APAKAH SHALAWAT NARIYAH BID’AH (SESAT/HARAM) ?
Oleh : Abu Akmal Mubarok
Lalu orang tersebut dengan semangat berapi-api menguraikan masalah bid’ah dan seperti biasanya dengan logika bahwa karena di zaman Nabi s.a.w. shalawat nariyah itu belum ada maka hal itu adalah bid’ah”. Tentu saja maksudnya di sini adalah bid’ah yang dlolalah (sesat). Karena bagi si penulis istilah bid’ah itu sudah pasti sesat. Apakah benar demikian?
Adapun mengenai shalawat nariyah sendiri jelas memang ini belum ada di jaman Nabi s.a.w. Namun sebagaimana kami jelaskan panjang lebar pada pembahasan kami mengenai bid’ah, bahwa tidak setiap sesuatu yang baru / inovasi (dalam bahasa hadits sering disebut muhdats) adalah bid’ah yang dlolalah (bid’ah yang sesat).
Apakah Mengarang Redaksi Shalawat Di Luar Apa Yang Dicontohkan Nabi s.a.w Adalah Bid’ah (sesat /haram)?
Dalam berbagai hadits dan atsar kita jumpai bahwa sejak dahulu kala baik ketika Rasulullah s.a.w. masih hidup maupun sepeninggal beliau, para sahabat memahami bahwa boleh mengarang shalawat sendiri asakan isi redaksinya adalah hal-hal yang baik, menyerukan kepada tauhid, memuji dan mendoakan Rasulullah s.a.w. dan tidak mengandung hal yang berlebihan seperti menganggap Rasul adalah pengatur alam, pemberi rejeki dll, dan juga tidak disisipi hal-hal yang musyrik dan kebatilan seperti penyebutan dewa dewa dan nama raja jin, memohon pada arwah orang yang mati, mengajak kepada kemaksiatan dll.
Beberapa contoh shalawat karangan para sahabat adalah sebagai berikut :
Shalawat Karangan Abdullah bin Mas’ud r.a.
Dalam sebuah atsar sahabat diceritakan susunan doa shalawat karangan Abdullah bin Mas’ud r.a.
Telah menceritakan kepada kami Al Husain bin Bayan berkata, telah menceritakan kepada kami Ziyad bin Abdullah berkata, telah menceritakan kepada kami Al Mas’udi dari Aun bin Abdullah dari Abu Fakhitah dari Al Aswad bin Yazid dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata;
“Jika kalian membaca shalawat kepada Rasulullah s.a.w. maka baguskanlah, sebab kalian tidak tahu, bisa jadi shalawat itu dihadirkan di hadapannya (Rasulullah). ” Al Aswad berkata; “Orang-orang pun berkata Abdullah bin Mas’ud, “Ajarkanlah kepada kami, ” Abdullah bin Mas’ud berkata; “Bacalah; ALLAHUMMA IJ’AL SHALAATAKA WA RAHMATAKA WA BARAKA’ATIKA ‘ALA SAYYIDIL MURSALIIN WA IMAAMIL MUTTAQIIN WA KHAATAMIN NABIYYIN MUHAMMADIN ‘ABDIKA WA RASUULIKA IMAAMIL KHAIRI WA QAA`IDIL KHAIRI WA RASUULIR RAHMAH. ALLAHUMMAB’ATSHU MAQAAMAN MAHMUUDAN YAGHBITHUHU BIHIL AWWALIIN WAL AKHIRIIN. ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMADIN WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN. ALLAHUMMA BAARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMADIN KAMAA BAARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM INNAKA HAMIIDUN MAJIIDUN (Ya Allah, jadikanlah shalawat, rahmat dan berkah-Mu kepada pemimpin para Nabi yang diutus, imam orang-orang yang bertakwa dan penutup para Nabi, Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Seorang imam dan pemimpin kebaikan, serta rasul pembawa rahmat. Ya Allah, bangkitkanlah ia pada kedudukan yang terpuji, kedudukan yang menjadikan iri orang-orang terdahulu dan yang akan datang. Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Agung. ” (Atsar .R. Ibnu Majah No. 896 Thabrani dalam Mu’jam Kabir Juz 9 Hal 115, Imam Abdurrazzaq No. 3109, Imam Abu Ya’la No. 5267)
Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini dla’if karena Ziyad bin Abdullah bin Ath-Thufail dikatakan dla’if oleh Nasa’i serta Abu Hatim mengatakan hadits Ziyad tidak bisa dijadikan hujah. Namun atsar Ibnu Mas’ud ini dijadikan hujjah oleh Ibnul Qoyyim (murid Ibnu Taimiyyah) dan disebutkan dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 36 dan Hal 72.
Shalawat Karangan Abdullah bin Abbas r.a.
Dari Ibnu Abbas r.a. : “Apabila membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. beliau berkata : ‘Ya Allah kabulkanlah syafaat Muhammad yang agung, tinggikan derajatnya yang luhur, dan berilah permohonannya di dunia dan di akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa” (Atsar Riwayat Abdullah bin Humaid, Imam Abdurrazzaq dalam Mushannaf No. 3104, Ismail Al Qadhi, Atsar ini juga disebutkan oleh Ibnul Qoyyim dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 76)
Shalawat Karangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i telah menyusun doa shalawat tersendiri seperti ini : “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada Muhammad sejumlah ingatan orang-orang yang berdzikir kepadaNya dan sejumlah kelalaian orang-orang yang lalai kepadaNya” (Riwayat Imam Sakhawi dalam Qaul Al-Badi’ hal 254, dan Ibnul Qoyyim dalam Kitab Jada’ Al-Afham Hal 230)
Sebagian orang yang terlalu semangat dalam membid’ahkan ada yang langsung membid’ah kan karena menganggap isinya tidak sesuai dengan conth shalawat dari Rasulullah s.a.w. Ada yang mengatakan dengan retorika : “Apakah tidak cukup shalawat yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w.?”
Jika memang demikian, maka para shahabat nabi s.a.w. seperti Ibnu Mas’ud dan Abdullah bin Abbas r.a. juga melakukan bid’ah? Siapakah yang lebih paham tentang Islam, para sahabat yang berguru langsung pada Rasulullah s.a.w. ? Atau kah kita sebagai pewaris jauh yang hidup 1.400 tahun lebih sepeninggal beliau?
Lalu apakah puluhan ulama seperti Imam Syafi’I dan lain-lain semuanya melakukan bid’ah dan merasa tidak cukup dengan shalawat yang diajarkan Rasulullah s.a.w? Bahkan Ibnu Hajar Asqolani mengatakan : Hadits hadits ini adalah dalil yang menunjukkan akan kebolehan menyusun bacaan dzikir sendiri (yang tidak dicontohkan Rasulullah s.a.w.) di dalam shalat yang tidak ma’tsur, selama dzikir tersebut tidak menyalahi yang ma’tsur” (Fathul Bari, Juz. 2, Hal. 287).
Apakah Redaksi Shalawat Nariyah Mengandung Hal-Hal Yang Menyimpang?
Setelah kita mengetahui bahwa boleh menyusun doa karangan sendiri baik itu berupa shalawat atau doa lainnya, terlebih hal ini dilakukan di luar shalat maka kita harus mengetahui terlebih dahulu apa isi doa shalawat nariyah tersebut.
Shalawat Nariyah konon disusun oleh seorang ulama magribi (sekarang disebut negara Maroko) bernama Ibrahim Attaziy Al-Maghribiy, shalawat inipun dikenal dengan nama shalawat Ta’ziyah Attafrijiyyah,namun orang Maroko sering menyebutnya shalawat nariyah.
Redaksi shalawat nariyah adalah sebagai berikut:
Allohumma sholli shollatan kamilah wa sallim salaman. Taman ‘ala sayyidina Muhammad alladzi tanhallu bihil ‘uqod, wa tanfariju bihil kurob. Wa tuqdho bihil hawaa-i-ju wa tunna lu bihi rogho‘i-b wa husnul khowatim wa yustaqol ghomamu biwaj hihil kariim wa ‘ala aalihi washosbihi fii kulli lamhatin wa nafasim bi’adadi kulli ma’luu mi laka ya robbal ‘aalamiin”
Artinya :
“Ya Allah Tuhan Kami, limpahkanlah kesejahteraan dan keselamatan yang sempurna atas junjungan kami Nabi Muhammad s.a.w. sesungguhnya terurai denganmu segala ikatan, dilepaskan denganmu segala kesusahan, ditunaikan denganmu segala macam hajat, tercapai dengamu segala keinginan dan husnul khotimah (diwafatkan dalam keadaan husnul khotimah), dan dicurahkan hujan (rahmat) dengan wajah mu yang mulia. Kesejahteraan dan keselamatan yang sempurnah itu semoga Engkau limpahkan juga kepada para keluarga dan sahabatnya setiap kedipan mata dan hembusan nafas, bahkan sebanyak pengetahuan Engkau, Ya Tuhan semesta alam”
Analisa Isi Shalawat Nariyah
Sebagian orang yang terlalu bersemangat mempersoalkan kata ganti bihi (dengannya) pada redaksi shalawat nariyah di atas ditujukan kepada Rasulullah Muhammad s.a.w. maka hal itu adalah sebuah kesyirikan karena tidak boleh Rasulullah s.a.w. bukanlah penyebab terurai segala ikatan dan kesulitan dan hilangnya segala kesedihan, serta dipenuhinya segala kebutuhan. Mereka mengatakan jika kata ganti “bihi” diganti dengan “biha” yang artinya melalui shalawat itu sendiri maka Allah akan mengurai segala ikatan dan kesulitan dan hilang segala kesedihan, serta dipenuhinya segala kebutuhan maka hal ini menjadi benar.
Maka kepada saudara se-aqidah sesama muslim kita harus berusaha untuk husnudzon (berprasangka baik). Di dalam kaidah peradilan saja ketika mengadili orang, dikenal istilah praduga tak bersalah (presumption of innocence), walaupun ia jelas-jelas penjahat tetap harus didampingi pembela dan dijunjung tinggi kaidah ini. Lha apalagi ini dalam masalah agama kepada saudara sesama muslim, kok mudah sekali mengatakan sesat dan kafir.
Kata ganti “bi hi” di sini masih ada ruang penafsiran tergantung niat orang yang mengucapkannya. Jika ia benar-benar meyakini dan bermaksud Rasulullah-lah yang menguraikan kesulitan, menghilangkan segala kesedihan, memenuhi segala kebutuhan, maka tentu orang itu telah tergelincir dalam kesesatan dan kemusyrikan.
Namun seandainya yang dimaksud adalah bahwa melalui Rasulullah Muhammad s.a.w. kita mengenal agama ini, lalu dari situ kita jadi memahami agama ini, meyakini tentang Allah dan segala sifat dan kekuasaanNya maka dari situlah segala kesulitan kita menjadi terurai, segala kesedihan kita menjadi sirna, dan segala keinginan kita dikabulkan oleh Allah, maka hal ini adalah aqidah yang benar. Inilah mungkin yang dimaksud dengan perkataan alladzi tanhallu bihil ‘uqod (terurai melalui mu segala ikatan) tanfariju bihil kurob (dilepaskan / dihilangkan melalui mu segala kesedihan) dan seterusnya.
Terkadang makna dari kata-kata sangat relatif maksudnya dan bergantung pada prasangka yang ada di dalam otak. Jika prasangkanya sudah buruk apa yang diucapkan orang pun selalu nampak buruk dan salah. Terlebih dalam memandang kata-kata pujian yang disampaikan melalui puisi, lebih sering maknanya adalah majazi (bukan makna sesungguhnya). Sebagaimana orang yang jatuh cinta mengatakan “wajahmu rembulan”, tentu jika dipahami apa adanya bisa dikatakan syirik. Namun maksudnya adalah wajahmu sangat cantik dan bercahaya seperti rembulan. Demikian pula ketika mengartikan wa yustaqol ghomamu biwaj hihil kariim (dan dicurahkan hujan dengan wajahmu yang mulia)
Pengagungan Berlebihan Terhadap Shalawat Nariyah
Adapun sikap sebagian orang yang terlalu berlebihan dalam meyakini keagungan shalawat nariyah sama buruk nya dengan sikap orang yang berlebihan dalam menyatakan nya sebagai syirik dan bid’ah. Situasi ini mirip seperti perkataan Ali bin Abi Thalib r.a. yang berkata :
“Dua orang yang akan binasa, yaitu yang membenciku berlebihan dan mencintaiku berlebihan”
Maka sebagian orang mengatakan dengan mengucapkan sekian ribu kali shalawat nariyah akan dihilangkan segala kesusahan dan terpenuhi segala keinginan. Mereka beranggapan, barangsiapa membacanya sebanyak 4.444 kali dengan niat agar kesusahan dihilangkan, niscaya akan terpenuhi.
Justru mengucapkan shalawat nariyah ini kita memuji Rasulullah s.a.w. yang memalui beliau lah kita memahami hakikat kekuasaan Allah yang dapat menghilangkan kesulitan dan mengangkat kesedihan. Melalui baginda Rasululillah ini sampailah pada kita firman Allah :
“Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmatNya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (Q.S. Al-Isra’[17] : 56-57)
Melalui ajaran beliau pula kita mengetahui aqidah yang benar bahwa Rasulullah s.a.w tidak mampu mengangkat kemudharatan dan musibah yang menimba kita dan hanya kepada Allah-lah kita bermohon untuk diangkat kemudharatan dan musibah yang menimpa kita.
“Katakanlah, ‘Aku tidak kuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-A’raf [7] : 188)
Maka kita harus mengembalikan maksud dari shalawat itu kepada kedudukannya yang sebenarnya. Walaupun tidak terlarang menyusun dan membaca shalawat karangan orang sholeh atau ulama, namun keyakinan atas perkataan di dalamnya haruslah tetap lurus dan benar. Bisa jadi maksud ulama yang menyusun shalawat itu tidaklah demikian, sementara orang-orang yang mengkultuskan dan terlalu berlebihan dalam mengidolakan ulama tersebut memelencengkan maksud shalawat tersebut dan menambah-nambahinya dengan pengagungan yang berlebihan.
Wallahua’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar