Kamis, 15 November 2012

Kerancuan

KACAUNYA PEMAHAMAN AKIBAT BELAJAR ILMU SEPOTONG-SEPOTONG

BUKTI SEMRAWUTNYA PEMAHAMAN JIKA TIDAK DILANDASI KELENGKAPAN KEILMUAN YANG MEMADAI
Oleh: Abu Hilya
akibat belajar ilmu sepotong-sepotongBismillah,
Comment diantara beberapa pengunjung dibawah ini kami ambil sebagai contoh semrawutnya pemahaman yang tidak didasari keilmuan yang memadai. Sebelumnya kami mohon maaf kepada saudaraku semua yang commentnya kami ambil sebagai contoh, sungguh tak ada maksud dari kami melecehkan siapapun, dan pada tulisan kami ini pun masih sangat mungkin terjadi kesalahan, dan kami berharap kita semua menyadari kebodohan kita hingga mau belajar agar tidak semakin menimbulkan fitnah. Dan semoga Alloh berkenan mengampuni semua kesalahan kita serta memberikan petunjuk-Nya bagi kita semua…

Contoh pertama tentang hadits :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

Terdapat comment sebagai berikut:
Ahlussunah wal jama’ah memahami makna hadist ini dengan:
“Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim no.1017)

Ahlussunah yang lain memahami dengan makna ini :
“Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Perhatikan!, dengan ilmu lughotul arabiyah yg ada pd anda semua, tentunya mudah melihat siapa yang betul memahami dan siapa yg salah dlm memahami.
Dalam comment tersebut kita dapati adanya pemahaman tentang sebuah hadits hanya berdasarkan terjemah dan menyalahkan pemahaman orang lain yang belum tentu salah.
- Ketahuilah kata “SANNA” dalam qodhiyah hadits “SANNA SUNNATAN HASANATAN” dan “SANNA SUNNATAN SAYYIATAN” tersebut jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia memiliki arti : Membuat / meletakkan / menetapkan.
- Dalam hadits tersebut tidak kita dapati batasan kebaikan yang dilakukan seseorang harus berupa perkara yang telah dicontohkan oleh Rosululloh saw maupun para sahabat.
- Jika ada pemahaman kebaikan yang dilakukan harus sesuai dengan yang diconthkan oleh Rosululloh saw maupun para sahabat berdasarkan kata “SUNNATAN” yang ada dalam hadits teresbut, maka pendapat tersebut tidak dapat diterima akal orang beriman, mengingat dalam hadits tsb disamping ada “SUNNATAN HASANATAN” (perbuatan/ketetapan/peletakan baik) ada pula “SUNNATAN SAYYI’ATAN” ( perbuatan / ketetapan / peletakan buruk ). Lah, masak Rosululloh saw mencontohkan keburukan?
- Hadits di atas jika dikomparasi dengan hadits “KULLU BID’ATIN DHOLALAH” (setiap bid’ah adalah sesat), maka sungguh kita tidak memiliki kapasitas untuk menentukan, mana diantara kedua hadits tersebut yang bersifat “MUTHLAQ” (absolut) sehingga yang lain berfungsi sebagai “MUQOYYID” (pengikat keabsolutan), atau mana di antara dua hadits tersebut yang bersifat “AM” (umum) sehingga yang lain berfungsi sebagai “MUKHOSSHISH” (yang membatasi keumuman), dan juga mana yang bersifat “MUJMAL” (global) sehingga yang lain sebagai “MUBAYYAN” (yang menjelaskan lebih rinci). Sehingga cukuplah bagi kita kaum awam memahaminya berdasarkan pemahaman para ulama’ yang Mu’tamad (otoritatif) yang telah diakui sejak masanya hingga sekarang. Dan diantara mereka adalah Imam Nawawi dalam Syarah Muslimnya  sbb:

(من سن في الاسلام سنة حسنة فله أجرها ) إلى آخره فيه الحث على الابتداء بالخيرات وسن السنن الحسنات والتحذير من اختراع الاباطيل والمستقبحات وسبب هذا الكلام في هذا الحديث أنه قال في أوله فجاء رجل بصرة كادت كفه تعجز عنها فتتابع الناس وكان الفضل العظيم للبادى بهذا الخير والفاتح لباب هذا الاحسان وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه و سلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة

Artinya: Hadits (“Barang siapa melukan kebaikan dalam islam, maka baginya pahalanya”) dst.. dalam hadits tsb terdapat dorongan/motifasi untuk memulai kebaikan, dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, dan (dalam hadits tsb) terdapat Tahdzir (peringatan/ancaman) untuk mengadakan perkara-perkara bathil dan buruk/menjijikkan dst…. (hingga ucapan beliau) dan dalam hadits ini terdapat “TAKHSHISH” (pembatasan keumuman) sabda Rosululloh saw, (yang berbunyi) “Setiap perkara baru adalah Bid’ah dan setiap Bid’ah adalah sesat”. Sesungguhnya yang dikehendaki dengan hadits tsb adalah “AL MUHDATSAAT AL BATHILAH DAN AL BIDA’ AL MADZMUMAH” (perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah-bid’ah yang tercela). Dan sungguh penjelasan tentang masalah ini telah lalu pada “Kitab Sholat Jum’ah” dan telah kami terangkan di sana sesungguhnya bid’ah terbagi atas lima hukum. (Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 7/104 Shameela)
Contoh comment yang lain :
Barangsiapa yang menganggap baik sesuatu, sesungguhnya ia telah membuat syari’at” [Al-Mankhuul oleh Al-Ghazaliy hal. 374, Jam’ul-Jawaami’ oleh Al-Mahalliy 2/395, dan yang lainnya].
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].
Dan berikut perkataan guru imam syafi’i,yaitu imam malik:
“Barang siapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah [Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49]
Inilah yang dalam bahasa kalangan para ulama disebut “TALFIQ FI AT TAHKIM” (mencampur adukkan beberapa madzhab dalam menghakimi sebuah perkara). Hal ini mungkin disebabkan oleh sikap enggan bermadzhab namun disisi lain mengambil pemikiran para “A’IMMATUL MADZAHIB” secara parsial (sepotong-sepotong).
Berikut penjelasan kami :
Dalam beberapa literatur ushul fiqih disebutkan bahwa, Sumber Hukum dalam Islam ada sepuluh, Empat diantaranya disepakati oleh mayoritas para Imam Madzhab dan para Ulama, terdiri dari; Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Sedagkan enam yang lain dimana kebanyakan para Imam menolak atau setidaknya tidak bersepakat untuk menjadikannya sebagai sumber hukum adalah : Istihsan, Al Mashlahah Al Mursalah, Istishhab, ‘Urf, Madzhabus Shohabiy dan Syar’u Man Qoblana.
Dalam tulisan kami ini yang ingin kami sampaikan hanyalah tentang berhujjah dengan “Istihsan”.
Imam Syafi’i menolak Istihsan sebagai landasan hukum, namun pengertian Istihsan dalam pandangan Imam Syafi’i adalah : “Meninggalkan hujjah (petunjuk syar’iy) dan beralih menggunakan mujarrodur ro’yi (murni akal pikiran yang memandang adanya kebaikan/lebih baik/lebih dapat diterima akal) dalam menetapkan sebuah perkara.”
Imam Nu’man Abu Hanifah menerima penggunaan Isihsan sebagai landasan hukum, namun yang dimaksud Istihsan dalam pandangan Imam Abu Hanifah adalah : “meninggalkan qiyas yang zhohir dan beralih kepada qiyas khofi”. Jadi pada dasarnya Imam Abu hanifah masih menggunakan salah satu dari sumber yang Empat dalam Istihsan.
Selanjutnya tentang pernyataan Imam Malik : “Barang siapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah [ Al-I’tisham oleh Asy-Syathibi, 1/49 ]
Ketahuilah pengertian bid’ah menurut para Ulama Malikiyyah (setidaknya sebagaimana dijelaskan As Syathibi dalam Al I’tishom pada bab “Ta’rifil Bida’ wa Bayaani Ma’aniha” adalah sebagai berikut :

فمن هذا المعنى سمي العمل الذي لا دليل عليه في الشرع بدعة وهو إطلاق أخص منه في اللغة حسبما يذكر بحول الله

Setelah menjelaskan ma’na bid’ah dari sudut bahasa (lughowiy) Imam Asy Syathibi berkata : “Dari pengertian ini amal (perbuatan) yang tidak memiliki landasan dalil dalam syara’ disebut Bid’ah, dan pengertian tsb adalah penggunaan yang lebih khusus daripada ma’na bid’ah dalam artian bahasa… dst (Al I’tishom, 1/26. shameela)
Dari keterangan Imam Syathibi diatas, kita dapati pemahaman bid’ah dengan pendekatan Ishthilahi / Syar’iy yang bertitik tekan pada perkara yang tidak memiliki sumber hukum (dalil syar’iy) dan bukan pada perkara yang tidak dilakukan pada masa Rosululloh saw maupun para sahabat.
Jadi yang dikecam Imam malik sebagaimana dalam kitab Al I’tishom tsb adalah “menanggap baik terhadap perkara yang sama sekali tidak memiliki landasan hukum (dalil syar’iy)” dan bukan bid’ah hasanah dalam pengertian kalangan Syafi’iyyah, mengingat yang disebut Bid’ah hasanah menurut pandangan Imam Syafi’iy dan Ulama Syafi’iyyah adalah “Kebaikan yang tidak menyelisihi Al Kitab, As Sunnah atau Atsar” sebagaimana sering kami sampaikan.”
Himbauan kepada semua saudaraku dan kepada pribadi kami sendiri, marilah kita belajar dengan benar agar tidak terjadi kesalahan menginterpretasikan pendapat para Ulama’ yang pada akhirnya kita mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Bukankah itu sama dengan telah memfitnah Para Ulama ?

Wallohu a’lam

Tidak ada komentar: