Ya! korban dari sebuah konspirasi manipulasi sejarah yang secara sistematis dilancarkan dari dalam tubuh Islam sendiri oleh Illuminati-Freemasonry serta agen-agennya.
Karenanya, sebuah usaha pangkajian sejarah Aswaja Nusantara secara mendalam sangatlah diperlukan. Ketahuilah saudara-saudara kami yang hobi klaim dan memanipulasi sejarah sana sini. Tindakan kalian akan mendapat perlawanan yang sengit dari kami. Sejarah tak bisa kalian putar balikkan seenak kepentingan kalian.
2. Kehebatan Ulama-ulama Aswaja Nusantara di Masa Lalu
Para ulama kita dahulu memang hebat-hebat adanya. Mereka telah menjadi tokoh-tokoh dunia dan mengharumkan serta melambungkan nama Nusantara ke pentas dunia Islam internasional. Nama-nama ulama seperti Syekh Yusuf al-Makassari (Makassar) dan Syekh Abdur Rauf as-Sinkili (Aceh), merupakan ulama yang malang melintang menuntut ilmu di Haramain pada abad ke-17. Syekh Abdus Shomad al-Palimbani (Palembang), Syekh Nafis al-Banjari (Kalsel), Syekh Arsyad al-Banjari (Kalsel) merupakan ulama tasawuf thariqat Samaniyah yang berpengaruh pada abad ke-18.
Kita juga mengenal nama-nama seperti Syekh Nurudin ar-Raniri (Aceh), Syekh Abdur Rahman al-Masry al-Batawi (Jakarta), Syekh Khatib Sambas (Kalimantan) dan lain-lainnya.
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ulama kita malah makin hebat-hebat di Mekkah. Karena mereka tidak sekadar menuntut ilmu tapi justru menembus pusat ilmu di Mekkah, yaitu sebagai pengajar dan imam di Masjidil Haram. Tercatat ada 2 nama ulama Indonesia yang menjadi Imam di Masjidil Haram Mekkah, yaitu Syeikh Nawawi al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Tersebut jualah Syeikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo yang telah melanglang buana menuntut ilmu sampai ke Mekkah, Madinah dan Yaman disaat bahkan penduduk Indonesia mungkin belumlah mengenal memakai celana apalagi yang berbahan dan bermodel pantalon. Atau mungkin sebagian dari kita juga akan asing mendengar nama KH. Kholil Bangkalan, KH. Sholeh Darat Semarang, Buya Maulana Syekh Sulaiman ar-Rasuli Canduang, Buya H. Sirajuddin Abbas, Syekh Tuanku Shaliah Keramat dan Syeikh Mahfudz Termas. Serta masih puluhan bahkan ratusan nama ulama-ulama Indonesia yang hebat di masanya yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu di sini.
Seluruh ulama pilih tanding Nusantara yang disebutkan di atas adalah ulama berakidah Asy’ariyah-Maturidiyah dan bermadzhab Syafi’iyah, madzhab yang lazim dianut oleh penduduk muslim Nusantara semenjak dulu kala. Tak satupun diantara mereka yang berakidah Mujasimah-Musyabihah, dan berfaham ekstrim nyeleneh anti madzhab imam yang empat alias Wahabiyah. Lebih jauh lagi seluruh mereka adalah para sufi, ulama-ulama thariqat yang bertassawuf.
Sebuah kenyataan historis yang mencengangkan mengingat ulama-ulama thariqat saat ini dikecam secara membabi buta dengan sebutan “kaum sufi yang tolol dan terbelakang” oleh orang-orang ahistoris tak tahu diri yang mengklaim diri mereka sebagai penegak tauhid.
Mereka buta akan fakta bahwa setelah era keemasan Walisongo di tanah Jawa dan ulama-ulama besar di tanah Sumatera serta Melayu pada umumnya para ulama sufi yang tolol dan terbelakang itulah yang menjadi imam-imam panutan tempat bertanya dan menuntut ilmu serta merenangi samudera keilmuan Islam yang nyaris tak terlihat bibir pantainya.
Dari tangan tangan mulia para ulama serta para wali Allah inilah kemudian lahir ulama-ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Ahmad Dahlan dan lainnya yang kelak sangat berperan dalam membebaskan bangsa Indonesia pada umumnya dan umat islam nusantara pada khususnya dari belenggu penjajahan Belanda.
3. Gerakan Pembaharuan Islam Mesir dan Efeknya pada Ulama-ulama Indonesia serta Polemik antara Golongan Tradisional serta Modern yang Dimanipulasi oleh Wahabi di Masa Kini
Mereka para ulama yang kami sebutkan panjang pendek perihalnya di atas, terkemuka di dalam dunia keilmuan Islam tak hanya di Nusantara melainkan juga di dunia selama abad ke 18 dan paruh kedua abad ke 19 serta awal abad ke 20. Hingga akhirnya hembusan gerakan pembaharuan islam bertiup dari Mesir, setelah beberapa waktu sebelumnya berhembus pula dari Najd. Namun anehnya sumber hembusan terdahsyat justru datang dari Perancis.
Ya, tersebutlah 3 tokoh di sini: Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Uniknya majalah al-Manar yang merupakan corong propaganda ide-ide pembaharuannya diterbitkan pertama kali saat mereka berada di Paris-Perancis. Bukankah sebuah keanehan pembaharuan islam namun dihembuskan dari negeri kafir penjajah yang terang-terang dikenal sebagai salah satu markas gerakan Freemasonry dunia?
Sepintas lalu ide pembaharuan yang digagas mereka itu sangatlah luar biasa. Ide-ide tentang modernisasi pendidikan islam, sosial dan politik tentunya tak dapat dipungkiri memang diperlukan oleh kaum muslimin di seluruh belahan dunia yang terjajah oleh bangsa-bangsa Barat saat itu. Tiba-tiba saja al-Manar menjadi konsumsi bacaan populer para pelajar Islam di Mekkah saat itu, tak terkecuali ulama-ulama asal Nusantara seperti KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang sedang belajar di sana. Tak sedikit dari para pelajar itu lalu beramai-ramai ke Mesir untuk bertemu dan kursus kilat gerakan tajdid (pembaharuan) kepada Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha.
Namun gerakan modernisasi Islam alias gerakan tajdid ini menyimpan racun yang justru sangat mematikan bagi umat Islam itu sendiri yaitu pelepasan diri dari kaidah bermadzhab kepada madzhab yang empat serta pemberangusan thariqat-thariqat sufi bahkan yang mu’tabarah sekalipun.
Mereka juga menolak madzhab akidah Asy’ariyah-Maturidiyah yang telah berabad-abad dikenal sebagai akidah Ahlussunnah wal Jam’ah. Bayangkan, bukankah itu ibarat seekor kambing yang tak bisa mengaum namun ingin diakui sebagai singa bukan?
Selain itu mereka juga mengecam keras tradisi keislaman seperti maulid, perayaan isra mi’raj dan berziarah ke makam orang-orang sholeh. Dan mereka sangat menekankan bahwa pintu ijtihad masih terbuka lebar dan siapapun bisa dan berhak melakukannya.
Walhasil lahirlah mujtahid-mujtahid gadungan yang kurang ilmu, kering hikmah, miskin khazanah dan bahkan tanpa sanad keilmuan yang jelas. Sehingga fatwa-fatwa yang dihasilkanpun bukan alang kepalang nyeleneh bin ngawurnya.
Semua orang asal bisa berbahasa Arab agak sejurus dua jurus, sepukul dua pukul maka dia bisa dan boleh berijtihad sekehendak hatinya tanpa harus memperhatikan ijma’ ulama terdahulu.
Kalau perlu silakan saja menyalahkan pendapat mereka, shahihkan, dha’ifkan, maudhu’kan, bahkan kafirkan muhadits sekelas Imam Bukhari dan Imam Muslim jika hadits mereka tak sesuai dengan akidah Wahabiyah yang merujuk kepada Syeikh Ibnu Taimiyah. Ini sama saja dengan membebaskan segerombolan anak Paud mengurus keperluan hidupnya sendiri tanpa ada bekal yang cukup dan tanpa ada yang mengawasi.
Agama Islam itu bisa kau fahami dengan seenak nafsu dan akalmu “Do what You want, do what You wilts.” Dari luar gerakan pembaharuan ini sangat mempesona dengan ide ide modernisasi Islam yang bertujuan mengangkat Islam dari keterbelakangan, namun isinya tak lebih dari gerakan Wahabisme jilid dua.
Bahkan yang menarik adalah Muhammad Abduh sendiri mengakui bahwa dia sangat terpengaruh pemikiran Mu’tazilah alias Islam liberal, suatu faham Islam yang ditolak mentah-mentah dengan reaksi yang sangat over acting oleh pengagum-pengagumnya saat ini.
Kemu’tazilahan Abduh bukanlah sebuah rahasia lagi di dunia kajian sejarah faham Wahabi di kalangan para ulama Aswaja dan pemerhati masalah konspirasi saat ini. Bahkan seorang bernama David Livingstone di dalam bukunya “Illuminati and Terrorism” dengan tegas dan berani mengatakan Abduh, Ridha, dan Jamaludin al-Afghani sebagai agen-agen Freemasonry yang ditanam di dalam tubuh islam.
4. Pelurusan Distorsi Sejarah, Fitnah serta Klaim Wahabi terhadap Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi serta Polemiknya dengan Thariqat Naqsabandiyah di Minangkabau
Gelombang gerakan pembaharuan ini ditanggapi dengan reaksi yang beragam oleh para pelajar dan ulama Indonesia saat itu baik yang belajar di Mekkah maupun tokoh-tokoh pergerakan Islam yang berada di tanah air.
Golongan pertama adalah mereka yang cenderung menerimanya bulat-bulat sebagai sesuatu yang mutlak dan sebagai sebuah keniscayaan, termasuk ide Abduh dan Ridha untuk meninggalkan taqlid kepada madzhab imam yang empat dan pemberangusan thariqat-thariqat sufi.
Sedangkan golongan kedua adalah mereka yang menerima dan menyerap gagasan pembaharuan Islam Abduh dalam bidang modernisasi pendidikan, sosial dan kesadaran politik, namun dengan tegas menolak mentah-mentah gagasan untuk keluar dari kaidah taqlid bermadzhab kepada Imam madzhab yang empat serta mengikuti dan mengamalkan tassawuf melalui thariqat thariqat sufi.
KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan termasuk kepada golongan yang kedua ini. Sedangkan ulama seperti Syeikh Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad) dan pimpinan organisasi pergerakan Islam seperti HOS. Tjokroaminoto termasuk kepada golongan yang pertama.
Tentunya terjadi perdebatan, ketegangan dan tarik menarik diantara kedua golongan ini. Namun diantara mereka tetap saling menghargai dan menghormati. Cita-cita untuk mencapai Indonesia yang merdeka dari penjajahan bangsa kafir Belanda yang menjadi impian seluruh rakyat Indonesia saat itu membuat mereka mau tak mau harus duduk dan berjuang bersama.
Di sinilah kaum Wahabi hari ini melakukan distorsi-distorsi sejarah yang cukup signifikan. Mereka mengatakan bahwa Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang merupakan guru dari nyaris seluruh ulama Indonesia yang belajar di Mekkah saat itu sebagai seorang ulama yang anti tassawuf, anti thariqat dan anti kaum sufi, sejalan dengan Abduh dan Ridha. Ini tentunya cukup menggelikan, memang Syeikh Ahmad Khatib pernah terlibat polemik permasalahan thariqat dan hukum adat yang berlaku di alam Minangkabau dengan ulama-ulama dan kaum Niniak Mamak-Cadiak Pandai di Ranah Minang.
Memang beliau juga pernah terlibat berbantah-bantahan cukup panjang dengan ulama-ulama thariqat Naqsabandiyah dan mengecam thariqat itu melalui kitabnya Idzar Zaghl al-Kadzibin fi Tasyabbuhihim bi ash-Shadiqin (Menyatakan kebohongan orang-orang yang menyerupai orang-orang yg benar) terbitan 1906. Di kitab yang membuat heboh Urang Awak di masanya tersebut beliau menyerupakan orang yang bersuluk dengan memakai rabithah (membayangkan wajah mursyid saat melafalkan dzikir pada prosesi suluk) sama dengan orang menyembah berhala.
Lebih lanjut beliau juga memfatwakan haramnya harta pusaka serta hukum berwaris dari mamak (paman) kepada kemenakan sebagaimana yang lazim berlaku dalam adat Minang. Kecaman ini telah dikupas habis oleh seorang ulama besar, pendekar Naqsyabandiyah, Syeikh Muhammad Sa’ad al-Khalidi Mungka Tuo (w. 1922) lewat kitab balasannya Irghamu Unuf al-Muta’annithin fi Inkarihim Rabithat al-Washilin (Meremukkan hidung penantang, yaitu mereka yang mengingkari Rabithah orang-orang yang telah sampai kepada Allah).
Polemik ini kemudian ramai dibicarakan oleh ulama-ulama muda wabil khusus yang berasal dari Minangkabau yang tentunya mendukung Syeikh Ahmad Khatib. Sikap mereka ini disinyalir akibat terpengaruh oleh bacaan mereka yaitu majalah al-Manar yang diasuh oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Perbantahan seputar masalah thariqat ini kemudian terus berlanjut, masing-masing kedua ulama besar ini kemudian mengeluarkan satu kitab lagi untuk berargumentasi. Namun para ulama Minang dan seluruh Sumatera sepakat bahwa argumen dan dalil-dalil dari Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang didukung dengan ilmu alat yang lengkaplah yang jauh lebih kuat dan unggul ketimbang apa yang disampaikan oleh Mufthi Mekkah Syeikh Ahmad Khatib.
Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi, ulama besar di Aceh, pernah menulis dalam kitabnya “Intan Permata” mengenai keputusan perdebatan Syekh Ahmad Khatib dengan Syekh Sa’ad Mungka bahwa dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh Ahmad Khatib itu ibarat seekor harimau yang telah terpenggal lehernya oleh kitab tulisan Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka Tuo.
Kelak di kemudian hari Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo bertemu di sebuah jamuan makan di Mekkah. Syeikh Ahmad Khatib tercengang dan takjub dengan kerendahan hati, kezuhudan serta kefasihan dan kealiman Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo saat berbicara dengannya. Mereka berbincang-bincang akrab, bahkan Syeikh Ahmad Khatib yang adalah seorang mufti saat itu mempersilakan Syeikh Sa'ad duduk di sebelahnya sebagai tanda penghormatan.
Nyata betul kalau perdebatan mereka jauh sekali dari perilaku takfir dan tabdi' seperti yang lazim ditulis para akademisi sejarah Islam berhaluan Wahabi saat ini. Jelas sekali kalau polemik mereka hanyalah sebatas keilmuan saja, selayaknya dua raksasa intelekual Islam yang saling menguji sampai batas mana kefahaman mereka terhadap al-Qur'an dan Hadits, tak lebih.
Hal itu karena walau bagaimanapun mereka adalah sama-sama ulama berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah, sama-sama bermadzhab Syafi'iyah dan bahkan lebih dari itu sama-sama mursyid thariqat. Ya, Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi walau bagaimanapun keras argumennya tentang thariqat, namun beliau tetaplah seorang sufi belaka.
Beliau memang mempunyai pandangan-pandangan khusus tentang thariqat, namun bukan seluruh thariqat yang dikritisinya atau bahkan dibantainya seperti yang dilakukan Abduh dan Ridha, melainkan hanyalah thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah saja dan itupun argumennya mentah dibasuh oleh Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka Tuo.
Terlebih dari itu bagaimanapun luasnya keilmuan beliau namun hingga akhir hayatnya tak sekalipun beliau berlepas diri dari madzhab Imam yang empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah. Begitupula murid-murid beliau baik yang berasal dari Minang maupun dari tanah Jawa, walaupun akrab dengan al-Manar tapi mereka tetaplah berpegang teguh kepada tradisi bermadzhab dan mengikuti thariqat-thariqat sufi.
5. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan oleh Wahabi terhadap Polemik Pembaharuan di Minangkabau
Tersebut jualah seorang tokoh ulama besar Indonesia asal Minangkabau Sumatera Barat yang disebut-sebut oleh kaum Wahabi saat ini sebagai tokoh pembaharu pendukung dan pengadopsi gerakan tajdid Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha serta mendukung gerakan pemurnian tauhid ala Wahabiyah. Beliau adalah Syeikh DR. Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka) di Ranah Minang.
Keduanya memang merupakan tokoh modernisasi Islam di Indonesia, dan memang pernah mengenal dan mengakrabi ide-ide Abduh yang termaktub di dalam majalah al-Manar. DR. Abdul Karim Amarullah atau yang lebih dikenal dengan Inyiak Rasul ini merupakan pendiri sekolah dan perkumpulan Sumatera Thawalib di Parabek Padang panjang serta orang yang pertama kali memperkenalkan perkumpulan Muhammadiyah di ranah Minang. Bersama DR. Abdullah Ahmad Padang (pendiri Adabiyah School) dan lainnya, beliau menerbitkan surat kabar untuk menyambung ide-ide pembaharuan itu di Padang dengan nama “Majalah al-Munir” (senada dengan al-Manar di Mesir). Memang seperti halnya guru mereka Syeikh Ahmad Khatib merekapun melakukan kritisi terhadap praktek thariqat wabil khusus thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah yang lazim dianut kaum ulama tua di Minangkabau.
Hal ini menimbulkan polemik yang merupakan kepanjangan dari polemik thariqat antara Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya. Pihak Sumatera Thawalib melalui majalah al-Munir-nya mengkritisi kejumudan kaum tua yang terlalu sibuk dengan urusan suluk dan beramal bathiniyah namun melupakan keadaan sosial masyarakat yang terpuruk di bawah kaki penjajah Belanda saat itu.
Sebagai aksi nyatanya mereka mendirikan sekolah-sekolah diniyah dan madrasah modern yang pendidikannya mengkombinasikan pendidikan ala Islam dan Barat sebagai antitesis dari pendidikan Islam ala surau yang lazim berlaku di ranah Minang dan tanah Melayu pada umumnya.
Dan ulama-ulama tua Minang pun tak tinggal diam. Puluhan kitab ditulis mereka untuk membantah tuduhan jumud dan kolot dari kaum muda tersebut. Diantaranya Maulana Syeikh Sulaiman ar-Rasuli (w. 1970) yang mengarang berbagai risalah tentang Naqsyabandiyah, salah satunya yang terkemuka ialah Risalah Aqwal al-Washithah fi Dzikr wa Rabithah; kemudian Syeikh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syeikh Arifin Batu Hampar, kemudian Syeikh Abdul Wahid “Beliau Tabek Gadang” Payakumbuh.
Dan saat polemik tersebut semakin meruncing sampai ke ranah khilafiyah dan furu’iyah fiqih maka para ulama kaum tua di Minang merespon gerakan pembaharuan kaum muda tersebut dengan mendirikan PERTI atau Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada tahun 1930. Maka lengkaplah sudah babak polemik agama Islam antara kaum muda/modernis dan kaum tua/tradisionalis di ranah Minang.
Namun seiring dengan waktu setelah masa pergolakan dan perang dingin antara kaum pembaharu muda dengan Sumatera Thawalib dan Muhammadiyah-nya serta kaum tua dengan PERTI-nya tersebut, mereka lalu hidup berdampingan dalam persaudaraan hingga hari ini. Sungguh ikatan persaudaraan mereka sebagai muslim dan ikatan emosional adat dan kekerabatan di alam Minangkabau tak memberi sedikitpun tempat bagi perilaku takfir dan tabdi' ala Wahabiyah.
Terlebih lagi semoderat apapun pemikiran DR. Abdul Karim Amrullah akibat pengaruh gerakan tajdid ala Abduh dan Ridha di Mesir dia tetaplah jua seorang ulama yang sangat kental corak dan latar belakang thariqatnya. Bahkan seperti halnya gurunya diapun adalah seorang sufi belaka jua.
Sang Inyiak Rasul ini adalah anak dari seorang ulama besar dan legendaris Minangkabau bernama Syeikh Amrullah Tuanku Kisa’i al-Khalidi Naqsyabandi ad-Danawi. Ayahnya tersebut yang lebih dikenal di kalangan masyarakat Minang saat itu dengan sebutan Tuanku Kisai ini adalah seorang ulama pewaris kaum paderi dan seorang mursyid thariqat Naqsabandiyah Khalidiyah dan beberapa thariqat lainnya. Dari ayahandanya inilah Inyiak Rasul mendapatkan ijazah thariqat Alawiyah dan Haddadiyah.
Begitupula dengan DR. Abdullah Ahmad Padang dan Syeikh Muhammad Jalil Jambek serta ulama-ulama Minang pengusung modernisme lainnya juga adalah orang-orang yang berlatar belakang thariqat belaka adanya.
Dan perlu juga kami tuturkan di sini bahwa tak sedikit pula murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang justru malah menjadi ulama-ulama thariqat Naqsabandiyah dan cenderung berdiri di sisi kaum tua.
Jadi di Minangkabau tak ada itu gerakan tajdid membabi buta ala Abduh dan Ridha di Mesir yang secara serampangan memberangus thariqat-thariqat sufi dengan menggunakan kekuasaan Abduh sebagai seorang mufti. Tak ada pula itu obral tabdi' apalagi takfir dan tindakan penghalalan darah sesama muslim sebagaimana layaknya corak kelam dan menjijikkan yang mewarnai sejarah gerakan Wahabi di manapun dia berada.
Perdebatan boleh bergemuruh laksana guruh di dalam topan badai, argumen dan dalil boleh diumbar selebar dan sepanjang jalan berkelok ampek puluah ampek nan masyhur itu, namun hanya sebatas kajian keilmuan saja, tiadalah lebih.
Modernisasi tak pelak memang perlu dilakukan sebagai keniscayaan tuntutan zaman, namun bukan berarti menjadi alibi dan legitimasi untuk mendobrak tatanan kaidah agama yang telah ijma' selama nyaris 1000 tahun lebih seperti tradisi dan kaidah bermadzhab.
Inilah yang sangat disadari oleh kaum muda pembaharu di Minangkabau, mereka mengganti yang usang dengan yang baru sesuai tuntutan zaman tanpa harus membuang seluruhnya. Mana yang baik dan bisa dipakai maka tetaplah dipertahankan karena merenovasi sebuah rumah bukanlah dengan cara meruntuhkan pondasi rumah tersebut dengan dinamit, sungguh hanya orang kurang akal dan telah pesong otaknya saja yg melakukan hal itu.
Tapi walaupun demikian adanya, tiadalah dapat dipungkiri kalau angin gelombang pembaharuan ini berperan tidaklah sedikit dalam memudarkan tradisi belajar agama di surau yang lazim berlaku di ranah Minang. Lengang sudah surau-surau tempat anak nagari mempelajari ilmu agama, mengkaji kitab-kitab kuning para ulama terdahulu, mengenal adat nan basandi syara' dan basandi Kitabullah, serta menyelami dan meniti jenjang syariat, hakikat dan ma'rifat menuju sosok insan kamil.
Zaman kini telah berganti, gamis dan sarung, saluak, kopiah serta imamah telah berganti dengan kemeja, celana pentalon serta setelan jas ala Eropa. Ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ma'ani, bayan, manthiq dan ushul telah tergantikan dengan pelajaran agama bermetode Barat yang serba modern dan menggunakan huruf latin. Tradisi “lalok di surau” (menginap di mesjid/mushola) selepas mengaji dan shalat Isya telah lenyap sudah menjadi cerita masa lalu bagi generasi muda nan lugu dan tak tahu asa barasa carito cadiak pandai urang awak.
Dan akibatnya semakin sedikit yang bisa membaca kitab-kitab tulisan hasil buah fikiran dan manisnya lautan madu ilmu ulama-ulama angku nan tuo. Kitab itu kini semakin habis dimakan usia, seiring habis dan terangkatnya kejayaan dan keemasan serta harum mewanginya ranah Minang sebagai salah satu gudangnya ulama, sastrawan serta kaum cerdik pandai di Nusantara. Inikah yang dinamakan pembaharuan yang gegap gempita bergaung suaranya dari Mesir hingga ke pojok-pojok kampung yang orang-orangnya bahkan tak tahu ada negeri lain di dunia ini selain nagari nan diapik gunung Singgalang dan danau Maninjau? Tajdid... oooh tajdid!
DR. Abdul Karim Amrullah dan seluruh ulama pembaharu di ranah Minang hingga akhir hayatnya tetaplah berpegang teguh kepada madzhab akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, madzhab fiqih Syafi'iyah dan berthariqat dengan thariqat-thariqat yang mu'tabarah.
Tak sejengkalpun mereka melepaskan diri dari taqlid kepada madzhab Imam Syafi'i sebagaimana yang diserukan Abduh dan Ridha. Beliau tetaplah mengikuti jejak ayahandanya Tuanku Kisai, gurunya Syeikh Ahmad khatib al-Minangkabawi dan ulama-ulama terdahulu dalam hal kaidah tradisi bermadzhab kepada salah satu madzhab yang empat, dalam hal ini madzhab Syafi'iyah.
Tiadalah beliau mengenal apalagi menganut tauhid yang dibagi tiga laksana membelah martabak yang dibeli di pinggir jalan itu, tak ada itu Uluhiyah, Rububiyah dan Asma wa Shifat dalam kamus dalil Inyiak Rasul.
Maka dengan itu klaim murahan kaum Wahabi bahwa para pembaharu di Minang adalah kaum Wahabiyah adalah kebohongan belaka. Sebuah usaha pendistorsian sejarah yang sangat licik dan menjijikkan serta dengan mudah dapat ditelanjangi di siang hari bolong di tengah ramainya orang di balai.
Coba fikir, seorang Wahabi macam apa yang berbaiat kepada dua thariqat sekaligus seperti beliau? Wahabi macam apa pula yang tetap berpegang teguh dan taqlid kepada Imam Syafi'i? Bahkan putera beliau yaitu Buya Hamka yang tak luput jua dari distorsi sejarah dan klaim para Wahabi bahwa beliau berfaham tauhid ala Najd itupun sejatinya juga adalah seorang Asy'ariyah-Syafi'iyah. Walaupun dalam beberapa masalah beliau cukup moderat toh menjelang akhir hayatnya Buya Hamka akhirnya berbaiat kepada KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin atau lebih dikenal dengan Abah Anom dari pesantren Suryalaya di bawah thariqat Qodiriyah wa Naqsabandiyah.
Terlebih lagi beliau juga menulis sebuah buku tentang tassawuf berjudul “Tassawuf Modern”, patahlah sudah klaim kaum Wahabi terhadap beliau laksana kayu lapuk yang telah usang dimakan rayap. Dan jika klaim serta distorsi yang mereka lakukan terhadap kaum pembaharu di era modern masih kurang maka mereka kemudian melakukan hal yang sama liciknya kepada figur ulama ranah Minang yang jauh lebih tua lagi. Tuanku Imam bonjol, Tuanku nan renceh dan kaum Paderi di Minang diklaim juga oleh mereka sebagai ulama yang berfaham Wahabiyah.
Hal ini tentunya jauh lebih menggelikan bagi kami karena klaim ini teramat sangatlah lebih mentah dari klaim mereka terhadap kaum muda pembaharu di era modern. Hal tersebut karena Tuanku Imam bonjol, Tuanku Nan Renceh dan seluruh ulama paderi yang mahsyur dengan sebutan “Harimau nan salapan” itu adalah murid dan salik dari Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo, seorang ulama tua dan mursyid thariqat Syattariyah.
Dengan demikian terlepas dari keradikalan mereka dalam menegakkan syari'at Islam di ranah Minang dan menghadapi kaum adat pada masanya, Tuanku Imam bonjol dan kaum paderi lainnya tak lain tak bukan adalah kaum sufi jualah kiranya.
Mau tak mau lagi lagi kami harus bertanya: “Wahabi macam apa pulakah yang berthariqat Syattariah? Wahabi manakah yang di kepalanya melingkar lilitan imamah seperti kaum paderi?”
Kami rasa tak satupun Wahabi yang bisa menjawabnya. Sungguh cahaya kebenaran itu memang lebih terang dari sinar mentari bagi orang-orang yg mengetahuinya, bagi yang tak pernah berhenti menggalinya dan bagi yang diberi petunjuk oleh Allah Swt.
6. Pelurusan Distorsi Sejarah yang Dilakukan Wahabi terhadap KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyyah-nya di Tanah Jawa
Lain di Minang, maka lain pula yang terjadi di pulau Jawa. Di pulau yang lazim dulu disebut dengan nama Jawadwipa ini tersebutlah seorang tokoh pembaharu bernama KH. Ahmad Dahlan. Sebagaimana rekannya dari Minang KH. Ahmad Dahlan yang bernama asli Muhammad Darwis ini, pun adalah murid dari Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kaum Wahabi mengatakan bahwa beliau adalah salah seorang tokoh pembaharu Islam di Indonesia yang berfaham Wahabi dengan alibi bahwa fiqih kaum Muhamadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan mirip dengan mereka.
Memang, kaum Muhammadiyin saat ini melaksanakan shalat dengan tanpa membaca “Usholi”. Shalat Shubuh dengan tidak memakai doa qunut, anti ziarah kubur, tahlilan dan menjauhi segala macam praktek agama Islam yang menurut mereka mengandung TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat). Selama puluhan tahun semenjak berdirinya Muhammadiyah dianggap sebagai representasi dari golongan Islam modernis di Indonesia dan merupakan rival serta antitesis dari golongan Islam tradisional NU, Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy'ari.
Dan memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan sangat akrab dengan ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dari majalah al-Manar. Dan saat berada di Mekkah beliau seperti para pelajar asal Indonesia lainnya juga ramai mendiskusikan bagaimana cara agar negeri asal mereka segera lekas merdeka dari belenggu penjajahan kolonialis Belanda.
Keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani semakin memperparah keadaan umat Islam di negeri-negeri terjajah dan memaksa banyak orang berfikiran maju seperti KH. Ahmad Dahlan harus mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Dan ide-ide modernisasi pendidikan, ekonomi, sosial dan kesadaran politik yang dipropagandakan oleh Abduh dan Ridha sedikit memberi gambaran apa langkah yang harus dia lakukan. Maka terbentuklah pemikiran seorang Ahmad Dahlan dari sini, sosok seorang santri dan Kiyai Jawa yang besar di daerah yang juga kental budaya Jawa dan pengajaran Islamnya di daerah Kauman Jogjakarta Hadiningrat yang terbuka matanya.
Dari dalam dirinya lahirlah kesadaran bahwa umat saat itu perlu mengejar ketinggalan-ketinggalan mereka, atau mau tak mau akan tergilas oleh perubahan zaman dan tetap tunduk di bawah kaki penjajahan Belanda.
Belum lagi saat itu misi Zending yang diback-up penuh oleh pemerintah kolonial Belanda gencar sekali melakukan misi pemurtadannya terhadap rakyat di daerah-daerah di pulau Jawa. Hal ini tentu saja merisaukan dirinya sebagai seorang ulama dan pejuang kemerdekaan karena ternyata umat saat itu tak hanya terjajah fisik dan mentalnya namun juga akidahnya.
Sementara kehidupan beragama masyarakat saat itupun semakin tak jelas, kekakuan sikap sebagian besar kalangan Islam tradisional pesantren saat itu tidak memberi solusi apapun atas keadaan yang terjadi waktu itu baginya.
Maka diapun membuka dirinya terhadap hal-hal yang baru bahkan tabu bagi sebagian besar kalangan kiyai Jawa saat itu. Yang pertama kali dia lakukan saat itu adalah membangun sebuah madrasah sekolah diniyah yang menggunakan metode pengajaran Barat yang mengkombinasikan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum diajarkan di sekolah-sekolah resmi Belanda saat itu, seperti bahasa Inggris dan ilmu bumi.
Kemudian dia juga tak segan bergabung dengan organisasi modern pribumi pertama saat itu yaitu Boedi Oetomo. Padahal kalangan kiyai dan pesantren saat itu menganggap Boedi Oetomo adalah perkumpulan berbasis sekuler-kejawen yang tentunya kurang pantas dimasuki oleh seorang kiyai seperti Ahmad Dahlan.
Belakangan saat Syarekat Islam, sebuah organisasi massa modern Islam pertama di Indonesia terbentuk, KH. Ahmad dahlan pun ikut bergabung di sana. Dan yang terakhir dia bergabung pula dengan Jami'at Kheir, sebuah organisasi modern yang didirikan oleh kalangan keturunan Arab di Indonesia wabil khusus dari kalangan Ahlul Bait Dzuriyat Rasulullah Saw.
Dengan demikian KH. Ahmad Dahlan tak hanya akrab dengan pemikiran Islam, namun juga dengan pemikiran-pemikiran modern di luar Islam yang dikenalnya dari sosok tokoh-tokoh pergerakan nasional saat itu seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudirohusodo, HOS. Tjokroaminoto dan yang lainnya.
Putera Kauman ini lalu berubah menjadi sosok yang modern, berfikiran maju dan kritis dalam mengahadapi setiap permasalahan. Dan bagi sebagian orang saat itu tindak tanduk dan gaya berfikir KH. Ahmad Dahlan telah keluar dari pakem-pakem kalangan pesantren.
Pergesekan tentunya terjadi, namun KH. Ahmad Dahlan tentunya melakukan semua itu bukan tanpa tujuan. Semua itu ia lakukan karena ia ingin belajar dan menyerap ilmu berorganisasi secara modern yang dimiliki kalangan Indonesia non pesantren saat itu, yaitu kalangan orang-orang terpelajar pribumi yang telah mendapatkan pendidikan modern ala Eropa.
Jadi betul sekali kalau KH. Ahmad Dahlan adalah seorang kiyai yang berfikiran modern dan visioner jauh ke depan, namun mereka menyembunyikan beberapa hal penting seputar sejarah berdirinya Muhammadiyah dan figur pendirinya tersebut.
KH. Ahmad Dahlan seperti layaknya ulama-ulama pada zamannya berguru kepada banyak ulama dalam hidupnya. Selain kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Mekkah beliau juga berguru kepada banyak ulama lainya.
Salah satu guru beliau dan yang paling mempengaruhi diri dan pemikirannya adalah KH. Sholeh Darat Semarang, seorang ulama yang cukup terkenal di masanya dan berasal dari kota Semarang Jawa tengah. Beliau adalah salah seorang ulama generasi tua di pulau Jawa dan merupakan orang yang mempelopori penulisan penerjemahan kitab al-Quran dengan menggunakan huruf Jawa pegon (huruf hijaiyah yang dipakai untuk melafalkan bahasa Jawa).
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau biasa dikenal adalah seorang ulama yang tidak saja berilmu tinggi dan banyak sekali menulis kitab semasa hidupnya, namun juga sangat merakyat, dekat dengan masyarakat, memikirkan keadaannya dan pastinya sangat anti terhadap fihak penjajah Belanda.
Saat mondok di Pesantren Darat ini pada usia 16 tahunlah KH. Ahmad Dahlan yang saat itu masih dikenal dengan nama kecilnya Muhammad Darwis mengenal kesadaran akan cita-cita kemerdekaan dari gurunya tersebut. Di pesantren ini jugalah ia saat itu bertemu dan berkawan sangat akrab dengan seorang remaja berusia 14 tahun yang berasal dari Dusun Gedang Karas Jombang, Jawa timur. Remaja sederhana, santun dan cenderung pendiam itu bernama Hasyim Asy'ari, seorang yang kelak menjadi seorang ulama besar bergelar Hadhratus Syeikh dan pendiri NU, ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia.
Mereka berdua bahkan tinggal di dalam kamar yang sama di pondokan Mbah Sholeh Darat dan merupakan santri-santri kesayangan beliau yang sangat patuh dan manut dengan dawuh kiyainya tersebut.
Selama kurang lebih 2 tahun mereka sama-sama mondok di pesantren Mbah Sholeh Darat dalam asuhan kasih sayang serta curahan ilmu dari sang guru tercinta. Setelah itu mereka sama-sama menyusuri jalannya masing masing.
Dan walaupun saat telah sama-sama menjadi tokoh besar mereka mempunyai beberapa perbedaan pandangan namun kenangan manis saat sama-sama nyantri kepada Kyai Sholeh Darat dulu adalah perekat persaudaraan mereka yang tak pernah hilang. KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari yang saat mondok dulu sering berebut untuk berkhidmat kepada gurunya tersebut bagaikan dua sisi mata koin yang saling melengkapi.
Kiyai Sholeh Darat sendiri adalah seorang penganut akidah Asy'ariyah-Maturidiyah, dan pembela madzhab akidah tersebut. Dan sebagai seorang murid tentunya KH. Ahmad Dahlan manut taqlid dengan akidah yang sama dengan gurunya tersebut. Ditambah lagi saat ia belajar di Mekkah pun ia berguru kepada masyaikh berakidah Asy'ariyah-Maturidiyah dan berfiqih Syafi'iyah pula. Maka sebagaimanapun akrabnya dia dengan ide-ide gerakan tajdid yang digaungkan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ia tetaplah tiada sejengkalpun jua beranjak apalagi berani membelakangi akidah yang dipelajari dari guru-gurunya dan kaidah taqlid bermadzhab kepada madzhab imam yang empat, dalam hal ini Syafi'iyah.
Saat ia pulang dari Tanah Suci, bahkan ia mendapat dawuh atau perintah langsung dari gurunya Kiyai Sholeh Darat untuk berdakwah di kalangan masyarakat perkotaan modern. Hal inilah yang membuat beliau kamudian terdorong untuk mendirikan Muhammadiyah yang memang dirancang untuk memajukan pendidikan umat di perkotaan dan membentengi umat dari misi Kristenisasi Zending.
Ditambah lagi saat masa-masa awal pendirian Muhammadiyah beliau yang saat itu menjadi anggota Jamiat Kheir mendapatkan bantuan baik moril maupun materil yang tak sedikit dari Sayyid Abdullah bin Alwi Alattas seorang staf Jamiat Kheir. Sebagai seorang keturunan dari Sayyid Maulana Malik Ibrahim, salah seorang Walisongo, tentunya beliau memiliki pertalian darah dengan komunitas Arab Dzuriyah Alawiyin dan membuatnya cukup akrab dengan mereka.
Dan tentunya telah maklumlah kita adanya bahwa para Dzuriyah Rasulullah dari kalangan Alawiyin adalah orang-orang yang sangat gigih memegang teguh akidah Asy'ariyah-Maturidiyah serta madzhab Syafi'i, tak terkecuali dengan KH. Ahmad Dahlan.
Walaupun ia tidak terang-terangan menolak mentah-mentah dengan tegas seruan serta ide Abduh dan Ridha untuk keluar dari madzhab imam yang empat namun dalam keyakinan serta prakteknya beliau tetaplah menafikkan seruan mereka tersebut. Sejauh apapun ilmu dituntut, semodern apapun fikiran dikembangkan yang namanya pondasi akidah dan kaidah bermadzhab adalah hal yang niscaya mutlak bagi KH. Ahmad Dahlan.
Begitupulalah pandangan beliau terhadap permasalahan thariqat, beliau juga membuang jauh-jauh ide untuk keluar dari thariqat-thariqat yg mu'tabarah. Tak banyak yang tahu bahwa di balik jubah seorang modernisnya KH. Ahmad Dahlan tetaplah seorang sufi dan tokoh thariqat di tanah Jawa yang berbaiat kepada guru mursyidnya yaitu KH. Sholeh Darat Semarang.
Sejauh apapun ilmu suthur (ilmu fiqih syariat) dituntut dan dikumpulkan di kepala tetaplah takkan lengkap kiranya jika tak dibarengi dengan ilmu shudur (ilmu bathin yang menata dan mengolah hati). Hal ini sangat disadari oleh KH. Ahmad Dahlan. Di hadapan gurunya ia tetaplah Muhammad Darwis yang manut dengan dawuh dari guru dan mursyidnya tercinta KH. Sholeh Darat Semarang.
Hal inilah juga yang beliau terapkan saat beliau mendirikan ormas/jemaah Muhammadiyah. Walaupun tak terang-terangan menggariskan bahwa Muhammadiyah adalah jemaah bermadzhab Syafi'iyah seperti yang kelak dilakukan oleh sahabatnya KH. Hasyim Asy'ari saat mendirikan NU, namun dalam amalannya Muhammadiyah tetaplah mengamalkan fiqih sesuai madzhab Imam Syafi'i.
Kami tidak bicara kosong dan melakukan klaim yg mengada ada seperti layaknya kebiasaan kaum Wahabi di sini. Berikut kami kutipkan ringkasan fiqih yang diamalkan kalangan Muhammadiyah di masa awal berdirinya organisasi Islam yang sempat menjadi sangat besar di masa lalu tersebut, dan tetaplah terpandang dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara hingga hari ini. Berikut ini ringkasannya:
Ringkasan KITAB FIQIH MUHAMMADIYAH, penerbit Muhammadiyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid III, diterbitkan th 1343 H (sekitar th 1926):
1. Niat sholat pakai “USHOLLI FARDLA..” (h. 25)
2. Setelah takbir baca “KABIRAN WAL HAMDULILLAHI KATSIRA..” (h. 25)
3. Membaca al-Fatihah pakai “BISMILLAH” (h. 26)
4. Setiap Shubuh baca QUNUT (h. 27)
5. Membaca sholawat pakai “SAYYIDINA”, termasuk bacaan sholawat dalam sholat (h. 29)
6. Setelah sholat disunnahkan WIRIDAN: Istighfar, Allahumma Antassalam, Subhanallah 33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x (h. 40-42)
7. Sholat Tarawih 20 rokaat, tiap 2 rokaat 1 salam (h. 49-50)
8. Tentang sholat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (h. 57-60).
Pertanyaan kami, apakah kaum pemegang teguh manhaj salaf dan pewaris gerakan tajdid Pan Islamisme radikal-fundamental saat ini mengamalkan hal yang juga diamalkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan orang-orang Muhammadiyah di masa awalnya seperti yang tercantum di atas?
Jika iya, maka selamat Anda telah menjadi seorang Aswaja Syafi'iyah seperti halnya kami, namun jika tidak maka janganlah mempermalukan diri tuan-tuan dengan mengklaim bahwa KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah berfiqih dan berfaham Wahabiyah seperti yang kalian anut.
sHingga akhir hayatnya di tahun 1923 beliau KH.Ahmad Dahlan adalah murni seorang Asy'ariyah-Maturidiyah bermadzhab Syafi'iyah dan tak pernah sejengkalpun beranjak dari kaidah-kaidah bermadzhab.
Lalu dari manakah datangnya amalan-amalan warga Muhammadiyah yang saat ini konon katanya persis dengan apa yang diamalkan oleh kaum berfaham Wahabi? Setelah KH. Ahmad Dahlan meninggal, perkumpulan Muhammadiyah disemarakkan oleh banyaknya diskusi-diskusi keagamaan oleh anggotanya baik secara pribadi dalam pertemuan-pertemuan maupun melibatkan perkumpulan, seperti yang terjadi pada kongres Islam di Surabaya tahun 1924.
Topik utama yang didiskusikan dalam kongres ini antara lain adalah masalah ijtihad di seputar ajaran Muhammadiyah dan al-Irsyad. Diantara keputusan penting yang dihasilkan dalam kongres ini adalah bahwa Muhammadiyah dan al-Irsyad tidak sama dengan orang- orang Wahabi, bahwa kedua organisasi ini tidak dianggap menyimpang dari madzhab-madzhab hukum Islam, dan mereka yang melakukan tawassul tidak dianggap kafir.
Setelah terjadi perdebatan panjang, hangat dan tajam dalam kongres, para pemimpin muslim yang hadir sepakat bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan dapat dilakukan oleh mereka yang memahami Bahasa Arab dan menguasai teks-teks al-Quran dan Hadits, menguasai ijma’ ulama, mengetahui para perawi hadits dan riwayat mereka, dan mengetahui alasan-alasan turunnya al-Quran dan dikeluarkannya matan-matan hadits.
Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya KH.Ahmad Dahlan.
Salah satu pemimpin Muhammadiyah selanjutnya adalah KH. Mas Mansur. Atas idenya Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927. Sehingga dengan berdirinya Majlis Tarjih, gerak langkah Muhammadiyah dalam menimbang Hukum Agama tidak lagi bertaqlid kepada satu madzhab dan lebih jelasnya bahwa Muhammadiyah berubah menjadi tidak lagi bermadzhab Syafi'i.
Di masa KH. Mas Mansyur inilah terjadi revisi-revisi dalam amalan-amalan warga Muhammadiyah setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat Tarawih menjadi sebelas rakat. Sebuah hal yang nyaris mustahil terjadi jika KH. Ahmad Dahlan masih hidup, dimana saat itu Muhammadiyah sepi dari perdebatan yg melahirkan keputusan yang berkenaan dengan khilafiyah dan keluar dari kaidah bermadzhab.
7. Van Der Plas, Syeikh Ahmad Syurkati (Pendiri Al-Irsyad) dan Peranan Freemasonry-Wahabi dalam Distorsi Sejarah Muhammadiyah
Namun tak banyak yang mengetahui bahwa perubahan haluan Muhammadiyah dalam bermadzhab ini adalah akibat dari konspirasi yang dilancarkan oleh fihak kolonial Hindia Belanda dari dalam tubuh perkumpulan ini sendiri.
Posisi Muhammadiyah yang saat itu berkembang menjadi perkumpulan Islam yang besar dan semakin tertarik ke pusat pusaran politik seperti halnya Syarekat Islam/SI cukup membuat khawatir Gubernemen di Batavia. Posisi Gubernemen sendiri cukup terjepit saat itu menghadapi gelombang pergerakan politik etis serta tuntutan balas budi kepada kaum pribumi dari kaum demokrat liberal di dalam negeri Belanda di satu sisi.
Sedangkan di sisi lainnya mereka direpotkan oleh kaum pergerakan nasional Indonesia yang semakin hari semakin radikal saja, terutama dari kalangan Islam dalam hal ini SI yang saat itu juga terpengaruh oleh semangat revolusi Bolsheviks di Russia.
Ditambah lagi dengan kedatangan dua orang pelarian politik dari sayap radikal kaum sosial demokrat negeri Belanda bernama Sneevliet dan Baars yang dengan cepat membangun massanya di antara anggota SI yang diperkenalkan kepada ajaran Marxisme oleh mereka.
Gubernemen di Batavia sangat khawatir kalau Muhammadiyah yang sedang besar-besarnya saat itu ikut menjadi radikal seperti halnya SI mengingat mereka sama-sama berhaluan Islam moderat yang sangat terbuka akan pengaruh dari luar.
Pemerintah kolonial di Batavia tentunya tidak memerlukan dua lawan yang besar sekaligus. Berkali-kali mereka mencoba untuk melancarkan pembunuhan terhadap KH. Ahmad Dahlan, namun selalu gagal karena sang kiyai selalu dijaga ketat dan dikelilingi oleh jamaahnya. Oleh karena itu maka Van Der Plas seorang orientalis dan disinyalir juga sebagai agen MI-6 yang bekerja untuk Gubernemen Hindia Belanda segera merancang sebuah plot untuk “menjinakkan” Muhammadiyah dari dalam.
Tersebutlah seorang pemuda asal Aceh bernama Muhammad Basya Dahlan, seorang yang dibina langsung oleh Van Der Plas untuk menyusup ke dalam tubuh Muhammadiyah. Muhammad Basya Dahlan lalu dikirim oleh Van Der Plas ke Saudi Arabia, pusat gerakan Wahabi yang pemerintahannya disokong penuh oleh pemerintah Inggris dan gerakan Zionis-Freemasonry dunia.
Di sana dia mempelajari gerakan dan faham Wahabi langsung dari para masyaikh masyaikhnya di Najd dan kembali ke Indonesia untuk meniti karier keorganisasian di perkumpulan Muhammadiyah. Van Der Plas dengan sokongan penuh Gubernemen menggelontorkan uang jutaan gulden untuk mengantarkan Muhammad Basya ke posisi penting di dalam strata kepengurusan Muhammadiyah.
Setelah berhasil mulailah dia melancarkan aksinya menebar racun faham Wahabi di tubuh perkumpulan tersebut dan mencetak kader-kader muda Muhammadiyah yang berfaham wahabi. Dan ketika posisi Muhammad Basya Dahlan ini semakin kuat di dalam perkumpulan, atas dukungan kader-kader muda, maka KH. Ahmad Dahlan sampai terpaksa harus menyingkir ke pelosok lereng gunung merapi untuk menghindari kejaran dan bentrokan dengan Muhammad Basya Dahlan serta pengikutnya yang berfahaman keras Wahabi. Kelompok kecil KH. Ahmad Dahlan yang menyingkir inilah yang kemudian disebut sebagai “Muhammadiyah Dalam”.
Akidah mereka masih sama dengan akidah yang dianut oleh KH. Ahmad Dahlan, begitupula dalam masalah fiqih masih menganut madzhab Syafi'iyah sehingga amalan dan pemahamannya pun sama persis dengan warga NU dan Islam tradisional pada umumnya.
Sedangkan kelompok kaum muda yang dikader oleh Muhammad Basya Dahlan disebut sebagai “Muhammadiyah Luar”, kelompok inilah yang mendominasi dan menyebar ke seluruh pelosok Nusantara. Kelompok ini cenderung keras dalam bersikap terhadap kaum tradisionalis pesantren serta kiyai-kiyai Jawa, bahkan cenderung memusuhi KH. Hasyim Asy'ari dan NU serta kaum tradisionalis pada umumnya. Sikap mereka khas orang yang berfaham wahabi, dengan mengkampanyekan anti TBC (Takhayul, Bid'ah dan Churafat), tabdi', bahkan dalam beberapa kasus tak segan-segan melancarkan takfir.
Mereka memusuhi dengan keras amalan-amalan warisan KH. Sholeh Darat yang diamalkan oleh kaum Muhammadiyah Dalam dan NU seperti Shalawat Burdah, tahlil dan kitab-kitab karangan beliau yang menerangkan tentang kaidah bermadzhab serta faham akidah Asy'ariyah-Maturidiyah.
Selain itu mereka juga memusuhi dan tidak mangakui para Ahlul Bait Dzuriyah Rasulullah dan menafikan peran mereka sebagai pembawa Islam ke Nusantara. Ajaibnya beberapa keturunan Kiyai Sholeh Darat sendiri ada yang mendukung pemahaman dan penyikapan kaum Muhammadiyah Luar ini termasuk memusuhi tradisi dan kitab-kitab kakek buyut mereka sendiri.
Inilah yang menyebabkan timbulnya ketegangan antara warga Muhammadiyah dan NU serta kaum tradisionalis lainnya di masa lalu, tentunya kita pernah mendengar bahwa hanya karena masalah qunut atau tidak qunut saja pun mereka sering kali nyaris baku hantam bukan?
Sebuah kenyataan yang sangat memilukan hati ini jika kita mengetahui bahwa kedua pendiri ormas Islam ini dahulunya adalah teman satu kamar di pondok pesantren Kiyai Sholeh Darat, sama-sama pernah berguru pada masyaikh Aswaja Syafi'iyah v sama di Mekkah dan merupakan sahabat karib yang saling menghormati dan menyayangi sepanjang hidup keduanya.
Walau seiring dengan waktu dan perkembangan zaman, penyikapan Muhammadiyah Luar ini semakin bijak dan melunak namun ketegangan serta perbedaan antara kedua ormas yang mewakili golongan medern dan tradisionalis ini seringkali masih muncul ke permukaan.
Dengan demikian berhasil lah Van Der Plas dengan gilang-gemilang memecah dan mengendalikan serta merubah haluan Muhammadiyah dari dalam seperti halnya juga SI yang berhasil dipecah belah menjadi SI Merah dan SI Putih.
Orientalis andalan Gubernemen Belanda disamping Snouck Hurgronje yang juga agen MI-6 ini memang sangat piawai memecah belah bangsa ini dari masa ke masa. Dan sebagai seorang orientalis tentunya dia juga mendalami bahasa dan budaya pribumi, Arab bahkan keilmuan Islam. Uniknya Van Der Plas belajar ilmu tafsir dan fiqih dari Syeikh Ahmad Surkati, pendiri al-Irsyad saat dia menjabat sebagai Ajun Advisor di sebuah kantor pemerintah kolonial Belanda (Kantoor voor Inlandsche Zaken) yaitu sebuah badan Gubernemen Hindia Belanda yang mengurusi urusan bahasa-bahasa asing dan timur jauh.
Di sinilah juga Syeikh Ahmad Surkati bekerja sebagai penasihat Van Der Plas sekaligus sebagai guru dan sahabatnya. Hal ini justru diungkapkan di sebuah buku yang ditulis oleh anak dari asisten pribadi serta murid Syeikh Ahmad Surkati yang bernama Hussein Badjerei putera dari Abdullah Aqil Badjerei. Hussein Badjerei ini adalah penulis resmi buku sejarah perkembangan al-Irsyad di Indonesia. Jadi datanya pastilah valid karena dia dapat langsung dari ayahnya dan orang dalam al-Irsyad sendiri.
Maka nyatalah sudah permainan spionase serta konspirasi agen MI-6 yang merupakan badan intelijen Inggris dan alat dari gerakan Zionis-Freemasonry/Illuminati yang dibantu oleh seorang tokoh gerakan tajdid berfaham salafi sendiri, Syeikh Ahmad Surkati, entah dia sadar atau tidak. Bukanlah rahasia lagi jika para pejabat tinggi Gubernemen kolonialis Hindia Belanda adalah para Mason dengan derajat yang cukup tinggi.
Contohnya adalah Jenderal Van Heutz, mantan panglima perang pasukan Marsose yang meluluhlantakkan Aceh dan membunuhi para syuhada pembela Islam di bumi Serambi Mekkah tersebut.
Setelah sukses menaklukkan para pejuang Aceh atas bantuan riset Snouck Hurgronje, dia kemudian diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda sekaligus atasan langsung Van Der Plas. Tentunya sang grand master tak akan membiarkan raksasa muda Muhammadiyah menjadi lebih besar dan membahayakan kelangsungan kepentingan mereka bukan hanya di masa kolonial namun juga di masa-masa yang akan datang.
Dan sisi terkelam dari sebuah kisah gerakan tajdid yang digaungkan oleh tiga orang agen Freemasonry dari tanah para Fir'aun pun ternyata menggelar konspirasinya juga di bumi Jawadwipa.
Bersambung...
Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 14 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar