kesalah pahaman wahabiyah
kesalah pahaman wahabiyah
oleh : Zon jonggol
Salah
satu contoh kesalahpahaman para pengikut ajaran ulama Muhammad bin
Abdul Wahhab, ada di antara mereka menganggap Sunnah Rasulullah adalah
penetapan atau syariat dari Rasulullah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah pembuat ketetapan ataupun syariat
Saat Abdullah bin `Amr bin Al `Ash diejek oleh orang – orang musyrik
yang berkata : “apakah engkau akan menulis segala sesuatu yang engkau
dengar darinya, sedangkan Muhammad hanyalah manusia yang berbicara saat
murka dan senang?”. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
dengan tegas :
“Tulislah! Demi Rob Yang jiwaku ada di tanganNya,
tidak ada yang keluar dari mulutku kecuali kebenaran”. (Hr. Abu Daud :
3646, Hakim dalam Al Mustadrok 1/104 dan beliau menshohihkannya)
Ibnu Katsir berkata: “Artinya tidaklah beliau mengatakan suatu
perkataan dari hawa nafsu dan keinginannya (ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang berarti bahwa beliau
mengucapkan apa yang beliau diperintahkan untuk menyampaikannya kepada
manusia secara sempurna dan tuntas, tanpa ditambah ataupun dikurangi”.
Firman Allah ta'ala yang artinya
"dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al Baqarah [2]:231)
"Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah
kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.
Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu". (QS An Nisaa[4]:113)
"dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)" (QS
An Najm [53]:3-4)
Imam Asy Syafi` rahimahullah berkata : “Di
antara wahyu yang disampaikan Jibril ke dalam jiwa beliau adalah
sunnahnya, itulah hikmah yang disebutkan oleh Allah”
Imam Asy
Syafi`i rahimahulloh juga mengatakan: “Allah menyebutkan Al Kitab yang
berarti Al Qur`an. Diapun menyebutkan Al Hikmah di mana aku mendengar
para ahli ilmu Al Qur`an yang aku ridhoi berkata : bahwa makna hikmah
adalah sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
Firman
Allah ta'ala yang artinya, "Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi,
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As
Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata" (QS Al Jumuah [62]:2)
Contohnya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam diajarkan langsung oleh malaikt Jibril
`alaihis salam tentang berbagai makna dari lafadz-lafadz wahyu dan
tata-cara pelaksanaan yang diperintahkan dan dilarang wahyu.
Jibril `alaihis salam datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam bentuk seorang laki-laki di hadapan para shohabat beliau
untuk mengajarkan makna dari Al Islam, Al Iman dan Al Ihsan serta
tanda-tanda kiamat.
Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu
tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat,
membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu
dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau
menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman
kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan
kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir
semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai
Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah)
kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu
tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR
Muslim 11)
Jelaslah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bukanlah pembuat ketetapan ataupun syariat , apalagi Khulafaur Rasyidin,
mereka tidak pula pembuat ketetapan ataupun syariat.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla
membawa agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah
diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya
dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa). Allah ta’ala
tidak lupa.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan
berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan
beberapa larangan (dikerjakan berdosa)), maka jangan kamu langgar dia;
dan Allah telah mengharamkan sesuatu (dikerjakan berdosa), maka jangan
kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai
tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu
perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan oleh an-Nawawi)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak akan membuat atau
menetapkan larangan yang tidak dilarangNya, tidak akan membuat atau
menetapkan perkara haram yang tidak diharamkanNya dan tidak pula membuat
atau menetapkan kewajiban yang tidak diwajibkanNya
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah mencontohkan tidak membuat sesuatu
larangan yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla dengan tidak
melarang para Sahabat berpuasa sunnah setiap bulan melebihi apa yang
telah beliau contohkan hanya 3 hari karena Allah Azza wa Jalla memang
tidak melarangnya
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin
Syahin Al Washithiy telah menceritakan kepada kami Khalid bin ‘Abdullah
dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abu Qalabah berkata, telah mengabarkan
kepada saya Abu Al Malih berkata; Aku dan bapakku datang menemui
‘Abdullah bin ‘Amru lalu dia menceritakan kepada kami bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dikabarkan tentang shaumku lalu Beliau
menemuiku. Maka aku berikan kepada Beliau bantal terbuat dari kulit yang
disamak yang isinya dari rerumputan, lalu Beliau duduk diatas tanah
sehingga bantal tersebut berada di tengah antara aku dan Beliau, lalu
Beliau berkata: Bukankah cukup bagimu bila kamu berpuasa selama tiga
hari dalam setiap bulannya? ‘Abdullah bin ‘Amru berkata; Aku katakan:
Wahai Rasulullah? (bermaksud minta tambahan) . Beliau berkata: Silahkan
kau lakukan Lima hari. Aku katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau
berkata: Silahkan kau lakukan Tujuh hari. Aku katakan lagi: Wahai
Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan Sembilan hari. Aku
katakan lagi: Wahai Rasulullah? Beliau berkata: Silahkan kau lakukan
Sebelas hari. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Tidak
ada shaum melebihi shaumnya Nabi Daud Aalaihissalam yang merupakan
separuh shaum dahar, dia berpuasa sehari dan berbuka sehari. (HR Bukhari
1844).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan
menghindari mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah Azza wa
Jalla dengan mencontohkan meninggalkan sholat tarawih berjama’ah dalam
beberapa malam agar kita tidak berkeyakinan bahwa sholawat tarawih
berjama’ah sepanjang bulan Ramadhan adalah kewajiban yang jika
ditinggalkan berdosa.
Rasulullah bersabda “Sesungguhnya aku
tahu apa yang kalian lakukan semalam. Tiada sesuatu pun yang
menghalangiku untuk keluar dan shalat bersama kalian, hanya saja aku
khawatir (shalat tarawih itu) akan diwajibkan atas kalian.” ( HR Muslim
1270 )
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mencontohkan
tidak mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah Azza wa
Jalla seperti memakan daging biawak
Dari Abu Umamah bin Sahl
bin Hunaif Al Anshari bahwa Abdullah bin Abbas pernah mengabarkan
kepadanya bahwa Khalid bin Walid yang di juluki dengan pedang Allah
telah mengabarkan kepadanya; bahwa dia bersama dengan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menemui Maimunah isteri Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam -dia adalah bibinya Khalid dan juga bibinya
Ibnu Abbas- lantas dia mendapati daging biawak yang telah di bakar,
kiriman dari saudara perempuanya yaitu Hufaidah binti Al Harits dari
Najd, lantas daging Biawak tersebut disuguhkan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sangat jarang beliau disuguhi makanan
hingga beliau diberitahu nama makanan yang disuguhkan, ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam hendak mengambil daging biawak tersebut,
seorang wanita dari beberapa wanita yang ikut hadir berkata,
Beritahukanlah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai
daging yang kalian suguhkan! Kami lalu mengatakan, Itu adalah daging
biawak, wahai Rasulullah! Seketika itu juga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengangkat tangannya, Khalid bin Walid pun berkata,
Wahai Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab:
Tidak, namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut,
maka aku enggan (memakannya). Khalid berkata, Lantas aku mendekatkan
daging tersebut dan memakannya, sementara Rasulullah melihatku dan tidak
melarangnya. (HR Muslim 3603)
Lihatlah bagaimana Khalid bin
Walid mengkonfirmasi kepada Rasulullah dengan pertanyaan "Wahai
Rasulullah, apakah daging biawak itu haram? Beliau menjawab: Tidak,
namun di negeri kaumku tidak pernah aku jumpai daging tersebut, maka aku
enggan (memakannya)".
Contoh lain para Sahabat
mengkonfirmasikan kepada Rasulullah apakah yang disampaikannya sebuah
wahyu atau bukan pada peristiwa perang Badar
Seorang sahabat
Hubab bin Mundzir setengah berlari menghampiri sang kekasih. Wajahnya
menyiratkan sesuatu, dihiasi titik peluh. “Wahai Rasulullah, apakah
dalam memilih tempat ini, Engkau menerima wahyu dari Allah sehingga
tidak dapat diubah lagi, ataukah berdasarkan strategi peperangan ?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan strategi peperangan.”
“Wahai Rasulullah, tempat ini tidaklah strategis. Ajaklah pasukan
pindah ke mata air yang terdekat dengan musuh (mata air keempat). Kita
membuat pertahanan di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di
belakangnya, lalu kita buat kubangan dan kita isi dengan air hingga
penuh. Dengan demikian, kita akan
berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum yang cukup, sementara musuh tidak akan memperoleh air minum.”
Jelaslah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak akan melarang
yang tidak dilarang oleh Allah Azza wa Jalla, tidak akan mengharamkan
yang tidak diharamkanNya dan tidak pulan mewajibkan yang tidak
diwajibkanNya
Amat disayangkan pengikut ajaran ulama Muhammad
bin Abdul Wahhab yang mengaku-ngaku Ahlus Sunnah namun kenyataannya
tidak mau mengikuti apa yang dicontohkan manusia yang paling mulia, Nabi
Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti
contohnya mereka mengharamkan atau melarang peringatan Maulid Nabi namun
melaksanakan “Pekan Memorial Muhammad bin Abdul Wahhab” untuk
memperingati dan mengenang ulama panutan atau teladan bagi mereka
sebagaimana yang dapat kita ketahui dari http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/08/pengakuan-dan-kenyataan/
Boleh jadi mereka ingin berkumpul dengan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab kelak di alam barzakh (alam penantian)
Mereka menjadikan ulama-ulama mereka “sebagai tuhan-tuhan selain
Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 ) karena mereka melarang (mengharamkan)
yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Azza wa Jalla
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya
mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa
yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu
menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan
padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu
tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7] : 33)
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku
memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia
ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba
itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus,
tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian
membelokkan mereka dari agamanya, dan mengharamkan atas mereka sesuatu
yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau
menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan
padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan
selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya
terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta
sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta
itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi
mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu
mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada
riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib
dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan
menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang
demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang
paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya
adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak
diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu
tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR
Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)
Pengikut ajaran ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi merasa diri merekalah yang
benar dan dianggapnya mayoritas kaum muslim (As-sawadul a’zham) telah
rusak sehingga mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba
atau orang-orang yang asing sebagaimana hadits berikut
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya
dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada
kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu
Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan
asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Mereka bukanlah yang dimaksud Al Ghuroba namun mereka adalah
orang-orang yang mengasingkan diri para ulama yang sholeh. Mereka adalah
yang mengasingkan atau menyempal atau keluar (kharaja) dari mayoritas
kaum muslim (As-sawadul a’zham) sehingga boleh jadi termasuk khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail)
artinya yang keluar.
Salah satu gurunya ulama Muhammad bin
Abdul Wahhab yakni Syaikh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i,
menulis surat berisi nasehat:
“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku
menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum
muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang
ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia
kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi
manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap
kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’zham (kelompok
mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok
terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan
kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.”
Pengikut
ajaran Wahabi secara tidak disadari telah mengingkari sunnah Rasulullah
untuk mengikuti mayoritas kaum muslim (As-sawadul a’zham) dikarenakan
salah memahami firmanNya yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan
belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS
Al An’aam [6]:116)
Makna firman Allah ta’ala dalam (QS Al
An’aam [6]:116) adalah larangan “menuruti kebanyakan orang-orang yang
dimuka bumi” yakni orang-orang musyrik. Hal ini dapat kita pahami dengan
memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Secara
tidak sadar mereka telah memfitnah Allah Azza wa Jalla , menggunakan
firman Allah ta’ala untuk tujuan atau maksud yang berbeda sehingga
bertentangan dengan sunnah Rasulullah untuk mengikuti mayoritas kaum
muslim (As-sawadul a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas
kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang
menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil
perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum
(yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas
kaum muslim)“
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena
itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad
al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid,
at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam
Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Ibnu Mas’ud
radhiallahuanhu mewasiatkan yang artinya: ”Al-Jama’ah adalah sesuatu
yang menetapi al-haq walaupun engkau seorang diri”
Maksudnya
tetaplah mengikuti Al-Jamaah atau as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim) walaupun tinggal seorang diri di suatu tempat yang terpisah.
Hindarilah firqoh atau sekte yakni orang-orang yang mengikuti pemahaman
seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum
muslim (as-sawad al a’zham).
Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud,
bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika
‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak
akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak
mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok
maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua
firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam
keburukan”.
Mayoritas kaum muslim atau as-sawad al a’zham atau
Al Jama’ah atau ahlus sunnah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau
disingkat aswaja adalah kaum muslim yang istiqomah mengikuti para ulama
yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Allah ta’ala berfirman yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi
yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah
[9]:100)
Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa
orang-orang yang diridhoi oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang
yang mengikuti Salafush Sholeh.
Sedangkan orang-orang yang
mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah Imam Mazhab
yang empat karena Imam Mazhab yang empat bertemu dan bertalaqqi
(mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat
mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung dan Imam
Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush
Sholeh.
Imam Mazhab yang empat adalah para ulama yang sholeh
dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” yakni membawanya dari
Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam
Jadi kalau kita ingin ittiba li
Rasulullah (mengikuti Rasulullah) atau mengikuti Salafush Sholeh maka
kita menemui dan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh dari
kalangan “orang-orang yang membawa hadits”
Para ulama yang
sholeh dari kalangan “orang-orang yang membawa hadits” adalah para ulama
yang sholeh yang mengikuti salah satu dari Imam Mazhab yang empat
Para ulama yang sholeh yang mengikuti dari Imam Mazhab yang empat
adalah para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu
(sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh
yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat.
Pengikut ajaran Wahabi termakan hasutan atau ghazwul fikri (perang
pemahaman) dari kaum Zionis Yahudi sehingga karena kebencian mereka
terhadap kaum syiah berakibat mereka meninggalkan bahkan diantaranya
membenci para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah.
Al Qura'n adalah kitab petunjuk sedangkan para
ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah
adalah para penunjuk.
Para ulama yang sholeh dari kalangan
ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada
umumnya memiliki ketersambungan dengan lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam melalui dua jalur yakni
1. Melalui nasab
(silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan
maupun praktek yang diterima dari orang tua-orang tua mereka terdahulu
tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
2.
Melalui sanad ilmu atau sanad guru. Pengajaran agama dengan bertalaqqi
(mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang
empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah
dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki
ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan Imam Mazhab yang empat
Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan
cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran
sanad, kemurnian agama dan akidahnya.
Dalam perkara agama tidak
ada hal yang baru. Kita justru harus berlaku jumud atau istiqomah
sebagaimana apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran
talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya
digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada
hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan
yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada
matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad
itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam
Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil
dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka:
Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan
sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka
menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan
perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits. Karena
tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode sanad
telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling kentara
adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini
dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah
yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad.
Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi yang
memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang
menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga
alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu
kebanggaan Islam dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah
Nabawiyah terjaga dari distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad
inilah warisan Nabi tak dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak
berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena
sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja
yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh
Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah
mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin
naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid
Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;
“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak
ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad ilmu atau sanad
gurunya adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi
pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu serta berakhlak baik
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud
dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar
untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan“
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi
adalah ijazah. Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan
lisan. Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya
penipuan dan dusta dalam penyandaran seseorang. Apalagi untuk zaman
sekarang yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis menjadi suatu
keharusan.
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi
shallallahu alaihi wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara
lisan) kepada beberapa Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti
keahlian sahabat di bidang Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling
aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya‘.
Dan beliau juga bersabda: “Ambillah bacaan Al Qur’an dari empat orang.
Yaitu dari ‘Abdullah bin Mas’ud, kemudian Salim, maula Abu Hudzaifah,
lalu Ubay bin Ka’ab d an Mu’adz bin Jabal.” (Hadits riwayat Al-Bukhari
dan Muslim).
Silahkan telusurilah melalui apa yang disampaikan
oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam
Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke
Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al
Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan
orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru
besar Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan
orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilallah
Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Sejak
abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut,
dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al
Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut
Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal
jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam
Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak
atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang muktabaroh dan
bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat. Di Hadramaut kini, akidah dan
madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang
sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal”
karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor
dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan
Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang
mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi
mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah
Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah,
mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim
Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/
tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38
menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan
langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah seperti Syarif
Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Berikut kutipan
penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah
shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang
semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat
anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan
beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya
dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain
dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah
Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid
(Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya
memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang
mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh
telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air
kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan
Pilipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam
diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan
kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan
di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao
dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari
keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid
Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia)
dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111
Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga,
Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan
mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi
anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka
datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih
Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas,
Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar,
Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab,
bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah
keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang
keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif
Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil
Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar
didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan
lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan
mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum-
nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi
Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
****** akhir kutipan ******
Selengkapnya tentang ulama nenek moyang kita telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/19/sejak-abad-ke-1-h/http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/05/19/sejak-abad-ke-1-h/
Sedangkan silsilah para Wali Songo pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpghttp://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/03/silsilah-para-walisongo.jpg
Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , pada umumnya tinggal di
Hadramaut, Yaman mengikuti sunnah kakek mereka Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Diriwayatkan dari Ibnu
Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari,
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah
pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu
alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah
ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke
negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said
al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena
kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan
dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Abu
Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan
mereka mencintai Allah. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam :
mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Firman
Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa
di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min,
yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al
Ma’iadah [5]:54)
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka
adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu
Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai
Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu
Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat
al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul
menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa
al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah
meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari
Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata,
‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti
awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dalam
Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin
Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan
isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam
al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki
ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman
berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah
membenciku”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah
menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima
kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak
dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits)
sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul
Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada
kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang
penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya
paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR
Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid
dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami
Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami
bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang
penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada
pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar