Rabu, 27 Februari 2013

SUNNAH TABARRUK



TABARRUK BUKANLAH PERBUATAN BID’AH SESAT APALAGI SYIRIK


Oleh: Abu Hilya



Adapun obyek/perkara yang dijadikan sebagai sarana mencari berkah dari Alloh kadang berupa Para Nabi dan orang-orang sholih atau berupa Benda peninggalan para Nabi atau orang-orang sholih, dan terkadang berupa tempat yang pernah dipergunakan oleh para Nabi atau orang-orang sholih dalam beribadah kepada Alloh. Sehingga dapat dikatakan Tabarruk adalah bentuk lain dari Tawassul.



Diantara amaliyah (kebiasaan) yang berlaku dalam kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah khususnya warga Nahdliyyin yang sering dituduh sebagai perbuatan “Bid’ah Sesat” bahkan “Syirik” adalah TABARRUK yang dalam kalangan santri biasa dikenal dengan istilah Ngalap Barokah.

Tulisan kami kali ini tiada lain hanyalah sebagai upaya “Tabaayun” klarifikasi bahwa apa yang kami yakini juga memiliki dasar hukum yang sah, yang selanjutnya semoga dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi kesalah fahaman oleh sebagian kalangan demi terciptanya ukhuwah yang kita citakan bersama.

TABARRUK/NGALAP BERKAH adalah istilah yang digunakan oleh sebagian besar ummat islam guna menyebut perbuatan yang bertujuan mencari/mengharap “Barokah/bertambahnya kebajikan” dari Alloh melalui obyek-obyek yang diyakini sebagai obyek yang dikehendaki oleh Alloh untuk beroleh keberkahan dari-Nya. Adapun obyek/perkara yang dijadikan sebagai sarana mencari berkah dari Alloh kadang berupa Para Nabi dan orang-orang sholih atau berupa Benda peninggalan para Nabi atau orang-orang sholih, dan terkadang berupa tempat yang pernah dipergunakan oleh para Nabi atau orang-orang sholih dalam beribadah kepada Alloh. Sehingga dapat dikatakan Tabarruk adalah bentuk lain dari Tawassul.

Sebelum kami kemukakan dalil-dalil yang menjadi dasar/sandaran ummat Islam dalam ber-Tabarruk, perlu kiranya kami tegaskin disini tentang keyakinan kami ketika ber-Tabarruk :

Pertama : Bertabarruk dengan perantara orang-orang sholih, karena kami meyakini keutamaan dan kedekatan mereka kepada Alloh dengan tetap meyakini ketidak mampuan mereka memberi kebaikan atau menolak keburukan kecuali atas izin Alloh.
 Praktek yang umum dalam Tabarruk dengan orang-orang sholih adalah Tabarruk dengan do’a-do’a mereka atau dengan mencium tangan mereka, menghabiskan sisa makanan atau minuman mereka dll.

Adapun diantara dalil/hujjah yang menjadi landasan praktek Tabarruk dengan cara diatas adalah :

Sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam :

عَنْ ابْنِ عَبَّاس قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ (( الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ ))

Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Rosululloh shollalloho ‘alaihi wasallam bersabda : “Barokah itu bersama orang-orang bersar diantara kalian.” (HR. Al Hakim dan Ibnu Hibban) Al Hakim berkata : “Hadits ini shohih menurut syarat Al Bukhori, namun beliau tidak meriwayatkannya”. Adz Dzahabi menyetujuinya.

Sedang yang dijadikan contoh dalam Bertabarruk dengan orang-orang sholih diantaranya adalah :

a. Usaid Ibn Hudloir mencium pinggang Rosululloh :

Imam Al Hakim meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shohih bersambung sampai kepada Abi Laila, ia menuturkan sebuah kisah sbb :

كَانَ أُسَيْدُ بْنُ حُضَيْر رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجُلاً صَالِحاً ضَاحِكاً مَلِيْحاً ، فَبَيْنَمَا هُوَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحَدِّثُ الْقَوْمَ وَيُضْحِكُهُمْ ، فَطَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي خَاصِرَتِهِ ، فَقَالَ : أَوْجَعْتَنِي قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْتَصِ قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! إِنَّ عَلَيْكَ قَمِيْصاً وَلَمْ يَكُنْ عَلَيَّ قَمِيْصٌ ،قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَمِيْصَهُ فَاحْتَضَنَهُ ثُمَّ جَعَلَ يُقَبِّلُ كَشْحَهُ ، فَقَالَ : بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَارَسُوْلَ اللهِ ! أَرَدْتُ هَذَا . هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ وَلَمْ يُخْرِجَاهُ ، وَوَافَقَهُ الذَّهَبِي فَقَالَ : صَحِيْحٌ.

Suatu ketika Usaid bin Hudloir (seorang sahabat yang sholih dan humoris), bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan para sahabat. Usaid menuturkan cerita yang membuat para sahabat tertawa hingga Rosululloh memukul pinggangnya. Usaid pun mengadu : “Engkau telah membuatku merasa sakit,” kata Usaid.
 “Silahkan membalas,” jawab Nabi.
 “Wahai Rosululloh, engkau mengenakan gamis sedang saya tidak,” ujar Usaid.
 Abi Laila berkata : “kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melepas gamisnya dan Usaid merangkul beliau dan menciumi pinggang beliau.”
 “Ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, wahai Rosululloh, saya menginginkan ini,” kata Usaid. (HR. Al Hakim, dan beliau berkata : Hadits ini sanadnya shohih sedang Imam Bukhori-Muslim tidak meriwayatkannya. Adz Dzahabi menyetujuinya dan beliu berkata : Hadits ini Shohih)

b. Para Sahabat Berebut Dahak dan Bekas Wudhu Rosululloh :

Adalah ‘Urwah ketika beliau menceritakan hasil pengamatannya terhadap para sahabat Rosululloh :

وَاللَّهِ إِنْ تَنَخَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ

“Demi Alloh,” kata ‘Urwah, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tidak mengeluarkan dahak kecuali dahak itu jatuh pada telapak tangan salah satu sahabat yang kemudian ia gosokkan pada wajah dan kulitnya. Jika beliau memberikan perintah maka mereka segera mematuhi perintahnya. Jika beliau berwudlu maka nyaris mereka berkelahi untuk mendapat air sisa wudlu’nya.” (HR. Al Bukhori)

Dalam kaitan hadits diatas, Al Imam Al Hadidzh Ibn Hajar berkata :

وفيه طهارة النخامة والشعر المنفصل والتبرك بفضلات الصالحين الطاهرة

“Dalam hadits tersebut terdapat (dalil) sucinya dahak dan Rambut yang terpisah, dan (dalil) Tabarruk dengan sisa perkara yang suci dari orang-orang sholih” (Fathul Bari, vol. 5, hlm. 341)

c. Mencium Tangan Orang Lain Yang Pernah Berjabat Dengan Rosululloh :

Yahya ibnu Al Harits Adz Dzimari berkata:

لَقِيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ الْأَسْقَعِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقُلْتُ : بَايَعْتَ بِيَدِكَ هَذِهِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ. قُلْتُ : أَعْطِنِي يَدَكَ أُقَبِّلُهَا ، فَأَعْطَانِيْهَا فَقَبِّلْتُهَا
 Saya pernah berjumpa dengan Watsilah ibnu Al Asqo’ –rodhiyallohu ‘anhu-.
 “Apakah engkau berbai’at kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dengan tanganmu ini?” tanyaku.
 “Benar” jawab Watsilah.
 “Julurkan tanganmu, aku akan menciumnya !” kataku. Ia kemudian menjulurkan tangannya dan aku mencium tangan tersebut. (HR. At Thobaroni)

Kedua : Tabarruk Dengan Benda Peninggalan Orang-Orang Sholih

Adapun Tabarruk dengan benda-benda peninggalan orang-orang sholih seperti cincin, baju, sajadah atau yang lain maka karena kami meyakini peninggalan tersebut dinisbatkan kepada orang-orang sholih, di mana kemuliaan peninggalan itu berkat mereka, dihormati, diagungkan dan dicintai karena mereka, dan bukan karena bendanya.

Adapun diantara dalil/hujjah yang menjadi landasan praktek Tabarruk dengan cara tersebut adalah :

1. Firman Alloh :

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka; ‘ Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja ialah kembalinya Tabut kepadamu, didalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun,’ tabut itu dibawa oleh malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.” (QS, Al Baqoroh : 248)

Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menuturkan beberapa riwayat dan pendapat tentang isi Tabut (peti) tersebut : “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurot dan beberapa baju Nabi Harun. Sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.” (Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313)

Selanjutnya dalam kitabnya yang lain Al Hafidh Ibnu Katsir menuturkan kisah yang berkaitan dengan firman Alloh diatas sebagai berikut :
 Dahulu Bani Isroil jika berperang dengan salah seorang musuh, maka mereka senantiasa membawa Tabutul Mitsaq (peti perjanjian) yang berada dalam Qubbatuz Zaman sebagaimana telah dijelaskan. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari Tabutul Mitsaq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqolan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebut Tabutul Mitsaq dari tangan mereka. (Al Bidayah Wan Nihayah, vol. 2 hal. 6)

Dan yang dijadikan contoh dalam Bertabarruk dengan benda/peninggalan orang-orang sholih diantaranya adalah :

a. Tabarruk Dengan Sumur Bekas Unta Nabi Sholih –alaihis salaam- :

أَنَّ النَّاسَ نَزَلُوا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْحِجْرِ أَرْضِ ثَمُودَ فَاسْتَقَوْا مِنْ آبَارِهَا وَعَجَنُوا بِهِ الْعَجِينَ فَأَمَرَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُهَرِيقُوا مَا اسْتَقَوْا وَيَعْلِفُوا الْإِبِلَ الْعَجِينَ وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَسْتَقُوا مِنْ الْبِئْرِ الَّتِي كَانَتْ تَرِدُهَا النَّاقَةُ

Bahwasannya para sahabat bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam pernah singgah di Al Hijr (tempat yang pernah dihuni kaum Tsamud, yakni kaum Nabi Sholih alaihis salaam).
 Para sahabat mengambil air dari sumur-sumur kaum Tsamud dan membuat adonan roti dengan air sumur tersebut. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam menyuruh mereka untuk menumpahkan air yang mereka ambil dan memberikan adonan roti kepada unta, dan Rosululloh menyuruh mereka mengambil air dari sumur yang pernah didatangi unta Nabi Sholih. (HR Muslim)

Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits di atas, beliau berkata :
 ومنها مجانبة آبار الظالمين والتبرك بآبار الصالحين

diantara faedah yang terkandung dalam hadits ini adalah ; hendaknya menjauhi sumur peninggalan orang-orang dholim serta (dianjurkan) bertabarruk (ngalap barokah) dengan sumur orang-orang sholih. (Syarah Muslim, vol. 18 hal. 112)

b. Tabarruk Dengan Bekas Jubah Nabi Untuk Pengobatan :

Abdulloh -pembantu Asma’ binti Abu Bakar- disuruh menghadap Abdulloh Ibn Umar guna menanyakan tiga hal; yakni tentang puasa bulan Rojab, tentang pelana dari bahan kayu Urjuwan dan tentang pakaian dari sutera. Sekembali dari mengahadap Abdulloh ibnu Umar, sang pembantu Asma’ tersebut menghadap kepada Asma’ binti Abu Bakar dan mengkhabarkan jawaban dari Abdulloh Ibnu Umar.

فَقَالَتْ هَذِهِ جُبَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جُبَّةَ طَيَالِسَةٍ كِسْرَوَانِيَّةٍ لَهَا لِبْنَةُ دِيبَاجٍ وَفَرْجَيْهَا مَكْفُوفَيْنِ بِالدِّيبَاجِ فَقَالَتْ هَذِهِ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ حَتَّى قُبِضَتْ فَلَمَّا قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلْبَسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى يُسْتَشْفَى بِهَا

Kemudian Asma’ mengeluarkan jubah hijau Persia yang bertambalkan sutera dan kedua celahnya dijahit dengan sutera juga.
 Kemudian Asma’ berkata : “Ini adalah jubah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, jubah tersebut disimpan oleh ‘Aisyah. Saat ia wafat jubah ini aku ambil. Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam pernah mengenakan jubah ini dan saya membasuhnya untuk orang-orang sakit dalam rangka memohon kesembuhan dengannya.” (HR. Muslim)

Dalam hadits diatas kita dapati adanya keterangan bahwa Asma’ binti Abu Bakar menggunakan air bekas cucian (basuhan) jubbah Nabi untuk orang-orang sakit yang mencari kesembuhan dengannya.

c. Tabarruk Dengan Rambut Nabi Untuk Mencari Kesembuhan :

Adalah Utsman Ibn Abdillah Ibn Mauhab bercerita :

أَرْسَلَنِي أَهْلِي إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ وَقَبَضَ إِسْرَائِيلُ ثَلَاثَ أَصَابِعَ مِنْ قُصَّةٍ فِيهِ شَعَرٌ مِنْ شَعَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ إِذَا أَصَابَ الْإِنْسَانَ عَيْنٌ أَوْ شَيْءٌ بَعَثَ إِلَيْهَا مِخْضَبَهُ فَاطَّلَعْتُ فِي الْجُلْجُلِ فَرَأَيْتُ شَعَرَاتٍ حُمْرًا
 “Aku pernah diutus keluargaku untuk menemui Ummu Salamah –istri Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan membawa wadah berisi air. Lalu Ummu Salamah datang dengan membawa sebuah genta dari perak yang berisi rambut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam. Jika seseorang terkena penyakit ‘ain atau sesuatu hal maka ia datang kepada Ummu Salamah membawakan bejana untuk mencuci pakaian. “Saya amati genta itu dan ternyata saya melihat ada beberapa helai rambut berwarna merah,” kata ‘Utsman. (HR. Al Bukhori)

Al Hafidh Ibnu Hajar, ketika menjelaskan hadits diatas beliau berkata :

وَالْمُرَادُ أَنَّهُ كَانَ مَنْ اِشْتَكَى أَرْسَلَ إِنَاءً إِلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَتَجْعَلُ فِيْهِ تِلْكَ الشَّعَرَاتِ وَتَغْسِلُهَا فِيْهِ وَتُعِيْدُهُ فَيَشْرَبُهُ صَاحِبُ الْإِنَاءِ أَوْ يَغْتَسِلُ بِهِ اِسْتِشْفَاءً بِهَا فَتَحْصُلُ لَهُ بَرَكَتُهَا

Maksud hadits adalah : Bahwasannya jika seseorang mengeluh (karena penyakit) maka ia mengirim wadah kepada Ummu Salamah, kemudian Ummu Salamah meletakkan rambut-rambut Nabi dan membasuhnya di dalam wadah tersebut, kemudian wadah tersebut dikembalikan kepada pemiliknya. Selanjutnya sang pemilik wadah tersebut meminum atau membasuh badannya dengan air (bekas basuhan rambut Nabi) dengan tujuan mengharap kesembuhan, maka ia mendapat barokah dari rambut tersebut. (Fathul Bari, vol. 10 hlm. 353)

- Kisah Kholid Ibn Walid dan Rambut Nabi Dalam Perang Yarmuk :

Ja’far ibn Abdillah ibn Al Hakam bercerita :

أَنَّ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيْدِ فَقَدَ قَلَنْسُوَةً لَهُ يَوْمَ الْيَرْمُوكْ فَقَالَ : اُطْلُبُوْهَا فَلَمْ يَجِدُوْهَا فَقَالَ : اُطْلُبُوْهَا فَوَجَدُوْهَا فَإِذًا هِيَ قَلَنْسُوَةٌ خَلَقَةٌ فَقَالَ خَالِدٌ : اِعْتَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَلَقَ رَأْسَهُ فَابْتَدَرَ النَّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إِلَى نَاصِيَتِهِ فَجَعَلْتُهَا فِي هَذِهِ الْقَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أَشْهَدْ قِتَالًا وَهِيَ مَعِي إِلَّا رُزِقْتُ النَّصْرَ

Bahwa Kholid ibnu Al Walid kehilangan peci miliknya saat perang Yarmuk. “Carilah peciku,” perintah Kholid kepada pasukannya.
 Mereka mencari peci tersebut namun gagal menemukannya. “Carilah peci itu,” kata Kholid lagi.
 Akhirnya peci itu berhasil ditemukan. Ternyata peci itu peci yang sudah lusuh bukan peci baru.
 Dan ketika peci tersebut ditemukan, Kholid berkata : “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam melaksanakan umroh lalu beliau mencukur rambut kepalanya, kemudian orang-orang segera menghampiri bagian-bagian rambut beliau. Lalu saya berhasil merebut rambut bagian ubun-ubun yang kemudian saya taruh di peci ini. Saya tidak ikut bertempur dengan mengenakan peci ini kecuali saya diberi kemenangan.” (HR. At Thobaroni dalam Al Kabir)

- Imam Ahmad Ber-Tabarruk Dengan Rambut Nabi Untuk Kesembuhan :

Al Hafizh Adz Dzahabi menuturkan kebiasaan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya sebagai berikut :

قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ أَحْمَدَ: رَأَيْتُ أَبِي يَأْخُذُ شَعْرَةً مِنْ شَعْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَضَعُهَا عَلَى فِيْهِ يُقَبِّلُهَا.وَأَحْسِبُ أَنَّي رَأَيْتُهُ يَضَعُهَا عَلَى عَيْنِهِ، وَيُغَمِّسُهَا فِي الْمَاءِ وَيَشْرَبُهُ يَسْتَشْفِي بِهِ.

Abdullah putra Imam Ahmad bercerita : “Saya melihat ayah mengambil sehelai rambut dari rambut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam, lalu beliau meletakkan pada mulutnya seraya menciumi rambut tersebut. Saya rasa saya pernah melihat ayah meletakkan rambut itu pada matanya, mencelupkan rambut tersebut ke dalam air dan meminumnya serta memohon kesembuhan dengannya.” (Siyaru A’lamin Nubalaa’ vol. XI hlm. 212)

d. Tabarruk Dengan Keringat Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ دَخَلَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عِنْدَنَا فَعَرِقَ وَجَاءَتْ أُمِّي بِقَارُورَةٍ فَجَعَلَتْ تَسْلِتُ الْعَرَقَ فِيهَا فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا أُمَّ سُلَيْمٍ مَا هَذَا الَّذِي تَصْنَعِينَ قَالَتْ هَذَا عَرَقُكَ نَجْعَلُهُ فِي طِيبِنَا وَهُوَ مِنْ أَطْيَبِ الطِّيبِ

Dari Anas bin Malik, ia berkata : “Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam masuk menemui kami lalu beliau tidur siang dan berkeringat. Kemudiaan ibuku datang membawa botol lalu memasukkan keringat Nabi ke dalam botol tersebut.
 Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- pun akhirnya terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim !, apa yang kamu lakukan ?”
 “Ini adalah keringatmu yang aku campurkan pada wewangianku. Keringat ini adalah wewangian paling harum,” jawab Ummu Sulaim. (HR. Muslim)
 Dalam riwayat Ishaq Ibn Abi Tholhah, Ummu Sulaim menjawab :
 قالت نرجو بركته لصبياننا فقال أصبت
 “Kami berharap keberkahannya untuk anak-anak kami,” maka Rosululloh bersabda : “Engkau benar “.

Ketiga : Tabarruk dengan Tempat peninggalan orang-orang sholih

Adapun tabarruk dengan tempat seperti “Pesujudan Sunan Bonang, Pesujudan Syekh Subakir, Makam Orang-Orang Sholih” dan yang lain, maka substansi tempat sama sekali tidak memiliki keutamaan dilihat dari statusnya sebagai tempat. Tempat memiliki keutamaan karena kebaikan dan ketaatan yang berada dan terjadi di dalamnya seperti sholat, puasa dan semua bentuk ibadah yang dilakukan oleh para hamba Alloh yang sholih. Sebab karena ibadah mereka rohmat turun pada tempat, malaikat hadir dan kedamaian meliputinya. Inilah keberkahan yang dicari dari Alloh di tempat-tempat yang dijadikan tujuan tabarruk.
 Keberkahan ini dicari dengan berada di tempat-tempat tersebut untuk bertawajjuh kepada Alloh, berdoa, beristighfar dan mengingat peristiwa yang terjadi di tempat-tempat tersebut dari kejadian-kejadian besar dan peristiwa-peristiwa mulia yang menggerakkan jiwa dan membangkitkan harapan dan semangat untuk meniru pelaku peristiwa itu yang notabene mereka adalah orang-orang yang berhasil dan sholih.

Adapun diantara dalil/hujjah yang menjadi landasan praktek tabarruk dengan cara tersebut adalah :

a. Sholat Ditempat Yang Pernah Digunakan Nabi Sholat

Imam Al Bukhori meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung sampai kepada Musa bin ‘Uqbah, ia berkata :

رَأَيْتُ سَالِمَ بْنَ عَبْدِ اللهِ يَتَحَرَّى أَمَاكِنَ مِنْ الطَّرِيقِ فَيُصَلِّي فِيهَا وَيُحَدِّثُ أَنَّ أَبَاهُ كَانَ يُصَلِّي فِيهَا وَأَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي تِلْكَ الْأَمْكِنَةِ

Aku pernah melihat Salim bin Abdillah, ia sedang mencari tempat-tempat di tepi jalan, kemudian dia sholat di tempat-tempat tersebut. Salim menceritakan ; bahwa ayahnya (Abdulloh Ibn Umar) pernah sholat di tempat-tempat tersebut, dan beliau pernah melihat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam sholat di tempat-tempat tersebut. (HR. Al Bukhori)

Ketika menjelaskan hadits diatas, Al Hafidh Ibnu Hajar menyampaikan hadits lain dengan tema yang sama, kemudian beliau berkata :
 فَهُوَ حُجَّةٌ فِي التَّبَرُّكِ بِآثَارِ الصَّالِحِيْنَ

Maka hal tersebut menjadi hujjah (dalil) Tabarruk dengan peninggalan orang-orang sholih. (Fathul Bari, vol. 1 hlm. 569)

b. Sholat Di Masjid ‘Asysyar

Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits dengan sanad sampai kepada Sholih bin Dirham, ia bercerita :

انْطَلَقْنَا حَاجِّينَ فَإِذَا رَجُلٌ فَقَالَ لَنَا إِلَى جَنْبِكُمْ قَرْيَةٌ يُقَالُ لَهَا الْأُبُلَّةُ قُلْنَا نَعَمْ قَالَ مَنْ يَضْمَنُ لِي مِنْكُمْ أَنْ يُصَلِّيَ لِي فِي مَسْجِدِ الْعَشَّارِ رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعًا وَيَقُولَ هَذِهِ لِأَبِي هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ خَلِيلِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ مِنْ مَسْجِدِ الْعَشَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُهَدَاءَ لَا يَقُومُ مَعَ شُهَدَاءِ بَدْرٍ غَيْرُهُمْ

“Kami pergi melaksanakan haji. Kebetulan kami bertemu seorang lelaki yang berkata kepadaku, “Di dekat kalian ada desa yang disebut Ubullah.” “Betul,” jawab kami.
 “Siapakah di antara kalian yang bisa memberi jaminan kepadaku agar aku bisa disholatkan di masjid ‘Asysyar dua atau empat roka’at ,” lanjutnya.
 Sholih ibnu Dirham berkata : “Ini untuk Abu Huroiroh : Saya mendengar orang yang saya cintai, yakni Abul Qosim shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT membangkitkan dari masjid ‘Asysyar pada hari kiamat para syuhada’ yang tidak berdiri bersama para syuhada’ Badar kecuali mereka,” (HR Abu Dawud.)

As Syaikh Abuth Thoyyib penyusun kitab ‘Aunul Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud mengatakan : bahwa masjid ‘Asysyar adalah masjid terkenal yang dimintakan berkah dengan sholat di dalamnya. (Aunul Ma’bud vol. XI hlm. 284)

c. Imam As Syafi’iy Ber-Tabarruk Dengan Kuburan Imam Abi Hanifah

Al ‘Allamah As Syaikh Khothib Al Baghdadi menuturkan kisah dengan sanad para perowi yang tsiqqoh (terpercaya) :

عَنْ عَلِي بِنْ مَيْمُوْن قَالَ سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ يَقُوْلُ اِنِّي لَأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيْفَةَ وَأَجِيْءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ يَعْنِي زَائِرًا فَإِذَا عَرِضَتْ لِي حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ عَنِّي حَتَّى تُقْضَى

Dari Ali bin Maimun, ia berkata : Aku mendengar Imam As Syafi’i berkata : “Sesungguhnya saya senantiasa bertabarruk dengan Abu Hanifah. Aku senantiasa mendatangi makamnya setiap hari untuk berziyarah. Apabila aku mempunyai hajat, aku sholat dua rokaat, lalu aku datangi makamnya, selanjutnya aku meminta kepada Alloh tentang hajatku disisi kuburnya, tidak lama kemudian hajatku terkabul.” (Tarikh Baghdad, vol. 1 hal. 123)

Selanjutnya, jika ada yang berkata : Bahwa Tabarruk hanya dapat dilakukan khusus dengan peninggalan Nabi, dan jika dilakukan dengan selain Nabi maka dapat menyebabkan “Syirik”.
 Terhadap mereka yang berkata demikian perlu anda pertanyakan : Adakah Alloh tidak boleh disekutukan dengan selain Nabi dan boleh disekutukan dengan Nabi ?

Demikian penjelasan singkat tentang Tabarruk, semoga bermanfaat..
 Wallohu A’lam…

Tidak ada komentar: