Senin, 07 September 2015

dalil membacakan alfatihah untuk orang mati

Hadis membaca surat Al Fatihah untuk yang meninggal dunia
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya” (HR al-Thabrani dalam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Main 4/449)[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ فتح الباري لابن حجر -----3 / 184
“HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan” (Fath al-Bari III/184)
Surat Fatihah Adalah Doa
Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan bahwa beberapa sahabat Nabi pernah singgah di sebuah kabilah, yang kepala sukunya terkena gigitan hewan berbisa. Lalu sahabat melakukan doa ruqyah dengan bacaan Fatihah (tanpa ada contoh dan perintah dari Nabi). Kepala suku pun mendapat kesembuhan dan sahabat mendapat upah kambing. Ketika disampaikan kepada Nabi, beliau tersenyum dan berkata:
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ أَصَبْتُمُ اقْسِمُوا وَاضْرِبُوا لِى مَعَكُمْ بِسَهْمٍ
“Dari mana kalian tahu bahwa surat Fatihah adalah doa? Kalian benar. Bagikan dan beri saya bagian dari kambing itu” (HR al-Bukhari dan Muslim, redaksi diatas adalah hadis al-Bukhari)
Di hadis ini sahabat membaca al-Fatihah untuk doa ruqyah adalah dengan ijtihad, bukan dari perintah Nabi. Mengapa para sahabat melakukannya, sebab hal ini tidak dilarang oleh Rasulullah. Sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al-Hasyr: 7
 “… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…”
Yang harus ditinggalkan adalah sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah! Dalam masalah al-Fatihah ini tidak ada satupun hadis yang melarang membaca al-Fatihah dihadiahkan untuk mayit!
Bahkan membaca al-Fatihah untuk orang yang telah wafat juga telah diamalkan oleh para ulama, diantara ulama ahli Tafsir berikut:
وَأَنَا أُوْصِي مَنْ طَالَعَ كِتَابِي وَاسْتَفَادَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَوَائِدِ النَّفِيْسَةِ الْعَالِيَةِ أَنْ يَخُصَّ وَلَدِي وَيَخُصَّنِي بِقِرَاءَةِ اْلفَاتِحَةِ وَيَدْعُوَ لِمَنْ قَدْ مَاتَ فِي غُرْبَةٍ بَعِيْداً عَنِ اْلإِخْوَانِ وَاْلأَبِ وَاْلأُمِّ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فَإِنِّي كُنْتُ أَيْضاً كَثِيْرَ الدُّعَاءِ لِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي حَقِّي وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً آمِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (تفسير الرازي : مفاتيح الغيب 18 / 183)
“(al-Razi berkata) Saya berwasiat kepada pembaca kitab saya dan yang mempelajarinya agar secara khusus membacakan al-Fatihah untuk anak saya dan diri saya, serta mendoakan orang-orang yang meninggal nan jauh dari teman dan keluarga dengan doa rahmat dan ampunan. Dan saya sendiri melakukan hal tersebut” (Tafsir al-Razi 18/233-234)
Sunnah Membaca Al Quran Di Kuburan
Imam al-Nawawi mengutip kesepakatan ulama Syafi’iyah tentang membaca al-Quran di kuburan:
وَيُسْتَحَبُّ (لِلزَّائِرِ) اَنْ يَقْرَأَ مِنَ الْقُرْآنِ مَا تَيَسَّرَ وَيَدْعُوَ لَهُمْ عَقِبَهَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ اْلاَصْحَابُ (المجموع شرح المهذب للشيخ النووي 5 / 311)
“Dan dianjurkan bagi peziarah untuk membaca al-Quran sesuai kemampuannya dan mendoakan ahli kubur setelah membaca al-Quran. Hal ini dijelaskan oleh al-Syafi’i dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah” (al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V/311)
Di bagian lain Imam Nawawi juga berkata:
قَالَ الشَّافِعِي وَاْلأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَقْرَؤُوْا عِنْدَهُ شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ قَالُوْا فَإِنْ خَتَمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ كَانَ حَسَنًا (الأذكار النووية 1 / 162 والمجموع للشيخ النووي 5 / 294)
“Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah berkata: Disunahkan membaca sebagian dari al-Quran di dekat kuburnya. Mereka berkata: Jika mereka mengkhatamkan al-Quran keseluruhan, maka hal itu dinilai bagus” (al-Adzkar I/162 dan al-Majmu’ V/294)
Murid Imam Syafi’i yang juga kodifikator Qaul Qadim[3], al-Za’farani, berkata:
وَقَالَ الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحُ الزَّعْفَرَانِي سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ اْلقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لاَ بَأْسَ بِهَا (الروح لابن القيم 1 / 11)
“Al-Za’farani (perawi Imam Syafii dalam Qaul Qadim) bertanya kepada Imam Syafii tentang membaca al-Quran di kuburan. Beliau menjawab: Tidak apa-apa”
Ibnu Hajar mengulas lebih kongkrit:
ِلأَنَّ الْقُرْآنَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ وَالذِّكْرُ يَحْتَمِلُ بِهِ بَرَكَةٌ لِلْمَكَانِ الَّذِي يَقَعُ فِيْهِ وَتَعُمُّ تِلْكَ الْبَرَكَةُ سُكَّانَ الْمَكَانِ وَأَصْلُ ذَلِكَ وَضْعُ الْجَرِيْدَتَيْنِ فِي الْقَبْرِ بِنَاءً عَلَى أَنَّ فَائِدَتَهُمَا أَنَّهُمَا مَا دَامَتَا رَطْبَتَيْنِ تُسَبِّحَانِ فَتَحْصُلُ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِهِمَا لِصَاحِبِ الْقَبْرِ … وَإِذَا حَصَلَتِ الْبَرَكَةُ بِتَسْبِيْحِ الْجَمَادَاتِ فَبِالْقُرْآنِ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الذِّكْرِ مِنَ اْلآدَمِيِّ الَّذِي هُوَ أَشْرَفُ الْحَيَوَانِ أَوْلَى بِحُصُوْلِ الْبَرَكَةِ بِقِرَاءَتِهِ وَلاَ سِيَّمَا إِنْ كَانَ الْقَارِئُ رَجُلاً صَالِحًا وَاللهُ أَعْلَمُ (الإمتاع بالأربعين المتباينة السماع للحافظ ابن حجر 1 / 86)
“Sebab al-Quran adalah dzikir yang paling mulia, dan dzikir mengandung berkah di tempat dibacakannya dzikir tersebut, yang kemudian berkahnya merata kepada para penghuninya (kuburan). Dasar utamanya adalah penanaman dua tangkai pohon oleh Rasulullah Saw di atas kubur, dimana kedua pohon itu akan bertasbih selama masih basah dan tasbihnya terdapat berkah bagi penghuni kubur. Jika benda mati saja ada berkahnya, maka dengan al-Quran yang menjadi dzikir paling utama yang dibaca oleh makhluk yang paling mulia sudah pasti lebih utama, apalagi jika yang membaca adalah orang shaleh” (al-Hafidz Ibnu Hajar, al-Imta’ I/86)
Dan hadis dari Ali secara marfu’:
وَحَدِيْثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَرْفُوْعًا مَنْ مَرَّ عَلَى الْمَقَابِرِ وَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَحَدَ عَشَرَ مَرَّةً وَوَهَبَ اَجْرَهُ لِلاَمْوَاتِ اُعْطِىَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلأَمْوَاتِ رَوَاهُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ السَّمَرْقَنْدِي (التفسير المظهرى 1 / 3733 وشرح الصدور بشرح حال الموتى والقبور للحافظ جلال الدين السيوطي 1 / 303)
“Barangsiapa melewati kuburan kemudian membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, maka ia mendapatkan pahala sesuai bilangan orang yang meninggal. Diriwayatkan oleh Abu Muhammad al-Samarqandi” (Tafsir al-Mudzhiri I/3733 dan al-Hafidz al-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur I/303)
Imam Ahmad Menganjurkan Membaca Alfatihan
Hal ini diperkuat oleh madzhab Imam Ahmad:
(وَتُسْتَحَبُّ قِرَاءَةٌ بِمَقْبَرَةٍ) قَالَ الْمَرُّوْذِيُّ سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُوْلُ إذَا دَخَلْتُمُ الْمَقَابِرَ فَاقْرَءُوْا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ وَاجْعَلُوْا ثَوَابَ ذَلِكَ إلَى أَهْلِ الْمَقَابِرِ فَإِنَّهُ يَصِلُ إلَيْهِمْ وَكَانَتْ هَكَذَا عَادَةُ اْلأَنْصَارِ فِي التَّرَدُّدِ إلَى مَوْتَاهُمْ يَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ 
(مطالب أولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 9)
“(Dianjurkan membaca al-Quran di kuburan) Al-Marrudzi berkata: Saya mendengar Imam Ahmad berkata: Jika kalian masuk ke kuburan maka bacalah surat al-Fatihah, al-Falaq, al-Nas dan al-Ikhlash. Jadikan pahalanya untuk ahli kubur, maka akan sampai pada mereka. Seperti inilah tradisi sahabat Anshar dalam berlalu-lalang ke kuburan untuk membaca al-Quran” (Mathalib Uli al-Nuha 5/9)
2 hal penting:
Pertama, Membaca Surat al-Fatihah kepada mayyit itu dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Kedua, Membaca al-Qur’an di kuburan itu bukan hal yang dilarang, bahkan ini perbuatan para kaum Anshar. Paling tidak, ini menurut Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).
Hal itu bisa kita temukan di kitab Mathalib Ulin Nuha, karangan Mushtafa bin Saad al-Hanbali (w. 1243 H). Beliau seorang ulama madzhab Hanbali kontemporer, seorang mufti madzhab Hanbali di Damaskus sejak tahun 1212 H sampai wafat. Kitab Mathalib Ulin Nuhaitu sendiri adalah syarah atau penjelas dari kitab Ghayat al-Muntaha karya Syeikh Mar’i bin Yusuf al-Karmi (w. 1033 H). (Khairuddin az-Zirikly w. 1396 H, al-A’lam, h. 7/ 234)
Bahkan menurut Imam Ahmad hal diatas adalah konsensus para ulama:
قَالَ أَحْمَدُ الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ لِلنُّصُوْصِ الْوَارِدَةِ فِيْهِ وَلأَنَّ الْمُسْلِمِيْنَ يَجْتَمِعُوْنَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُوْنَ وَيَهْدُوْنَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا 
 (كشاف القناع عن متن الإقناع للبهوتي الحنبلي 4 / 431 ومطالب اولي النهى للرحيباني الحنبلي 5 / 10)
“Imam Ahmad berkata: Setiap kebaikan bisa sampai kepada mayit berdasarkan dalil al-Quran dan hadis, dan dikarenakan umat Islam berkumpul di setiap kota, mereka membaca al-Quran dan menghadiahkan untuk orang yang telah meninggal diantara mereka, tanpa ada pengingkaran. Maka hal ini adalah ijma’ ulama (Kisyaf al-Qunna’ IV/ 431 dan Mathalib Uli al-Nuha V/10)
Kesimpulan
Bacaan dzikir yang dihadiahkan kepada ahli kubur dapat sampai kepada mereka, sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari:
وَقَالَ الْمُحِبُّ الطَّبَرِي يَصِلُ لِلْمَيِّتِ كُلُّ عِبَادَةٍ تُفْعَلُ وَاجِبَةٍ أَوْ مَنْدُوْبَةٍ وَفِي شَرْحِ الْمُخْتَارِ لِمُؤَلِّفِهِ مَذْهَبُ أَهْلِ السُّنَّةِ أَنَّ لِلاِنْسَانِ أَنْ يَجْعَلَ ثَوَابَ عَمَلِهِ وَصَلاَتِهِ لِغَيْرِهِ وَيَصِلُهُ اهـ (حاشية إعانة الطالبين 1 / 33)
“Semua ibadah yang dilakukan, baik ibadah wajib atau sunah, dapat sampai kepada orang yang telah wafat. Dan disebutkan dalam kitab Syarah al-Mukhtar bahwa dalam ajaran Aswaja hendaknya seseorang menjadikan pahala amalnya dan salatnya dihadiahkan kepada orang lain (yang telah wafat), dan hal itu akan sampai kepadanya” (I’anat al-Thalibin I/33)

maksud "tidak sampainya bacaan"oleh IMAM SYAFII

Hal yang perlu kita ingat bahwa ulama yang berhak untuk menjelaskan perkataan atau pendapat Imam Syafi’i adalah para ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Syafi’i
Tokoh Syafi’iyyah yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Syafi’i generasi pertama adalah dua imam besar madzhab Syafi’i yakni Imam Rafi’i (557-623H) dan Imam Nawawi (631-676 H) sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan pada https://mutiarazuhud.wordpress.com/…/pegangan-mazhab-syafii/
Karya-karya dua imam ini dalam madzhab Syafi’i mempunyai kedudukan sangat penting, bahkan terpenting setelah karya-karya Imam Syafi’i. Ketika seseorang ingin mengetahui pendapat ulama madzhab Syafi’i (yang berhak menjelaskan pendapat Imam Syafi’i) tentang sebuah masalah, maka karya-karya dua imam ini dapat mewakilinya.
Di sini, apabila kedua imam tersebut sepakat dan tidak ada beda pendapat dalam satu masalah, maka pendapat itulah yang dipandang sebagai pendapat yang abash sebagai madzhab Syafi’i.
Namun, apabila antara Imam Rafi’i dengan Imam Nawawi berbeda pendapat dan tidak mungkin dapat digabungkan kedua pendapat tersebut, dan antara keduanya sama kuat, maka yang harus didahulukan adalah pendapatnya Imam Nawawi karenanya Imam Nawawi adalah ulama Syafi’iyah yang paling memahami perkataan Imam As Syafi’i dan ulama-ulama madzhabnya sebagaimana disebut dalam Al Awaid Ad Diniyah (hal. 55).
Sehingga, jika ada seseorang menukil pendapat ulama As Syafi’iyah dengan kesimpulan berbeda dengan pendapat Imam An Nawawi tentang ulama itu maka pendapat itu tidak dipakai. Lebih-lebih yang menyatakan adalah pihak yang tidak memiliki ilmu riwayah dan dirayah dalam madzhab As Syafi’i.
Latar belakang Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa bacaan Al Qur’an tidak sampai kepada yang wafat, karena orang-orang kaya yang di masa itu jauh hari sebelum mereka wafat, mereka akan membayar orang-orang agar jika ia telah wafat mereka menghatamkan Al Qur’an berkali-kali dan pahalanya untuknya, maka Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak bisa sampai kepada yang wafat.
Syarat sampai pahala bacaan tergantung niat (hati) jika niat tidak lurus seperti niat “jual-beli” maka pahala bacaan tidak akan sampai. Dituntut keikhlasan bagi setiap yang bersedekah baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk bacaan Al Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651).
Berkata Syaikh Ali bin Muhammad bin Abil lz : “ Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji ”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
Berikut penjelasan dari para pengikut Imam Syafi’i apa yang dimaksud dengan pendapat masyhur Imam Syafi’i tentang pahala bacaan.
Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam Fathul Wahab menyampaikan penjelasan dari Imam An Nawawi :
وما قاله من مشهور المذهب محمول على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع بل قال السبكي الذي دل عليه الخبر بالاستنباط أن بعض القرآن إذا قصد به نفع الميت نفعه وبين ذلك وقد ذكرته في شرح الروض
“Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. (Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23]).
Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj :
قال عنه المصنف في شرح مسلم: إنه مشهور المذهب على ما إذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو القارئ ثواب قراءته له أو نواه ولم يدع له

“Sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit” (Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74].)
Jadi kesimpulannya Al Imam Syafi’i ~rahimahullah mensyaratkan sampai pahala bacaan jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat berikut
1. Pembacaan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit),
2. Pembacanya meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit
3. Pembacanya mendo’akannya untuk mayyit.
Berkata Muhammad bin ahmad almarwazi : “ Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar sipembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “ Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan …” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقرءوا يس على موتاكم
“Bacalah surat Yaasiin untuk orang yang mati di antara kamu.” (Riwayat Imam Abu Dawud; kitab Sunan Abu Dawud, Juz III, halaman 191)
Al-Faqih al-Hanbali al-Ushuli al-Mutqin al-‘allamah Qadhi qudhah, Ibnu an-Najjar berkomentar : “Hadits tersebut mencangkup orang yang sekarat maupun sudah wafat, baik sebelum dimakamkan atau pun sudah dimakamkan. Setelah dimakamkan, maka itu adalah makna hadits secara hakikat (dhahir) dan sebelum dimakamkan, maka itu makna hadits secara majaz “ (Mukhtashar at-Tahrir syarh al-Kaukab al-Munir : 3/193)
Imam Nawawi berkata dalam Majmu’nya : “Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk memberikan salam atas (penghuni) kubur dan mendo’akan kepada mayit yang diziarahi dan kepada semua penghuni kubur, salam dan do’a itu akan lebih sempurna dan lebih utama jika menggunakan apa yang sudah dituntunkan atau diajarkan dari Nabi Muhammad Saw. dan disunnahkan pula membaca al-Qur’an semampunya dan diakhiri dengan berdo’a untuknya, keterangan ini dinash oleh Imam Syafi’i (dalam kitab al-Um) dan telah disepakati oleh pengikut-pengikutnya”. (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, V/258)
Imam Nawawi berkata “Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata : “disunnahkan agar membaca sesuatu dari al-Qur’an disisi quburnya
(Riyadlush Shalihin [1/295] lil-Imam an-Nawawi ; Dalilul Falihin [6/426] li-Imam Ibnu ‘Allan ; al-Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] lil-Imam al-Mawardi dan lainnya.
قال الشافعى : وأحب لو قرئ عند القبر ودعى للميت
Imam Syafi’i mengatakan “aku menyukai sendainya dibacakan al-Qur’an disamping qubur dan dibacakan do’a untuk mayyit” ( Ma’rifatus Sunani wal Atsar [7743] lil-Imam al-Muhaddits al-Baihaqi.)
Abdul Haq berkata : telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin ‘Umar –radliyallahu ‘anhumaa- memerintahkan agar dibacakan surah al-Baqarah disisi quburnya dan diantara yang meriwayatkan demikian adalah al-Mu’alla bin Abdurrahman
Sayyiduna Ma’aqal ibn Yassaar radiyallau ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Yasin adalah kalbu dari Al Quran. Tak seorangpun yang membacanya dengan niat menginginkan akhirat melainkan Allah akan mengampuninya. Bacalah atas orang-orang yang wafat di antaramu.” (Sunan Abu Dawud).
Imaam Haakim mengklasifikasikan hadits ini sebagai sahih di Mustadrak al-Haakim juz 1, halaman 565; lihat juga at-Targhiib juz 2 halaman 376.