Senin, 22 Oktober 2012

AT-TARK

Akhir-akhir ini muncul fenomena yang membingungkan tetapi ironisnya mereka tidak menyadarinya alias merasa normal-normal saja. Dimana sekarang sebagian anak-anak muda muslim telah menjadikan At Tark atau tarku an-Nabi (ترك النبي ) sebagai dasar hukum. At Tark yaitu hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Nabi Saw, telah lazim dijadikan hujjah (dasar/alasan hukum) untuk mengharamkan amal ibadah kaum muslimin.
Sebagaimana mereka telah menjadikan Bid’ah sebagai hukum haram, begitu juga At Tark dijadikan alasan untuk mengharamkan suatu perkara. Kita jadi bertanya-tanya atas kecerobohan mereka itu, apakah benar jika Rasul Saw meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara, lalu otomatis menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu?

Sebelum mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas sebaiknya kita memahami dahulu sebuah pertanyaan berikut: apakah benar jika Nabi saw tidak melakukan sesuatu, berarti Nabi ingin memberitahu kita bahwa sesuatu itu haram? Jelaslah tentu jawabannya adalah tidak, karena di sana ada sebab-sebab lain mengapa Rasulullah meninggalkan sesuatu, ini berarti bukan serta-merta sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah Saw itu haram dilakukan oleh kaum muslimin.

Untuk lebih memahami secara benar permasalahan At Tark, berikut ini kami sajikan buat anda semua tentang pembahasan tuntas At Tark. Tulisan pertama berupa pembukaan yang ditulis oleh Akhi Agung. Lalu tulisan bagian kedua berupa penjelasan tuntas At Tark ditulis oleh Ustadz Abu Hilya. Yuk kita ikuti dan simak penjelasannya…..

At Tark Itu Bukan Dalil Untuk Mengharamkan atau Memakruhkan

Oleh: Ustadz Agung
Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat – dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.
Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu perkara yang ditinggalkan Nabi atau Sahabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram, makruh atau wajib.

Alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: “Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu beliau lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: “Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka’bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka’bah menjadi pendek.” (HR. Bukhori dan Muslim).  Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka’bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: “itu biawak!”, maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: “apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: “Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!” (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi SAW meninggalkannya karena memang tidak pemah memikirkan dan terlintas dalam pikirannya. Pada mulanya Nabi SAW berkhutbah dengan bersandar pada pohon kurma dan tidak pemah berpikir untuk membuat kursi, tempat berditi ketika khutbah. Setelah sahabat mengusulkannya, maka beliau menyetujuinya, karena dengan posisi demikian, suara beliau akan lebih didengar oleh mereka. Para sahabat juga mengusulkan agar mereka membuat tempat duduk dari tanah, agar orang asing yang datang dapat mengenali beliau, dan temyata beliau menyetujuinya, padahal belum pernah memikirkannya.

Dan Nabi bersabda:” Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:” dan tidaklah Tuhanmu lupa”.(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: “Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya”.(HR.Daruqutnhi)
Dan Allah berfirman:”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.
Maka dapat disimpulkan bahwa “at-Tark” tidak memberi faidah hukum haram. Sehingga, kaidah yang sering digunakan oleh Salafi/Wahabi yang berbunyi : “Jika hal tersebut baik, tentulah Nabi dan para sahabat yang mulia akan melakukannya” atau “Kita harus meninggalkan segala sesuatu yang tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah SAW.” dalil andalan Wahabi or salafi ini tidak dapat digunakan. Dan memang kaidah seperti itu tidak ada dalam ushul fiqih.



Salah memahami At Tark Bisa Menajadikan Anda Sebagai Ahlul Fitnah

Oleh: Ustadz Abu hilya
Bismillah,
Selanjutnya dengan segala kerendahan hati seraya mengharap Taufiq dan Hdayah Alloh, perkenankan kami menambahkan sedikit Penjelasan Tentang At Tark, guna memperkuat apa yang sudah disampaikan oleh Mas Agung dan mempekaya khazanah keilmuan kita, semoga bermanfaat.
At Tark / Ditinggalkannya atau tidak dilakukannya sebuah perkara tidak otomatis mengindikasikan ke-haram-annya, dengan penjelasan sebagai berikut:

At Tark alias ditinggalkannya suatu perkara jika tidak disertai dalil yang menunjukkan bahwa perkara yang ditinggal tersebut adalah terlarang, maka At Tark seperti ini tidak dapat dijadikan Hujjah untuk larangan, cukup baginya dijadikan hujjah bahwa meninggalkan perkara tersebut adalah Masyru’ diakui oleh syara’ dan bukan sebuah kesalahan.
Seperti tentang pendapat yang menolak wiridan atau do’a setelah sholat dengan alasan hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh para Salaf as Solih. Kami berpendapat ; seandainya hal itu benar (tidak ada dari kalangan slaf as solih yang wiridan atau berdo’a sesudah solat) kenyataan itu tidak menghasilkan hukum apapun selain bahwa tidak wiridan atau berdo’a sesudah solat adalah boleh apapun kondisinya baik repot maupun longgar. Dan tidak akan berindikasi kemakruhan apalagi keharaman wiridan ba’da solat, terlebih jika memperhatikan ke-mujmal-an dalil tentang dzikir dan do’a.


Di dalam kitab Al Mahalli Imam Ibnu Hazm menuturkan hujjah para ulama’ Malikiyyah dan Hanafiyyah yang memakruhkan sholat dua rokaat sebelum maghrib dimana mereka berhujjah dengan pendapat Ibrohim an Nakho’i yang menyatakan ; “sesungguhnya Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak melakukannya”. Ibnu Hazm menjawab ; “ seandainya hal itu benar, sungguh tidak ada (bisa dijadikan hujjah) dalam hal tersebut, karena mereka (para sahabat) tidak melarang melaksanakan sholat dua rokaat sebelum maghrib “. (Al Mahalli, 2/254). Terlebih jika kita memandang ke-mujmal-an dalil sholat tahiyyatul masjid.


Lebih jauh dalam Al Mahalli disebutkan :

وأما حديث علي، فلا حجة فيه أصلاً، لأنه ليس فيه إلا إخباره بما علم من أنه لم ير رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاهما، وليس في هذا نهي عنهما ولا كراهة لهما، فما صام عليه السلام قط شهرًا كاملاً غير رمضان وليس هذا بموجب كراهية صوم شهر كامل تطوعًا اهـ. فهذه نصوص صريحة في أن الترك لا يفيد كراهة فضلاً عن الحرمة

“ Adapun hadits Sayyidina Ali, tidak terdapat hujjah sama sekali didalamnya, karena Sayyidina Ali ra hanya menghabarkan bahwa beliau tidak pernah melihat Rosululloh Saw sholat dua rokaat (ba’da ashar. red), dan didalamnya (perkataan Sayyidina Ali) tidak ada larangan dan kemakruhan solat dua rokaat ba’da ashar. maka (bukankah) Rosululloh Saw, tidak pernah puasa sebulan penuh kecuali dibulan Romadhon, dan ini tidak menyebabkan makruhnya puasa sunnah sebulan penuh. (Al Mahalli, 2/271)

Ini adalah nash yang jelas bahwa tidak dilakukannya atau ditinggalkannya suatu perkara tidaklah otomatis mengindikasikan ke-makruh-annya, apalagi ke-haram-annya.
Sedang terhadap mereka yang menolak kaedah ini, dan menyatakan ini tidak ada dalam kaedah ushul fiqih, berikut kami sampaikan bukti-buktinya:

1. Dalam Ushul Fiqih, dalil yang menunjukkan larangan ditunjukkan dengan tiga hal :

a. Shighot Nahi (bentuk kalimat larangan) seperti :
 
ولا تقربوا الزنا 
: Dan Janganlah kalian mendekati zina
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل 
: Dan Janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil.
 
Larangan dengan sighot Nahi tsb pada asalnya berindikasi Haram namun terkadang bisa berindikasi Makruh.
 
b. Lafadz Tahrim : (lafazh yang menunjukkan keharaman ) seperti :
 
حرّمت عليكم الميتة 
 : diharamkan atas kalian bangkai
 
c. Dzammul Fi’li : (adanya cela-an atas perkara tsb, atau adanya ancaman siksa bagi pelakunya), contoh :
من غش فليس منا 
: Barang siapa memalsukan maka ia bukan termauk golonganku.
Dari tiga hal diatas tidak kita dapati At Tark sebagai salah satunya.
 2. Firman Alloh SWT dalam al qur’an :

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“ Apa yang diberikan Rosul bagimu terimalah, Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah “ (QS, Al Hasyr : 7)

Disini Alloh tidak menyatakan و ما تركه فانتهوا “dan apa yang ditinggalkan Rosul maka tinggalkanlah “. Maka At Tark tidak berindikasi terlarang.

3. Rosululloh SAW, bersabda :

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“ Apa-apa yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang aku perintahkan pada kalian kerjakanlah semampu kalian “ (HR. Bukhori Muslim)
Dalam hadits diatas Rosululloh Saw tidak mengatakan :وما تركته فاجتنبوهdan apa-apa yang aku tinggalkan maka jauhilah. Lantas dari mana At Tark dijadikan kaedah larangan.

4. Para Ulama’ Ushul mendefisikan Sunnah adalah : Perkataan, Perbuatan, dan atau Ketetapan Rosululloh Saw. Dan mereka tidak mengatakan At Tark (apa yang ditinggalkan Nabi Saw) termasuk Sunnah. Karena At Tark tidak menunjukan apa-apa kecuali kebolehan tidak melakukan perkara yang ditinggalkan Nabi Saw.

5. Sumber hukum dalam Islam yang disepakati adalah Al Qur’an dan As Sunnah, sedang Jumhur ulama menambahkannya dengan Ijma’ dan Qiyas. Lantas apakah At Tark adalah salah satu dari sumber hukum Islam untuk menetapkan keharaman atau kemakruhan sesuatu? Tentu tidak.

6. Sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas, bahwa ditinggalkannya sebuah perkara oleh Rosululloh Saw maupun para sahabat memiliki banyak kemungkinan sebagai penyebabnya. Boleh jadi para sahabat (sepeninggal Rosululloh) meninggalkan atau tidak mengerjakan sesuatu karena memang sebuah Ijma’, atau karena kesepakatan bahwa hal tersebut tidak boleh, atau karena mereka menganggap ada hal lain yang lebih baik, atau ada sebab-sebab lain. Lantas apakah perkara yang memiliki banyak kemungkinan (at tark) dapat dijadikan dalil untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman? Fa Taammal !!!

7. At Tark adalah ashal, karena asal dari sesuatu adalah tidak ada. Maka At Tark tidak dapat membuktikan (dijadikan dalil) terlarangnya sesuatu. Fa Taammal Kay La Takhsar !!!
Catatan : Penulis tidak mengingkari orang yang meninggalkan perkara yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Saw dengan alasan Ittiba’, bahkan hal tersebut merupakan kebaikan. Namun mengharamkan apa yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Rosululloh Saw dan Salaf as Sholih tanpa adanya dalil yang melarangnya adalah sebuah kedustaan atas nama agama.


 *****

Selanjutnya segala apa yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Rosululloh Saw, sampai wafatnya beliau secara garis besar para Ulama membagi dalam dua macam :
- Perkara yang ditinggalkan Rosululloh Saw karena tidak ada hal yang mendorong untuk melakukannya, namun setelah wafatnya Rosululloh Saw didapati pendorong/penyebab yang menghendaki untuk melakukannya. Hal semacam ini pada dasarnya boleh selama tidak menyalahi dalil-dalil nash. Contoh : Penghimpunan Mushaf pada masa Kholifah Abu Bakar RA, Penambahan adzan jum’ah pada masa Kholifah Utsman RA, dan yang lain.
- Perkara yang ditinggalkan / tidak dikerjakan Rosululloh Saw padahal ada faktor yang mendorong untuk melakukannya, dalam hal ini ada dua sebab:
a. Tidak adanya kemaslahatan syar’i dalam perkara tersebut. Maka dalam hal yang demikian hukumnya terlarang.
b. Adanya madhorot yang lebih besar dari pada kemaslahatannya, seperti jamaah solat tarowih, namun ketika madhorotnya (yakni khawatir diwajibkan) hilang sehingga hanya tinggal manfaatnya, hal tersebut dapat dilakukan.
Sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang At Tark berikut kami kutipkan sebuah kisah dari Abdulloh bin Al Mubarok yang dituturkan oleh Sayyid Al Ghummari dalam kitabnya (Husnut Tafahhumi Wad Darki Li Mas-alatit Tarki) :

قال عبد الله بن المبارك: أخبرنا سلام بن أبي مطيع عن ابن أبي دخيلة عن أبيه قال: كنت عند ابن عمر فقال: “نهى رسول الله عن الزبيب والتمر يعني أن يخلطا”. فقال لي رجل من خلفي ما قال؟ فقلت: “حرم رسول الله صلى الله عليه وسلم التمر والزبيب” فقال عبد الله بن عمر: “كذبت”! فقلت: “ألم تقل نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عنه؟ فهو حرام” فقال: “أنت تشهد بذلك؟” قال سلام كأنه يقول: ما نهى النبي صلى الله عليه وسلم فهو أدب.

Abdulloh bin Al Mubarok berkata : Telah menceritakan kepadaku Salam bin Abi Muthi’ dari Ibnu Abi Dakhilah dari ayahnya, ia berkata : “ Aku berada disisi Abdulloh bin Umar, maka ia (Ibnu Umar) berkata : “ Rosululloh melarang korma dan kismis yakni mencampur keduanya “. Maka seorang lelaki dibelakangku bertanya : “ Apa yang telah disampaikan Ibnu Umar ?” Maka aku menjawab :” Rosululloh Saw mengharamkan mencampur korma dengan kismis “. Maka Abdulloh bin Umar berkata : “ Kamu berdusta!”. Akupun bertanya : “ Bukankah anda mengatakan bahwa Rosululloh Saw melarang mencampur korma dengan kismis? Maka itu berarti haram” Ibnu Umar RA berkata : “ Apa engkau (berani) bersaksi akan hal itu ?”. Salam berkata : “ Seakan-akan Abdulloh bin Umar berkata bahwa apa yang dilarang Nabi Saw adalah adab (makruh).
Coba perhatikan sikap Abdulloh bin Umar RA salah satu Fuqoha-us Shohabah, dimana beliau menganggap dusta orang yang menafsirkan Nahi dengan Haram, padahal dalam ushul fiqih asal dari Nahi adalah Haram meskipun tidak shorih, namun terkadang Nahi juga bisa berindikasi Makruh.

Kesimpulan Tentang At Tark :

• Perkara yang ditinggalkan Rosululloh saw maupun para sahabat tidak otomatis menunjukkan perkara tersebut makruh atau haram, kecuali ada dalil yang menetapkan kemakruhan atau keharaman perkara tersebut.
• At Tark yakni ditinggalkan dan atau tidak dilakukannya sebuah perkara, bukanlah landasan hukum untuk memakruhkan atau mengharamkan perkara tersebut.
• Terhadap perkara baru, tidak langsung dapat divonis sesat atau haram sebelum diuji dengan dalil-dalil yang menjadi landasan agama yakni; Al Qur’an, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
• Ungkapan “ Lau Kaana Khoiron Lasabaquunaa Ilaihi “ bukanlah sumber hukum bukan pula kaedah ushul untuk menetapkan kemakruhan atau keharaman suatu perkara. Memaksakan diri memakai ungkapan ini sebagai dasar untuk mengharamkan suatu perkara hanya akan menimbulkan fitnah bagi ajaran Islam.

Disarikan dari Kitab “ Husnu At Tafahhum Wa Al Darki Li Masalai Al Tarki “ karya Sayyid Abdulloh bin As Siddiq Al Ghumari Al husaini.
 wallahu a'lamu bishawab

5 komentar:

Anonim mengatakan...

assalaamu'alaikum ustad, saya pernah membaca hadist yang bunyinya seperti ini:

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.

Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:”Sesungguhnya sebenar-benar perkataan ialah KITAB ALLAH,dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk MUHAMMAD,dan sejelek-jelek perkara itu yg diada-adakan,dan tiap-tiap yg diadakan itu BID’AH,dan tiap-tiap BID’AH itu SESAT,dan tiap-tiap kesesatan itu di NERAKA)”

yg saya tanyakan ustad: apakah setiap amalan ibadah yg di lakukan / dikerjakan tidak ada tuntunannya maka amalan tersebut tertolak?, dan masalah bid'ah ustad apakah tempatnya pasti dineraka sesuai dengan pekataan Rasulullah, karena konteks hadist di atas tidak mengatakan ada bid'ah yg baik seperti yg biasa saya dengar, dari potongan hadist "dan tiap-tiap BID’AH itu SESAT,dan tiap-tiap kesesatan itu di NERAKA)”
tolong penjelsan ustad.
terima kasih

Al muhibbin mengatakan...

wa alaikumussalam
bismillah
saudaraku yang dirahmati Alloh swt
kita tidak bisa memahami Alqur`an dan hadist hanya dgn terjemahan saja ,kita harus memakai tafsir para ulama yang ahli dibidangnya
1. tentang hadist yang akhi kemukakan
:“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami di atasnya maka amalan itu tertolak”.
teks hadist tsb :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
terjemah yang seharusnya :
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”.

kenapa demikian :
Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai “laysa ‘alaihi amrunaa” dengan arti “yang tidak ada perintah kami atasnya”. Kata “amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara – ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf “‘alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”. Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat “amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat “amrunaa ‘alaihi” atau “‘alaihi amrunaa” amat janggal bila diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata “amara” lebih tepat diiringi huruf “bi” (dengan), seperti firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-’adli” (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).Kata amr pada “amrunaa” di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”Seandainya pun kata “amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan “ yang tidak ada perintah kami atasnya “
jadi amal yang tidak sesuai / bertentangan dgn agama islam lah yang tertolak

Al muhibbin mengatakan...

2.mengenai hadist yang akh kemukakan ;Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:”Sesungguhnya sebenar-benar perkataan ialah KITAB ALLAH,dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk MUHAMMAD,dan sejelek-jelek perkara itu yg diada-adakan,dan tiap-tiap yg diadakan itu BID’AH,dan tiap-tiap BID’AH itu SESAT,dan tiap-tiap kesesatan itu di NERAKA)”

Imam Nawawi menjelaskan/mensyarah bahwa kalimat ”kull”yang ada pada redaksi hadits tidaklah menjadikan seluruh bid`ah sesat, akan tetapi maknanya kebanyakan bid`ah adalah sesat. Imam Nawawi juga memaparkan perkataan ulama yang membagi bid`ah sama dengan hukum taklify yang 5; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

Imam Nawawi mengomentari hadits ini:

“Sabda Nabi Saw “dan setiap bid`ah adalah sesat” ini, merupakan bentuk umum yang dikhususkan. Dan yang dimaksudkan di dalam hadits adalah mayoritas (kebanyakan) dari bid`ah. Menurut para ahli bahasa: bid`ah dimaksudkan untuk setiap amalan yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Para ulama mengatakan: bid`ah itu terbagi kepada 5 macam;

1. Wajib,
2. Sunnah,
3. Haram,
4. Makruh dan
5. Mubah.

Diantara contoh bid`ah yang wajib: Upaya pengonsepan dalil logika, yang dilakukan oleh para ulama ahli kalam, untuk membantah para atheis, ahli bid`ah, dan orang-orang yang setipe dengan mereka.

Diantara contoh bid`ah yang sunnah: Menulis kitab-kitab ilmiah, membangun madrasah-madrasah, membuat majlis zikir, dan hal-hal seperti itu.

Diantara contoh bid`ah yang mubah: Berkreasi dalam mengolah warna makanan dan yang sejenis itu.

Sementara bid`ah yang haram dan yang makruh sudah jelas.

Apabila dipahami apa yang aku disebutkan, maka akan diketahui bahwa hadits ini adalah hadits umum yang dikhususkan. Beghitu juga dengan hadits-hadits yang semisal dengan yang diriwayatkan ini. Hadits-hadits seperti ini dikuatkan oleh perkataan Sayyidina Umar: “ni`mat al bid`ah”, sebaik-baiknya bid`ah adalah ini. Dan tidak ada halangan bentuk hadits umum yang bisa dikhususkan karena Sabda Rasul saw: كل بدعة ضلالة” setiap bid`ah adalah sesat” yang dikuatkan dengan kalimat كل “kull” (seluruh). Akan tetapi (kull ini) dimasuki oleh takhshish. Seperti firman Allah:”Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.(QS: Al Ahqaaf: 25)”"…------- selesai ucapan imam Nawawi.


Al muhibbin mengatakan...

senada dengan imam nawawi:
1. Menurut Imam Syafii
…“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama sesuatu yang baru yg menyalahi Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dlolalah. Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela (bid’ah hasanah).“ (Kitab Manaqib Syafii, karya Imam Baihaqi juz 1 hal. 469)
2. Menurut Imam Ibn Abdilbarr (seorang hafidz {hafal lebih dari 400 ribu hadits} dan faqih dari Madzhab Maliki)
“Adapun perkataan Umar, sebaik-baik bid’ah, maka bid’ah berdasar lisan arab (bahasa arab) adalah menciptakan dan memulai sesuatu yang belum pernah ada. Maka apabila bid’ah tersebut dalam masalah agama menyalahi sunnah yang telah berlaku, maka itu bid’ah yang tidak baik, wajib mencela dan melarangnya, menyuruh menjauhinya dan meninggalkan pelakunya apabila telah jelas keburukan alirannya. Sedangkan bid’ah yang tidak menyalahi syari’at dan sunnah, maka itu (termasuk) sebaik-baik bid’ah (bid’ah hasanah) (Kitab al-Istidzkaar juz 5 hal. 152)

sedangkan menurut ilmu nahwu :
silahkan dibaca disini
http://mutiarazuhud.wordpress.com/tag/kullu-bidatin-dholalah/

maka bid`ah yang bertentangan ajaran islam adalah dholalah (sesat), sedangkan bid`ah yang sejalan dengan ajaran islam (berpahala)
ini sejalan dengan sabda nabi:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
رواه مسلم

“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai(mensunnahkan)perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai(mensunnahkan)perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017])

Al muhibbin mengatakan...

maaf sekali lagi kita tidak dapat menafsirkan alquran atau hadist hanya dengan terjemah saja

sebagai ilustrasi :
seorang missionaris membawa alkitab (bible) dia membaca Qs albaqarah ayat 2
ذالك الكتاب لاريب فيه هدي للمتقين

[Itulah al-Kitab (yang) tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang bertaqwa].

kemudian sang misionaris berkata: lihatlah alqur`an saja mengatakan alkitab ini (bible)tidak ada keraguan didalamnya,mengapa kalian masih meragukannya?

kira2 cara memaknai sang misionaris benar tdak ?
jawabnya pasti tidak

maka dari itu kita memerlukan para ulama yang ahli di bidangnya untuk memaknai alqur`an maupun sunnah
semoga Allah selalu memberi kita hidayah dan taufik

wassalam