Shahih Hadis Tawassul Malik Ad Dar : Jawaban Atas Inqitha’ Abu Shalih Dari Malik Ad Daar
SUMBER TULISAN: secondprince.wordpress.comPenulis: J Algar
Ternyata tulisan “Analisis Hadis Tawasul” yang saya buat malas-malasan itu telah ditanggapi balik di Kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog.
Saya ucapkan terimakasih atas tanggapannya dan tentu tanpa mengurangi
rasa hormat saya dengan anda maka izinkanlah saya menyampaikan jawaban
untuk meluruskan apa yang saya anggap kekeliruan anda. Tulisan penulis tersebut adalah yang saya blockquote
Penulis awalnya mengatakan
Namun satu hal yang perlu menjadi kritik umum atas tulisan tersebut bahwasannya Penulis menyangka apa yang saya tulis adalah merupakan murni pen-dla’if-an dari Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah. Hal itu terlihat bahwa di awal Penulis memfokuskan pada diri Asy-Syaikh Al-Albani yang dikatakan telah mendapat sanggahan dari ‘Abdullah Shiddiq Al-Ghummariy dan Mahmud Sa’id Mamduh.
Ini keliru, Saya tidak pernah beranggapan
begitu, justru yang tersirat dalam tulisan saya adalah juga ditujukan
untuk ulama salafy lainnya. Jika anda masih ingat, tepat sebelum saya
membahas hadis Malik Ad Daar, saya mengatakan “Mengenai hadis Malik Ad Daar yang didhaifkan oleh para salafi maka kami katakan bahwa Salafi yang dalam hal ini dipimpin oleh Syaikh Al Albani telah melakukan kekeliruan”. Juga kata-kata saya yang ini “Para salafiyun diantaranya
Syaikh Al Albani telah mendhaifkan Hadis Malik Ad Daar. Mereka para
pengikut salafy berlomba-lomba untuk mendukung Syaikh Al Albani dari
kritikan para Ulama ahlussunnah seperti Syaikh Al Ghumari dan Syaikh
Mamduh”. Saya telah menggunakan kata salafy yang mencakup syaikh
Albani dan yang lainnya, mohon maaf jika anda kurang berkenan dengan
kata “salafy”. Langsung saja, karena anda sudah menyepakati
pembahasan saya tentang illat pertama maka saya akan langsung saja
membahas illat lainnya yang tetap anda pertahankan.
.
Inqitha’ Abu Shalih Dengan Malik Ad Daar
Saya awalnya mengatakan kalau Abu Shalih
telah meriwayatkan dari sahabat besar oleh karena itu tidak mustahil ia
meriwayatkan dari Malik Ad Daar. Kemudian anda menanggapi dengan
perkataan
Perkataan ini layak untuk diberikan komentar. Pernyataan bahwa Abu Shaalih meriwayatkan dari sebagian shahabat sebagaimana di atas tidaklah selalu berkonsekuensi terhadap pertemuan ataupun simaa’ (mendengar riwayat – yang menunjukkan bersambungnya riwayat). Dalam ilmu hadits jelas beda antara istilah riwayah dengan simaa’.
Tentu saya tahu bedanya, dan lengkapnya adalah seperti ini. Periwayatan memiliki dua kemungkinan
- Kemungkinan pertama menunjukkan adanya pertemuan dan penyimakan kemudian
- Kemungkinan kedua adalah seperti yang anda katakan “tidak selalu berkonsekuensi pertemuan” yang bisa berarti mursal atau mudallis.
Bagaimana menentukan kemungkinan yang
dimaksud dalam periwayatan? Jika anda bertanya bagaimana memastikan
penyimakan? Maka saya jawab kita tidak akan bisa memastikan penyimakan
atau pertemuan langsung tetapi kita bisa melakukan pendekatan yaitu jika
seorang perawi dengan tegas mengatakan sima’ langsung seperti akhbarana atau haddatsana maka ini merupakan bukti kuat (walaupun ternyata ada juga kasus yang menunjukkan tidak, contohnya hadis Az Zuhri dari Rabi’ah bin Darraj dalam Musnad Ahmad).
Masalahnya tidak semua perawi dalam meriwayatkan hadis menggunakan
lafal sima’ langsung, banyak juga diantaranya menggunakan lafal ‘an (dari) yang disebut hadis mu’anan, permasalahan ini telah dibahas oleh para Ulama bahwa hadis dengan lafal ‘an diterima sebagai penyimakan dengan syarat
- Perawi-perawi tersebut dimungkinkan untuk bertemu
- Perawi tersebut bukan mudallis (ini pun ternyata ada perincian)
Kemudian jika ternyata ada ulama rijal yang menolak penyimakan tersebut (merujuk pada mursal khafy)
biasanya dengan mengatakan si A tidak bertemu dengan si B atau si A
tidak meriwayatkan hadis dari si C walaupun kedua perawi tersebut dalam
satu masa maka ini harus dipertimbangkan dan dianalisis mana yang lebih
rajih, pernyataan ulama tersebut atau malah sebenarnya ulama tersebut
keliru (adanya sima’ langsung bisa membuktikan bahwa ulama itu keliru).
Kembali ke kasus hadis Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Telah disebutkan bahwa Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar seperti yang disebutkan dalam Al Ishabah 6/274 no 8362 telah dipercaya oleh kedua khalifah yaitu khalifah Umar RA dan khalifah Utsman RA sehingga ia dinamakan Malik Ad Daar (nama
sebenarnya adalah Malik bin Iyadh dan gelar tersebut didapat setelah ia
dipercaya oleh kedua khalifah tersebut, berdasarkan kutipan Abu
Ubaidah). Artinya Malik Ad Daar masih hidup pada zaman khalifah
Utsman RA sehingga dengan dasar ini kita dapat mengatakan kalau Abu
Shalih bisa bertemu dengan Malik Ad Daar ditambah lagi Abu Shalih telah
meriwayatkan dari Sahabat Nabi yang lain. Jadi kemungkinan ia bertemu
dengan sahabat Nabi termasuk Malik Ad Daar bisa diterima.
Kalau Anda mengatakan
Perkataan Penulis : “sehingga Abu Shalih dan Malik berada dalam satu masa” tidaklah berarti apa-apa karena tidak bisa dipastikan kapan wafatnya Maalik Ad-Daar sehingga dengan itu tidak dapat dipastikan apakah ia benar-benar semasa dan bertemu yang memungkinkan menerima meriwayatkan hadits darinya. Ini sebenarnya sangat jelas bagi seorang pemula sekalipun (seperti saya).
Terdapat keterangan kalau Malik masih
hidup pada zaman khalifah Utsman RA dan Abu Shalih lahir pada masa
khalifah Umar jadi masih memungkinkan untuk terjadi pertemuan. Justru
pertanyaannya adalah bagaimana anda bisa memastikan terjadinya inqitha’
jika anda sendiri maaf tidak tahu tahun wafatnya Malik.
Lantas bagaimana bisa Anda menganggap remeh permasalahan tidak diketahuinya tahun wafat Maalik Ad-Daar ? Dari mana Anda bisa memastikan pertemuan – sekaligus penyimakan – antara Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar ? Persyaratan Al-Imam Muslim bahwa riwayat seorang perawi diterima jika ia hidup semasa dengan syaikhnya juga wajib diterapkan dengan mengetahui tahun lahir atau tahun wafatnya. Bukan secara membabi-buta yang menghasilkan banyak kemungkinan seperti Anda.
Tidak ada yang menganggap remeh, namun
saya tidak begitu naïf untuk memaksakan secara pasti hal yang tidak bisa
dipastikan. Persyaratan Imam Muslim itu berkaitan dengan dimungkinkan
adanya pertemuan, seandainya tidak ditemukan keterangan tahun wafat
Malik kita dapat memanfaatkan keterangan lain seperti tahun lahir dan
peristiwa sejarah lainnya. Kita melakukan pendekatan yang bisa kita
lakukan dan maaf tidak membabi-buta untuk mencari berbagai kemungkinan
untuk melemahkan. Telah berlalu penjelasan saya bahwa Abu Shalih bukan
seorang mudallis artinya jika ia meriwayatkan hadis dengan kata dari
maka hadisnya dapat diterima.
Ketika saya mengatakan seperti itu anda malah menanggapi dengan perkataan
Saya katakan : Penetapan Anda bahwa Abu Shaalih meriwayatkan dari Maalik Ad-Daar ini masih sangat umum, dan tidak menutup kemungkinan bahwa terjadi inqitha’ antara keduanya – sebagaimana telah lewat satu contohnya. Tidak ada kesaksian apapun dari Abu Shaalih yang mengindikasikan secara jelas ia bertemu dan menyimak hadits dari Maalik.
Pernyataan umum bisa diterima jika tidak
ada bukti kuat yang mengkhususkan. Bicara soal kemungkinan, bagaimana
caranya anda menetapkan inqitha’?. Apakah anda bisa memastikan
inqitha’?. Seandainya juga anda mengetahui tahun lahir dan tahun wafat
perawi, apakah anda bisa memastikan tidak ada inqitha’?. Bukankah bisa
saja perawi itu tidak bertemu langsung? Kalau memang begitu maka
kriteria Imam Muslim itu sendiri tidak lepas dari kemungkinan inqitha’.
Jadi kemungkinan selalu bisa dicari-cari. Yang benar adalah jika kedua
perawi dimungkinkan bertemu maka petunjuk inqitha’ diterima dengan
adanya keterangan ulama yang menjelaskan tentang inqitha’nya sanad kedua
perawi tersebut. Inipun juga masih perlu dianalisis dengan keterangan
lainnya apakah benar, tidak ada ulama lain yang menyangkal inqitha’
tersebut atau ada bukti jelas sima’ langsung yang menggugurkan
keterangan ulama yang menyatakan inqitha’. Saya kira kita sepakat bahwa
intinya adalah merujuk pada keterangan Ulama hadis seperti contoh yang
anda bawakan berkenaan dengan mursal khafy dan sebagainya itu, bukankah
penerapan mursal khafy murni dari keterangan para Ulama.
Kembali pada permasalahan awal, bagaimana Anda bisa memastikan bahwa Abu Shaalih pernah bertemu dengan Maalik Ad-Daar dan mendengar hadits darinya ? dengan qarinah apa ?
Anehnya anda membalik permasalahan yang
sudah jelas dan bersikap seolah-olah saya yang tidak jelas dan anda pada
posisi jelas. Qarinahnya sudah saya sebutkan yaitu kemungkinan
pertemuan Abu Shalih dan Malik kemudian kesaksian Abu Shalih sendiri (yang menurut anggapan anda masih belum cukup kuat).
Tetapi perhatikan kemungkinan saya masih lebih kuat dari kemungkinan
anda yang menduga adanya inqitha’. Bagaimana bisa anda memastikan adanya
inqitha’? bukankah anda sendiri tidak tahu tahun wafatnya Malik? Dengan
qarinah apa anda memastikan inqitha’.
Saya katakan : Nampaknya Anda tidak memahami ta’lil kami atas riwayat tersebut. Ta’lil kami atas riwayat tersebut karena adanya inqithaa’. Bukan karena tadlis. Jelas beda antara keduanya bagi siapa yang mengetahui ilmu hadits – saya harap Anda salah satu diantaranya.
Saya paham, dan argumen saya soal tadlis
adalah untuk menguatkan kesaksian Abu Shalih sendiri. Jika Abu Shalih
yang terkenal tsiqat membawakan hadis dimana ia mengatakan hadis
tersebut dari Malik maka tidak ada alasan untuk meragukannya kecuali ada
bukti jelas yang menunjukkan sebaliknya. Semoga anda paham maksud saya.
Saya katakan : Nampaknya Anda kurang cermat dalam memberikan tanggapan. Akan saya ulangi apa yang pernah saya tuliskan :
Perkataan Al-Khaliiliy “dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” mengandung satu faedah bahwa penyimakan Abu Shaalih bin As-Sammaan tidaklah ma’ruf di kalangan muhadditsiin.
Dalil yang mengandung kemungkinan yang masing-masing tidak dapat diambil mana yang rajih (kuat) menyebabkan dalil tersebut tidak bisa dipakai untuk berdalil.“
‘Illat yang ditegaskan di sini bahwasannya penyimakan Abu Shalih dari Malik Ad-Daar tidaklah masyhur. Apabila masyhur, tentu tidak ternukil pendapat bahwa Abu Shaalih meng-irsal-kan hadits dari Maalik Ad-Daar. Apalagi mengingat kenyataan bahwa Abu Shaalih ini telah meng-irsal-kan riwayat dari beberapa orang seperti Abu Bakr, ‘Ali bin Abi Thaalib, dll.
Pernyataan anda patut diberikan komentar. Perkataan Al Khalilii “ada yang mengatakan bahwa ia telah mengirsalkannya” tidak memiliki faedah seperti yang anda katakan bahwa penyimakan Abu Shalih tidaklah ma’ruf di kalangan muhaddis. Perkataan ini adalah kesimpulan terburu-buru anda. Apalagi anda mengatakan bahwasanya penyimakan Abu Shalih tidak masyhur. Lantas apakah inqitha’ Abu Shalih dari Malik itu sendiri adalah sesuatu yang masyhur di kalangan muhaddis. Kami tidak menemukan satupun ulama hadis yang mengatakan adanya inqitha’ Abu Shalih As Saman dari Malik kecuali
dari keterangan Al Khalili, itu pun juga Al Khalili tidak menyebutkan
dengan jelas siapa yang mengatakan, ditambah lagi sebelumnya Al Khalili
mengutip perkataan bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik. Bukankah justru yang benar adalah inqitha’ Abu Shalih dari Malik bukanlah sesuatu yang masyhur di kalangan muhaddisin karena jika masyhur maka pasti ada banyak keterangan ulama yang menyatakan inqitha’ tersebut (minimal jelas siapa yang berkata begitu). Inilah yang saya maksud salafy berhujjah dengan nukilan terakhir Al Khalili saja.
Bukti akan hal ini kami kutip dari keterangan para Ulama yang menyebutkan biografi Malik Ad Daar. Mereka semua menyebutkan bahwa
Abu Shalih meriwayatkan dari Malik Ad Daar dan tidak ada satupun dari
mereka menyatakan inqitha’ hadis Abu Shalih dari Malik.
Ibnu Hajar dalam Al Ishabah 6/274 no 8362
مالك
بن عياض مولى عمر هو الذي يقال له مالك الدار له إدراك وسمع من أبي بكر
الصديق وروى عن الشيخين ومعاذ وأبي عبيدة روى عنه أبو صالح السمان وابناه
عون وعبد الله ابنا مالك
Malik bin Iyadh mawla Umar , ia juga
dikatakan Malik Ad Daar, lahu idraak dan mendengar dari Abu Bakar
Shiddiq meriwayatkan dari Syaikhan, Muadz, Abu Ubaidah, meriwayatkan
darinya Abu Shalih As Saman dan kedua putranya Aun bin Malik dan
Abdullah bin Malik
Ibnu Abi Hatim dalam Al Jarh Wat Ta’dil 8/213 no 944
مالك بن عياض مولى عمربن الخطاب روى عن ابى بكر الصديق وعمر بن الخطاب رضى الله عنهما روى عنه. أبو صالح السمان سمعت ابى يقول ذلك
Malik bin Iyadh mawla Umar bin
Khattab, meriwayatkan dari Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab RA,
meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, aku mendengar ayahku berkata
demikian.
Ibnu Saad dalam Thabaqat Al Kubra 5/12
وروى مالك الدار عن أبي بكر الصديق وعمر رحمهما الله روى عنه أبو صالح السمان وكان معروفا
Malik Ad Daar meriwayatkan dari Abu Bakar Shiddiq dan Umar dan meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, dan ia dikenal.
Ibnu Hibban dalam Ats Tsiqat 5/384 no 5312
مالك بن عياض الدار يروى عن عمر بن الخطاب روى عنه أبو صالح السمان
Malik bin Iyadh Ad Daar meriwayatkan dari Umar bin Khattab, meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman.
Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 56/489 no 7180
سمع
أبا بكر الصديق وعمر بن الخطاب وأبا عبيدة بن الجراح ومعاذ بن جبل وروى
عنه أبو صالح السمان وعبد الرحمن بن سعيد بن يربوع وابناه عون بن مالك وعبد
الله بن مالك
Mendengar dari Abu Bakar Shiddiq,
Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan Muadz bin Jabal dan
meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman, Abdurrahman bin Sa’id bin
Yarbu’ dan kedua putranya Aun bin Malik dan Abdullah bin Malik.
Ahmad bin Hanbal dalam Al Ilal Ma’rifatur Rijal juz 1 no 464
ومالك الدار روى عنه أبو صالح السمان
Dan Malik Ad Daar, meriwayatkan darinya Abu Shalih As Saman.
Adz Dzahabi dalam Tarikh Al Islam 5/224
( (مالك بن عياض المدني يعرف بمالك الدار.) سمع:
أبا بكر، وعمر، ومعاذ بن جبل.) روى عنه: ابناه عون، وعبد الله، وأبو صالح
السمان، وعبد الرحمن بن سعيد بن يربوع. وكان خازناً لعمر رضي الله عنه
Malik bin Iyadh Al Madani yang
dikenal Malik Ad Daar mendengar dari Abu Bakar, Umar dan Muadz bin
Jabal, meriwayatkan darinya kedua putranya Aun dan Abdullah, Abu Shalih
As Saman dan Abdurrahman bin Said bin Yarbu’, dan dia bendahara Umar RA.
Perhatikan dari ketujuh Ulama di atas tidak ada satupun yang mengatakan adanya inqitha’ riwayat Abu Shalih dari Malik. Hal ini menunjukkan bahwa inqitha’ tersebut tidaklah dikenal di kalangan muhaddis. Al Bukhari dalam Tarikh Al Kabir juz 7 no 1295 juga membawakan riwayat Abu Shalih dari Malik Ad Daar dalam biografi Malik bin Iyadh dan beliau sedikitpun tidak memberikan penjelasan akan cacat inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar. Abu Hatim yang terkenal keluasan ilmu ilal hadis juga tidak sedikitpun menjelaskan inqitha’, beliau menetapkan periwayatan Abu Shalih dari Malik tanpa komentar inqitha’. Bahkan dalam kitab Ilal Ahmad bin Hanbal, beliau malah menegaskan Abu Shalih meriwayatkan dari Malik tanpa menyebutkan adanya ilat inqitha. Sepertinya cacat inqitha’ tersebut tidak dikenal di kalangan muhaddis.
Kalau memang ada inqitha’ mengapa tidak disebutkan oleh ulama-ulama di atas. Saya juga menelusuri kitab Al Marasil dan Al Ilal, hasilnya tidak saya temukan adanya penjelasan inqitha’ Abu Shalih dari Malik (setidaknya itu sebatas usaha saya). Kalau anda mengatakan nukilan-nukilan
saya di atas tidak ada gunanya karena hanya menyebut periwayatan tanpa
penyimakan dan tidak menutup adanya inqitha’ maka saya katakan, perkataan
anda itulah yang tidak ada gunanya, anda hanya menduga-duga adanya
inqitha’ dan dugaan tersebut hanya didasari oleh pernyataan Khalili yang
juga tidak jelas siapa yang mengatakan. Lagipula Al Khalili dengan jelas juga menukil perkataan bahwa Abu Shalih mendengar hadis ini dari Malik As Saman. Dengan melihat nukilan AlKhalili ini (sima’ langsung Abu Shalih mendengar dari Malik) ditambah lagi dengan kenyataan tidak ada satupun ulama lain yang menyatakan inqitha’ Abu Shalih dari Malik bahkan mereka menegaskan periwayatannya maka kemungkinan Abu Shalih mendengar dari Malik adalah kemungkinan yang lebih rajih.
Mengenai pernyataan anda kalau Abu Shalih telah mengirsalkan dari Abu Bakar dan Ali maka saya katakan itu tidak menguatkan hujjah anda, pernyataan irsal dari Abu Bakar dan Ali memang telah disebutkan oleh Abu Zar’ah dan Abu Said Al Ala’iy (pendapat ini jelas tidak berupa kabar “ada yang mengatakan”). Irsal Abu Shalih dari Abu Bakar telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam At Tahdzib,
ini malah memperkuat bahwa ketika ada irsal maka Ibnu Hajar akan
menyebutkannya, jadi jika ia tidak menyebutkan irsal Abu Shalih dari
Malik maka sejauh pengetahuannya itu tidaklah mursal. Riwayat mursal Abu Shalih dari Abu Bakar jelas terbukti kuat karena Abu Shalih tidak bertemu Abu Bakar, ia lahir setelah wafat Abu Bakar. Sedangkan irsal Abu Shalih dari Ali bersifat mursal khafy
jika memang tidak ada bukti yang menguatkan sebaliknya maka pernyataan
irsal Abu Shalih dari Ali bisa diterima. Dan pernyataan mursal khafy
dari Ali tidaklah mengganggu sedikipun riwayat Abu Shalih dari sahabat
lain. Prinsipnya adalah kita menetapkan periwayatan selagi tidak ada
bukti jelas kalau itu mursal. Apakah dengan adanya mursal khafy Abu
Shalih dari Ali anda juga akan meragukan hadis Abu Shalih dari sahabat
lain seperti Abu Sa’id, Abu Darda, Abu Hurairah?. Walaupun anda
mengetahui tahun lahir dan tahun wafat sahabat-sahabat tersebut itu
tidak menutup kemungkinan terjadinya mursal khafy Abu Shalih.
Ucapan anda berpanjang-panjang soal
mukhtalit dan mudhtarib tidak ada relevansinya dengan kasus ini jadi
saya tidak akan mengomentarinya.
Sama halnya dengan apa yang kita bicarakan bahwasannya kita tidak bisa memastikan pertemuan dan penyimakan Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar. Apalagi hal ini diperkuat tidak diketahuinya tahun wafat Maalik Ad-Daar.
Saya pikir, hal ini mudah untuk dicerna bagi mereka yang masih fresh dalam berpikir. Tidak terbawa asumsi sebelum menganalisa.
Ada petunjuk ke arah pertemuan dan penyimakan Abu Shalih dengan Malik, dimulai dari kemungkinan bertemu (yang anda abaikan begitu saja, seolah pertemuan hanya bisa ditegakkan dengan tahun wafat),
kemudian penegasan oleh para ulama terdahulu akan periwayatan Abu
Shalih dari Malik tanpa adanya penjelasan soal inqitha’ dan kredibilitas
Abu Shalih yang terkenal tsiqat bukan mudallis sehingga pernyataan ‘an Abu Shalih diterima. Lalu apa petunjuk Inqitha’ anda, tidak diketahui tahun wafat yang berarti anda sendiri tidak bisa memastikan apa benar inqitha’ atau tidak (jadi hanya dugaan inqitha’) dan penukilan Al Khalily yang tidak jelas siapa yang mengatakan, ini pun juga ditentang oleh nukilan sebelumnya bahwa Abu Shalih mendengar dari Malik. Atau mungkin petunjuk anda itu adalah pernyataan yang anda buat sendiri “bahwa penyimakan Abu Shalih tidaklah masyhur di kalangan muhaddis”. walaupun jika benar penyimakan itu tidaklah masyhur (periwayatannya yang masyhur) maka itu tidak membuat riwayat Abu Shalih menjadi inqitha’. Jadi pernyataan yang anda buat sendiri tidak menguatkan hujjah anda.
Anda mengatakan
Saya katakan : Analisis Anda telah salah dalam memandang ‘illat hadits sehingga menimbulkan persepsi keliru yang cukup fatal sebagaimana pernyataan Anda di atas. Saya kira tidak perlu diulang di sini alasan inqitha’ atau irsal antara Abu Shaalih dengan Maalik Ad-Daar. Karena penjelasan di atas telah menggugurkan kalimat-kalimat panjang Anda tersebut.
Maaf, tetapi illat anda hanyalah sebatas dugaan inqitha’ sehingga ‘illat anda sendiri mengandung banyak ‘illat. Jadi jangan dengan mudah menjudge inqitha’ kalau anda tidak bisa membuktikannya.
[bersambung]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar