Shahih Hadis Tawassul Malik Ad Daar : Jawaban Atas Tuduhan Malik Ad Daar Majhul
SUMBER TULISAN: secondprince.wordpress.comPenulis: J Algar
Analisis Majhulnya Malik Ad Daar
Dalam tulisan saya yang lalu saya telah menolak predikat majhul yang disematkan kepada Malik Ad Daar
yang kemudian ditanggapi oleh saudara penulis sebagai kekurangcermatan
saya. Saya akan memulai penjelasan saya dengan tanggapan terhadap
pernyataan Syaikh Al Albani.
kebenaran kisah ini tidak dapat diterima, karena Maalik Ad-Daar ini tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hafalannya. Sedangkan dua persyaratan ini sangat esensial di dalam setiap sanad yang shahih, sebagaimana ditetapkan di dalam ilmu Mushthalah Hadiits.
Akan ditunjukkan nanti bahwa Syaikh keliru, cukuplah disini saya katakan bahwa orang yang dituduh Syaikh Al Albani kalau bukan seorang tabiin senior maka ia adalah sahabat Nabi. Dan
telah jelas bahwa menurut salafy sendiri sahabat dan tabiin senior
adalah manusia yang paling baik. Jadi kesaksian mereka jauh lebih baik
dari orang setelah mereka, begitukah?
Ibnu Abi Haatim telah meriwayatkan di dalam Al-Jarh wat-Ta’dil (4/213) dan dia tidak menyebutkan perawi darinya selain Abu Shaalih ini. Hal ini mengisyaratkan bahwa dia majhul. Ibnu Abi Haatim sendiri, sebagai orang yang kuat hapalannya dan luas telaahannya, mendukungnya dengan tidak menceritakan adanya penguatan (tautsiq) padanya. Dengan demikian, maka tetaplah ia atas ke-majhul-annya.
Satu hal yang pasti Ibnu Abi Hatim
sendiri sedikitpun tidak menyatakan kalau Malik adalah majhul dan tidak
saya ketahui ada dari kalangan ulama terdahulu yang mengatakan kalau
Malik adalah majhul, merujuk pada ulama-ulama yang saya kutip sebelumnya
yaitu, Ibnu Sa’ad, Bukhari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Hibban,
Ahmad bin Hanbal, Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tidak satupun diantara
mereka mengatakan Malik majhul. Pernyataan Syaikh bahwa yang
meriwayatkan dari Malik hanya Abu Shalih telah jelas kekeliruannya.
Ini tidak bertentangan dengan perkataan Al-Haafidh : “….dengan riwayat shahih dari Abu Shaalih As-Samaan…”, karena kami berpendapat bahwa perkataan ini tidak berarti menshahihkan semua sanadnya, tetapi hanya sampai Abu Shaalih saja.
Itu adalah pendapat Syaikh yang lebih
didasarkan atas pikiran dan asumsi Syaikh sendiri yang tidak
menginginkan Ibnu Hajar menjadi orang yang berseberangan dengan Syaikh.
Jika tidak demikian, tentu dia tidak akan memulai isnad itu dari Abu Shaalih, dan tentu dia akan langsung mengatakan : “Dari Maalik Ad-Daar, dan sanadnya shahih”. Tetapi dia sengaja berbuat demikian untuk meminta perhatian bahwa di situ ada sesuatu yang harus diperhatikan. Para ulama melakukan hal ini karena beberapa kemungkinan. Antara lain, boleh jadi mereka tidak mendapatkan biografi sebagian perawi, hingga karenanya mereka tidak berani membuang semua sanadnya, mengingat adanya keraguan tentang keshahihannya, terutama ketika digunakan sebagai dalil; tetapi mereka menyebutkan sebagian perawi yang menjadi tempat keraguan tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh Al-Haafidh di dalam hadits ini. Seolah ia mengisyaratkan kebersendirian Abu Shaalih As-Sammaan dari Maalik Ad-Daar, sebagaimana dikutip dari Ibnu Abi Haatim. Dengan demikian, ia menunjuk kepada wajibnya melakukan pemeriksaan terhadap Maalik Ad-Daar ini, atau mengisyaratkan ke-majhul-annya.
Bagi saya pribadi kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. Ibnu Hajar telah dengan jelas menshahihkan hadis Malik dalam Fath Al Bari,
tidak ada sedikitpun Ibnu Hajar meminta perhatian atas sanadnya atau
mengisyaratkan keraguan pada sanadnya. Beliau berhujjah dengan hadis
Malik bahkan menambahkan keterangan Saif terhadap hadis tersebut.
Apalagi kalau dikatakan tidak mendapat keterangan biografi, hal ini
sangat jauh terjadi pada Ibnu Hajar mengingat ia sendiri telah
menuliskan biografi Malik dalam Al Ishabah. Jadi semua
penjelasan Syaikh hanyalah dalih agar Ibnu Hajar tidak berada pada sisi
yang berseberangan dengan syaikh, itulah yang tampak dengan jelas.
Ilmu yang menyangkut masalah ini sedimikian rumitnya, sehingga hanya diketahui oleh orang yang menekuninya. Pendapat Penulis (Asy-Syaikh Al-Albani) ini dikuatkan oleh Al-Haafidh Al-Mundziriy yang menyebutkan di dalam At-Targhiib (2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar. Kemudian ia berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayatkannya dalam Al-Kabiir. Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [At-Tawassul, Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 118-119].
Memang betul ilmu ini sedemikian rumitnya sehingga terkadang Syaikh tidak menyadari kalau di lain waktu ia telah menghasankan hadis Malik Ad Daar. Dan bagaimana bisa Syaikh menjadikan pernyataan Al Hafiz Al Munziri sebagai penguat bagi Syaikh. Al Munziri mengatakan ia tidak mengetahui siapa Malik,
setidaknya itu yang beliau katakan. Bagi saya itu seperti Al Munziri
tidak menemukan keterangan yang menjelaskan siapa Malik dan tentunya ini
berbeda jauh dengan penjelasan panjang Syaikh yang telah menukil
keterangan Ibnu Abi Hatim tentang Malik. (sekian tanggapan untuk Syaikh)
.
.
Anda mengatakan kalau saya tidak tahu
antara majhul dan mubham, tuduhan yang menurut saya aneh. Bagi saya
sepertinya Syaikh Albani juga tidak bisa membedakan apa yang dimaksud
oleh Al Munziri “aku tidak mengetahuinya” dengan anggapannya sendiri akan majhulnya Malik Ad Daar. Padahal terkesan apa yang dikatakan Munziri lebih ke arah “ia tidak mengenalnya”. Al Munziri mengatakan kalau ia tidak tahu siapa Malik sedangkan Syaikh mengatakan Malik majhul. Rasanya beda. Jadi bagaimana bisa Al Munziri menguatkan Syaikh.
Anda juga berpanjang-panjang menjelaskan soal majhul dan yang lainnya bahkan anda menegaskan bahwa yang dimaksud majhul Syaikh adalah tidak adanya tautsiq, hal yang justru memperkuat kontras antara Syaikh dan Al Munziri.
Anda juga berpanjang-panjang menjelaskan soal majhul dan yang lainnya bahkan anda menegaskan bahwa yang dimaksud majhul Syaikh adalah tidak adanya tautsiq, hal yang justru memperkuat kontras antara Syaikh dan Al Munziri.
Ketidakpahaman akan peristilahan inilah yang banyak mengakibatkan Anda terjatuh dalam beberapa kesalahan. Sekarang saya bertanya kepada Anda dari beberapa nukilan Anda yang cukup “banyak” di atas : “Apakah di dalamnya ada penegasan tautsiq atas Maalik Ad-Daar ?”. Jawablah dengan jujur. Bila saya lihat sebatas dari nukilan Anda, maka perawi yang meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Jika demikian, maka status Maalik ini adalah majhul ‘ain.
Saya tidak akan memusingkan
tuduhan-tuduhan anda, silakan saja. Mengenai tautsiq terhadap Malik maka
saya katakan ada, karena bagi saya tautsiq tidak hanya terbatas pada
tsiqat atau shaduq semata.
- Pernyataan Ibnu Sa’ad “wa kana ma’ruf” itu bernilai tautsiq
- Pernyataan Al Khalili “muttafaqu alaih” itu bernilai tautsiq
- Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat adalah taustiq (hal yang anda tolak dengan alasan yang tidak pada tempatnya)
Dalam kitab Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 56/491 terdapat penukilan dari Muawiyah
bin Salih yang berkata telah mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan Malik
Ad Daar maula Umar bin Khattab termasuk tabiin dan muhaddis Madinah,
hal yang menurut saya juga bernilai tautsiq. Ada banyak cara untuk
menetapkan tautsiqnya Malik Ad Daar, kedudukannya sendiri sebagai
seorang tabiin senior (walaupun ada kemungkinan dia Sahabat) dan sebagai orang yang dipercaya oleh dua khalifah Umar RA dan Usman RA atau sebagai bendahara Umar yang merupakan indikasi kalau khalifah Umar mengakui kejujurannya,
bagi saya bernilai tautsiq. Hal ini ditambah lagi dengan pernyataan
kedua ulama Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir yang menshahihkan hadis Malik,
dan sebagaimana dipahami bahwa penshahihan suatu sanad adalah tautsiq
terhadap para perawinya. Jadi bagi saya dalam pandangan Ibnu Hajar dan
Ibnu Katsir, Malik adalah tsiqat.
.
.
Metode Ibnu Hajar Dalam At Taqrib Membuktikan Tautsiq Malik
Ibnu Hajar adalah penulis kitab Tahdzib At Tahdzib dan Taqrib At Tahdzib, kedua karyanya ini walaupun sama-sama tentang perawi hadis memiliki perbedaan. Kitab At Tahdzib memuat kumpulan berbagai pendapat ulama jarh maupun ta’dil terhadap perawi sedangkan kitab At Taqrib memuat apa pendapat Ibnu Hajar sendiri tentang perawi tersebut. Dengan melihat keadaan perawi dalam At Tahzib dan melihat apa pendapat Ibnu Hajar dalam At Taqrib saya menemukan kenyataan bahwa perawi seperti Malik Ad Daar akan mendapat predikat tautsiq oleh Ibnu Hajar jika saja ia merawikan hadis dalam Kutub As Sittah.
Untuk membuktikan ini saya akan menunjukkan perawi kutub as sittah yang memiliki keadaan sama persis dengan Malik Ad Daar yaitu Syarik bin Hanbal. Syarik bin Hanbal dalam At Tahdzib juz 4 no 585 disebutkan hanya ada dua tautsiq pada Syarik
- Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat
- Ibnu Sa’ad mengatakan “kana ma’ruf” dan sedikit hadisnya
Kemudian saya juga menelusuri apa pendapat Ibnu Abi Hatim dan Al Bukhari mengenai Syarik bin Hanbal. Dalam Al Jarh Wat Ta’dil 4/364 no 1593, Ibnu Abi Hatim tidak mengemukakan jarh maupun ta’dil padanya. Dalam Tarikh Al Kabir juz
4 no 2648 Bukhari juga tidak mengemukakan jarh maupun ta’dil padanya.
Ini pun keadaannya sama dengan Malik Ad Daar selain itu Syarik bin
Hanbal diperselisihkan apakah ia tabiin atau shahabat (yang rajih adalah tabiin)
hal yang setidaknya juga terjadi pada Malik. Kemudian baik Ibnu Hajar,
Ibnu Abi Hatim dan Bukhari menegaskan hanya ada dua perawi yang
meriwayatkan darinya yaitu
- Abu Ishaq As Sabi’i
- Umair bin Tamim Ats Tsa’labi
Hal yang juga tidak jauh berbeda dari Malik Ad Daar (telah meriwayatkan darinya dua perawi tsiqah, yang akan ditunjukkan nanti)
Kemudian apa keputusan Ibnu Hajar dalam At Taqrib, dapat dilihat dalam At Taqrib 1/417, Ibnu Hajar berkata “Tsiqat dan tidak tsabit kalau ia sahabat”. Jadi
perawi yang memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki Syarik adalah
orang yang mendapat predikat tsiqat oleh Ibnu Hajar. Sehingga dengan
metode Ibnu Hajar ini maka dalam pandangan Ibnu Hajar, Malik Ad Daar sudah pasti tsiqah dan hadisnya shahih.
Dengan dasar inilah saya menetapkan bahwa penshahihan Ibnu Hajar terhadap hadis Malik adalah tsabit dan benar bukan
seperti yang dipikirkan oleh Syaikh Al Albani yang lebih merupakan
andai-anda beliau sendiri terhadap Ibnu Hajar. Dari penjelasan ini juga
jika dikatakan Ibnu Hajar tidak menerima tautsiq Ibnu Hibban semata maka
saya anggap pernyataan Ibnu Sa’ad “kana ma’ruf” adalah tautsiq
dalam pandangan Ibnu Hajar yang dapat menjadi penguat bagi Ibnu Hibban,
oleh karena itu beliau menerima pernyataan Ibnu Hibban dan memberikan
predikat tsiqat pada Syarik. Dan jika kita melihat penilaian Adz Dzahabi
dalam Al Kasyf no 2274 maka beliau pun memberikan predikat pada Syarik yang tidak jauh berbeda dengan Ibnu Hajar.
.
Anda mengatakan
.
Anda mengatakan
Dari tiga orang di atas yang sudah jelas ada padanya tautsiq – sepanjang pengetahuan saya – hanyalah Abu Shaalih As-Sammaan. Adapun dua orang anak Maalik Ad-Daar, sampai saat ini dari buku biografi yang saya punya atau penjelasan dari para ulama yang saya ketahui – tidak ternukil biografinya secara jelas beserta tautsiq-nya.
Atas dasar ini, maka status ke-majhul-an Maalik Ad-Daar tidaklah bisa terangkat sehingga riwayatnya bisa diterima. Apalagi, Ibnu Abi Haatim dan Al-Mundziri telah menegaskan keghariban riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar ini. Saya persilakan bagi Anda jika mempunyai keterangan yang lebih dari ini…..
Sebenarnya ada empat perawi yang meriwayatkan dari Malik Ad Daar yaitu Abu Shalih As Saman, Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’, Aun bin Malik dan Abdullah bin Malik seperti yang disebutkan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 56/489 no 7180 dan Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam 5/224. Dan dua diantara mereka adalah tsiqah yaitu Abu Shalih dan Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/572 berkata
Ibnu Hajar dalam At Taqrib 1/572 berkata
عبد الرحمن بن سعيد بن يربوع المخزومي أبو محمد المدني ثقة
Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ Al Makhzumi Abu Muhammad Al Madani tsiqat
Nah saya kembalikan kepada anda penulis, apakah dengan ini status majhulnya terangkat? Saya sendiri tidak pernah beranggapan kalau Malik Ad Daar itu majhul dan Alhamdulillah tidak ada satupun dari kalangan ulama terdahulu yang menyatakan Malik majhul.
.
.
Nah saya kembalikan kepada anda penulis, apakah dengan ini status majhulnya terangkat? Saya sendiri tidak pernah beranggapan kalau Malik Ad Daar itu majhul dan Alhamdulillah tidak ada satupun dari kalangan ulama terdahulu yang menyatakan Malik majhul.
.
.
Kontradiksi Syaikh Al Albani
Hadis Malik Ad Daar dari Abdurrahman bin Sa’id bin Yarbu’ diriwayatkan dalam Mu’jam Al Kabir 20/33 dan hadis ini telah dinyatakan hasan mauquf oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib Wat Tarhib no 926 padahal disitu Al Munziri juga mengatakan tidak mengenal siapa Malik Ad Daar.
Jika memang kredibilitas Malik Ad Daar dipermasalahkan oleh Syaikh
kenapa disini Syaikh malah menghasankan hadisnya. Sedangkan mengenai
hadis Malik Ad Daar dari Abu Shalih beliau berpanjang-panjang
mendhaifkannya.
Anda berkata
Adapun tautsiq Ibnu Hibban kepada Maalik Ad-Daar dengan memasukkanya dalam kitab Ats-Tsiqaat, maka itu belum cukup sebagaimana telah saya tuliskan penjelasannya.
Bagi saya anda menempatkan perkara yang
tidak pada tempatnya. Berdasarkan nukilan anda baik dari Ibnu Hajar
maupun Ibnu Abdil Hadi maka penarikan kesimpulan yang benar adalah, jika
Ibnu Hibban memasukkan seorang perawi ke dalam Ats Tsiqat maka ada dua
kemungkinan
- Perawi tersebut benar-benar tsiqah
- Perawi tersebut seperti yang anda katakan majhul
Jadi dua kemungkinan di atas bisa saja
terjadi, dan dalam perkara Malik Ad Daar kemungkinan pertamalah yang
benar karena dua alasan
- Malik Ad Daar telah meriwayatkan darinya dua orang perawi tsiqah yaitu Abu Shalih dan Abdurrahman bin Sa’id
- Malik Ad Daar adalah dari golongan tabiin senior (itu jika anda tidak menyetujui kalau ia shahabat)
Ditambah lagi Al Bukhari dan Ibnu Abi
Hatim tidak memberikan jarh dan ta’dil pada Malik karena menurut
pembacaan yang saya dapati dalam Musnad Ahmad Syaikh Ahmad Syakir, telah
tsabit dari beliau bahwa Tautsiq Ibnu Hibban yang disertai penyebutan
Bukhari dalam Tarikhnya tanpa adanya cacat ataupun ta’dil maka
ditetapkan ta’dilnya. Salah satu contohnya adalah pada catatan kaki
hadis no 2248 Musnad Ahmad, Syaikh Ahmad Syakir menjelaskan tentang
salah seorang perawinya yaitu Abu Nahik, Syaikh Ahmad Syakir berkata
“Abu Nahik (dengan fathah pada nuun) adalah Al Azdi Al Farahidi sang ahli qira’ah, namanya dicantumkan dalam At Tahdzib pada bagian nama dan gelar (7/157 dan 12/259) karena ada perbedaan pada namanya. Dia seorang yang tsiqah, disebutkan Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat tetapi dikatakan tidak dikenal oleh Ibnu Qaththan dan yang lainnya. Hanya saja Al Bukhari mengenalnya, sehingga ia disebutkan pada bagian gelar no 721, dia berkata ”Abu Nahik mendengar dari Ibnu Abbas. Mereka yang meriwayatkan darinya adalah Qatadah, Hasan bin Waqid dan Ziiyad bin Sa’ad”. Keterangan ini cukup untuk menyatakannya dikenal dan menilainya tsiqah”
Imam Bukhari dalam Tarikh Al Kabir terkadang
menyebutkan biografi perawi hadis tanpa menyebutkan jarh maupun ta’dil
terhadap perawi itu tetapi di lain waktu beliau sendiri telah berhujjah
dengan perawi tersebut. Oleh karena itu penyebutan Bukhari dalam Al
Kabir tanpa jarh maupun ta’dil dapat menguatkan tautsiq Ibnu Hibban
seperti yang dipahami oleh Syaikh Ahmad Syakir di atas. Contoh untuk hal ini adalah Ishaq bin Ibrahim bin Nashr. Al Bukhari menyebutkan dalam Tarikh Al Kabir juz 1 no 1212 tanpa menyebutkan cacat dan ta’dilnya. Kemudian jika kita melihat biografi Ishaq dalam At Tahdzib
juz 1 no 409 hanya ada tautsiq Ibnu Hibban terhadapnya. Dalam kitab
biografi perawi hadis tidak ada keterangan lain tentang jarh maupun
ta’dil Ishaq kecuali dari Ibnu Hibban. Apakah dengan begini ia dianggap
majhul?. Jawabannya tidak karena Bukhari sendiri telah berhujjah dengan
hadis Ishaq di dalam Shahihnya dan Ibnu Hajar telah memberikan predikat
shaduq kepada Ishaq dalam At Taqrib 1/78.
.
.
.
.
Hujjah Malik Ad Daar Sahabat Nabi
Anda mengatakan
Alhamdulillah, saya mempunyai matan kitab tersebut. Namun perlu Anda ketahui bahwa dalam kitab tersebut hanya khusus termuat para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja. Saya kira ini ma’ruf. Contohnya : Silakan Anda buka nomor 346 yang terpampang nama Uwais Al-Qarniy, dan ia adalah Sayyidut-Tabi’in. Oleh karena itu, nama-nama dalam kitab ini perlu di-tahqiq kembali. Dan pentahqiqan dengan membagi thabaqat-thabaqah ini telah dilakukan oleh Ibnu Hajar yang memasukkan Malik Ad-Daar pada thabaqah ketiga dimana thabaqah ini bukan termasuk shahabat dengan kesepakat para ‘ulama. Anda tentu paham makna kesepakatan ulama di sini. Apalagi itu diperkuat oleh Al-Khaliliy sebagaimana telah Anda nukil.
Sepertinya anda ingin mengatakan kalau
kitab Adz Dzahabi tidak memuat khusus nama sahabat saja, oleh karenanya
anda membawakan contoh Uwais Al Qarniy. Bisakah anda bawakan contoh lain
selain Uwais karena bagi saya Uwais adalah orang yang hidup di masa
Nabi dan tidak bertemu Nabi SAW tetapi kredibilitasnya telah diakui oleh
Nabi SAW sendiri. Lagipula Adz Dzahabi ternyata tidak menyendiri dalam
mendudukkan Malik Ad Daar sebagai sahabat Nabi.
Anda hanya berhujjah dengan penempatan
thabaqah oleh Ibnu Hajar tetapi anda tidak melihat apa yang dikatakan
Ibnu Hajar sendiri dalam biografi Malik. Disitu Ibnu Hajar berkata “lahu idraak”.
Dengan merujuk pada perkataan Ibnu Hajar ini maka Malik bin Iyadh
memang hidup pada zaman Nabi dan mungkin sempat melihat Nabi SAW hanya
saja ia tidak meriwayatkan hadis Nabi SAW. Apakah orang yang tidak hidup
di zaman Nabi SAW bisa melihat Nabi SAW?. Malik Ad Daar bisa jadi
seorang sahabat Nabi tetapi tidak meriwayatkan satupun hadis dari Nabi
SAW, hal ini mungkin yang menguatkan ulama lain kalau Malik seorang
tabiin.
Baru-baru ini juga saya mendapati
keterangan bahwa salah satu murid Ibnu Hajar yaitu Ibnu Fahd Al Makki
juga memasukkan Malik bin Iyadh atau Malik Ad Daar kedalam kitabnya Mukhtasar Asma Sahabah tentang nama-nama para sahabat Nabi (silakan lihat di atas). Di sana Ibnu Fahd menyebutkan “Malik bin Iyadh mawla Umar meriwayatkan dari Abu Bakar Shiddiq dan meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman” . Yah bisa-bisa saja kalau anda berkata kitab inipun perlu ditahqiq lagi 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar