Shahih Hadis Malik Ad Daar : Menjawab Syubhat Inqitha’ Abu Shalih dari Malik Ad Daar
SUMBER TULISAN: secondprince.wordpress.comPenulis: J Algar
Ternyata lama menghilang di dunia maya membuat saya ketinggalan banyak hal diantaranya tanggapan terhadap tulisan-tulisan saya. Masih seputar hadis tawassul, (tentu tanpa diiringi niat mau menang sendiri) saya dapat cukup bersabar untuk terus berdialog mengenai keshahihan hadis Malik. Saudara yang saya hormati itu telah kembali menanggapi tulisan saya dalam tulisannya http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/04/kelemahan-riwayat-maalik-ad-daar-dialog_20.html.
Saya telah membacanya dan mendapati
ternyata beliau masih tetap berkeras pada pendiriannya yang saya anggap
keliru. Setelah membaca tulisan saya, beliau mengatakan
tetap saja saya tidak merasa puas akan jawabannya. Pernyataannya hanya berkisar pada “keyakinan” terhadap satu kemungkinan yang tidak didapatkan qarinah dalam perajihan.
Padahal dalam tulisan saya yang lalu
telah saya sebutkan qarinah yang dimaksud, sayang sekali ternyata hal
itu belum memuaskan beliau. Memang puas atau tidak puas relative
sifatnya, kita terkadang lebih puas dengan apa yang kita yakini daripada
keyakinan orang lain, kita terkadang menetapkan standar yang tinggi
bagi orang lain padahal kita sendiripun tidak dapat memenuhi standar
tersebut.
Saya telah memberikan penjelasan yang cukup panjang mengenai kekeliruan cacat Inqitha’ Abu Shalih dari Malik. Di
sana telah saya sebutkan bahwa menurut persyaratan Imam Muslim hadis
mu’anan dapat dianggap bersambung jika kedua perawi memiliki kemungkinan
untuk bertemu. Argumen saya bersandar pada dua fakta penting, Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar dan Malik Ad Daar ternyata masih hidup pada masa khalifah Usman. Fakta ini tidak memuaskan beliau dan beliau menanggapinya dengan perkataan.
Allaahul-Musta’aan !! Telah disepakati bahwa tidak ada data tentang tahun wafat Maalik Ad-Daar. Oleh karena itu, bukankah di sini ada kemungkinan bahwa :
“Maalik wafat di awal masa kekhilafahan ‘Utsman dan Abu Shaalih lahir di akhir pemerintahan ‘Umar”.
Konsekuensinya, sangat mungkin saat wafatnya Maalik Ad-Daar, Abu Shaalih As-Sammaan baru berusia setahun, dua tahun, tiga tahun, dan seterusnya sebelum ia dianggap bisa diterima periwayatannya – sebagaimana hal itu ma’ruf di kalangan muhadditsiin.
Makanya kalau memang tidak bisa mencari
kepastian maka kita bisa mencari kemungkinan yang paling dekat secara
metodis. Jika tidak ada tahun wafat kita dapat menggunakan data lain.
Beliau menyajikan dua kemungkinan yaitu
- Abu Shalih lahir di akhir pemerintahan Umar RA
- Malik wafat di awal kekhalifahan Usman RA.
Dua kemungkinan ini tidak memiliki dasar
atau qarinah yang menguatkannya, sebaliknya terdapat petunjuk yang dapat
memberatkan kedua kemungkinan ini.
Dalam kitab Siyar A’lam An Nubala biografi Abu Shalih kita dapati keterangan bahwa selain Abu Shalih lahir pada masa khalifah Umar, Ad Dzahabi mengatakan bahwa Abu Shalih menyaksikan peristiwa pengepungan terhadap Usman. Kata-kata “menyaksikan” yang digunakan Dzahabi memiliki faedah bahwa pada
saat itu Abu Shalih telah dewasa atau minimal memenuhi persyaratan
untuk diterima kesaksiannya (sudah mencapai usia baligh).
- Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa pengepungan Usman RA terjadi pada tahun 35 H, dengan memanfaatkan data ini kita dapat memperkirakan kapan Abu Shalih lahir.
- Usia baligh kita misalkan adalah 17 tahun ke atas sehingga dengan ini diketahui bahwa Abu Shalih lahir pada tahun 18 H atau sebelum itu.
- Kekhalifah Umar berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun dan berakhir pada tahun 23 H. Data-data ini menyimpulkan bahwa kemungkinan Abu Shalih lahir pada masa awal atau pertengahan zaman khalifah Umar.
Kemungkinan ini lebih masuk akal dan
sesuai dengan apa yang dikabarkan tentang Abu Shalih bahwa ia berumur
panjang dan wafat tahun 101 H. kekhalifahan Umar dimulai tahun 13 H maka
jika Abu Shalih lahir pada awal pemerintahan khalifah Umar, dia akan
berumur 88 tahun, sedangkan jika ia lahir pada pertengahan kekhalifahan
Umar tahun 18 H maka, dia wafat saat berumur 73 tahun. Sehingga dengan
memanfaatkan data-data ini kemungkinan yang lebih rajih adalah Abu
Shalih lahir pada masa awal khalifah Umar dan paling jauh pada
pertengahan masa kekhalifahan Umar.
Malik bin Iyadh adalah orang yang
dipercaya oleh kedua khalifah yaitu Umar dan Usman. Kedudukannya sebagai
orang yang dipercaya oleh dua khalifah ini membuat ia mendapat julukan
sebagai Malik Ad Daar (hal ini sudah saya kutip dari Al Ishabah 6/274 no 8362).
Tentu saja pemberian julukan adalah sesuatu yang berlangsung dalam
waktu lama alias tidak terjadi dengan sekejap. Hal ini menyiratkan bahwa
Malik Ad Daar melalui fase yang lama dalam kekhalifahan Usman dan
menafikan kemungkinan kalau ia wafat pada awal kekhalifahan Usman. Lebih
mungkin julukan Malik Ad Daar tersebar di kalangan tabiin setelah Malik
melewati kekhalifahan Usman. Sebelumnya saya sudah mengutip dalam kitab
Tarikh Dimasyq Ibnu Asakir 56/491 terdapat penukilan dari Muawiyah bin Salih yang berkata telah mendengar Yahya bin Ma’in mengatakan Malik Ad Daar maula Umar bin Khattab termasuk tabiin dan muhaddis Madinah. Pernyataan bahwa Malik Ad Daar adalah Muhaddis Madinah memiliki
faedah bahwa beliau cukup dikenal di kalangan tabiin sebagai orang yang
mengajarkan hadis dan tentu lebih bisa dimaklumi bahwa pengajaran hadis
akan lebih mudah dilakukan setelah Malik tidak lagi menjabat kedudukan
tertentu dalam pemerintahan (baik khalifah Umar maupun Usman). Data-data
ini menunjukkan bahwa lebih mungkin Malik Ad Daar masih hidup sampai
peristiwa pengepungan Usman dimana pada saat itu Abu Shalih juga sudah
dewasa.
Kita tanya pada yang bersangkutan : “Mungkinkah ini ?”. Atau, kemungkinan ini dianggap sebagai kemungkinan yang mengada-ada ? Jika memang ini memungkinkan, mengapa Anda mengatakan bahwa kemungkinan ini bukan merupakan satu ‘illat ?. Telah berlalu contoh penjelasan hadits mudltharib dan periwayatan dari mukhtalithiin yang sebenarnya saya harapkan dengan ini Anda menangkap maksud saya. Namun ternyata, Anda tidak berhasil menangkap sinyal-sinyal saya tersebut.
Kalau ditanya mungkin? Ya mungkin saja, siapa sih yang bisa memastikan, tetapi jika kemungkinan tersebut dijadikan illat yang menjatuhkan derajat hadis Malik menjadi dhaif maka
saya katakan itulah yang mengada-ada. Sudah saya tunjukkan kemungkinan
yang lebih kuat bahwa Abu Shalih mungkin untuk bertemu dan menyimak dari
Malik Ad Daar dan sesuai dengan persyaratan Imam Muslim maka hadisnya
dianggap bersambung. Mengenai mudltharib dan mukhtalith saya kira ada
beberapa hal yang harus diluruskan. Anda sebelumnya mengatakan
Bukankah Anda mengenal hadits mudltharib yang termasuk klasifikasi dla’if ? Mengapa ia dla’if ? Karena ia mempunyai beberapa aspek/faktor/kemungkinan yang sama-sama kuat yang tidak bisa ditarjih salah satunya.
Atau mungkin Anda pernah mendengar tentang mukhtalithiin (orang-orang yang bercampur/berubah hafalannya ? Bukankah termasuk riwayat dla’if jika kita tidak bisa memastikan sebuah riwayat apakah ia disampaikan sebelum atau sesudah rusaknya hafalannya ?
Keduanya baik mudltharib dan mukhtalith ditetapkan dengan data-data yang ada bukan dengan kemungkinan, misalnya soal mudltharib pada sanad, kita temukan dalam satu hadis yang sama sanad-sanad yang berlainan seperti berikut
- Walid bin Katsir-Muhammad bin Abbad bin Ja’far-Abdullah bin Abdullah bin Umar-Abdullah bin Umar-Rasulullah SAW
- Walid bin Katsir-Muhammad bin Ja’far-Abdullah bin Abdullah bin Umar-Abdullah bin Umar-Rasulullah SAW
- Walid bin Katsir-Ubaidillah bin Abdullah bin Umar-Abdullah bin Umar-Rasulullah SAW
- Walid bib Katsir-Abdullah bin Abdullah bin Umar-Abdullah bin Umar-Rasulullah SAW.
Kita tidak dapat memutuskan mana yang
lebih kuat karena sanad-sanad tersebut memang ada dan tidak bisa
diputuskan mana yang lebih kuat. Berbeda dengan kasus yang kita
bicarakan, saya sebelumnya telah menyajikan kemungkinan pertemuan Abu Shalih dari Malik dengan data-data yang ada jadi hujjah saya tidaklah asal mungkin semata, berbeda dengan kemungkinan anda inqitha’ Abu Shalih dari Malik yang tidak didasari data-data atau petunjuk apapun. Data apa yang menunjukkan kemungkinan inqitha’ Abu Shalih dari Malik?. Begitu juga soal mukhtalith, jika anda mengatakan bahwa sulit untuk memastikan sebuah riwayat apakah ia disampaikan sebelum atau sesudah rusaknya hafalannya
maka ini memang menjadi masalah tetapi masalah ini berdasar pada fakta
bahwa perawi yang kita bicarakan memang mukhtalith bukan kemungkinan
mukhtalith. Inqitha’ harus berdasar pada fakta yang jelas misalnya tahun lahir dan tahun wafat yang membuat tidak mungkin bertemu atau penetapan ulama mu’tabar bahwa sanad tersebut inqitha’.
Disini faktanya tahun lahir dan tahun wafat itu harus benar-benar ada,
begitu pula siapa Ulama yang menegaskan inqitha’ itu harus benar-benar
ada. Ini yang saya maksud cara berpikir anda itu terlalu ketat dan
dengan cara anda ini pula saya bisa mendhaifkan banyak hadis shahih.
- Contohnya bukankah ‘Amasy itu seorang mudallis, apakah hadisnya dengan lafal ‘an dari Ibrahim, Ibnu Abi Wail dan Abi Shalih itu menunjukkan pasti penyimakan langsung?. Apakah anda bisa memastikan ‘an ‘an ah ‘Amasy dari gurunya itu pasti bebas dari tadlis?. Dengan cara berpikir anda tentu ini masih mungkin dan merupakan sebuah illat yang berarti hadis Shahih Bukhari banyak yang mengandung illat karena Bukhari telah berhujah dengan ‘an ‘an ah ‘Amasy.
- Atau contoh lain ‘an ‘an ah Abu Zubair dari Jabir, apakah anda bisa memastikan hadis dengan lafal an Abu Zubair dari Jabir berarti penyimakan? Bukankah kedudukannya sebagai mudallis membuatnya mungkin untuk meriwayatkan hadis Jabir dari orang lain?. Apakah anda akan mengatakan ini illat yang mendhaifkan?. Dengan cara berpikir anda tentu ini masih mungkin dan merupakan sebuah illat yang berarti banyak hadis Shahih Muslim yang mengandung illat yang menjatuhkannya ke derajat dhaif karena Imam Muslim telah berhujjah dengan ‘an ‘an ah Abu Zubair dari Jabir.
Cara berpikir anda yang terlalu ketat dimana saya mempersepsi hal tersebut sebagai cara untuk mencari-cari kelemahan merupakan langkah yang tidak bijaksana dalam menilai hadis.
Satu-satunya hujjah yang anda bawa adalah pernyataan Al Khalili yaitu “Dikatakan
bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari
Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah
meng-irsal-kannya”.
Lucunya dengan pernyataan Al Khalili ini anda langsung berkata
Lucunya dengan pernyataan Al Khalili ini anda langsung berkata
Makna perkataan Al-Khaliliy ini bahwa asal periwayatan Abu Shaalih dari Malik adalah irsal, dan kemudian ada pernyataan dari sebagian ulama yang menyelisihi hal itu dengan mengatakan penyimakannya. Adanya pernyataan sima’ Abu Shaalih dari Maalik inilah yang coba dicatat oleh Al-Khaliliy dimana pernyataan tersebut telah menyelisihi yang ma’ruf tentang keirsalannya.
Hujjah ini bersifat subjektif, bagian mana dari kata-kata Al Khalili yang menunjukkan bahwa hadis Abu Shalih dari Malik itu ma’ruf keirsalannya atau asalnya adalah irsal. Orang lain bisa berkata sebaliknya bahwa
Al Khalili menekankan terlebih dahulu penyimakan Abu Shalih yang
mendengar langsung dari Malik menunjukkan bahwa Al Khalili lebih condong
pada penyimakan dibanding irsal. Atau yang umum pada saat itu adalah Abu Shalih mendengar dari Malik tetapi ternyata ada sebagian ulama yang mengatakan hadis tersebut irsal. Ini
menunjukkan penyimakan Abu Shalih lebih dikenal sehingga tidak ada
satupun penukilan dari ulama mu’tabar yang menetapkan adanya inqitha’.
Justru di sini ‘illat itu berada. Sangat aneh dan enteng sekali Anda mengatakan bahwa perkataan Al-Khaliliy itu adalah perkataan yang ‘gak jelas’ dikatakan oleh siapa. Tentu saja apa yang dikatakan oleh Al-Khaliliy itu berdasarkan penilaiannya dari para ahli hadits di masanya atau masa sebelumnya. Tidaklah ia mengatakan hal ini kecuali memang perkataan tersebut masyhur di masanya (yaitu sebagian mengatakan sima’, sebagian lain mengatakan irsal).
Kalau memang menurut anda sangat jelas
maka saya meminta bukti dari anda, siapa yang dimaksud Al Khalily
sebagai yang mengatakan keirsalan yang ia maksud?. Kalau anda maksudkan (sesuai dugaan instan anda) bahwa perkataan Al Khalily berdasarkan penilaian ahli hadis dimasanya maka yang masyhur pada saat itu adalah sebagian
ulama mengatakan Abu Shalih mendengar dari Malik dan sebagian lagi
mengatakan irsal (kata sebagian jauh lebih objektif dibanding kata
umumnya atau yang dikenal). Apakah anda bisa merajihkan salah satu,
nah jika tidak maka illat yang anda katakan itu belum berada tetapi
mungkin saja ada dan mungkin saja tidak ada. Seandainya kita mengetahui
siapa ulama-ulama tersebut maka kita dapat memilih yang lebih kuat
pendapatnya. Masalahnya tidak ada keterangan siapa nama ulama-ulama
tersebut. Perhatikan poinnya
- Hadis Abu Shalih dengan lafal ‘an dari Malik dimana Abu Shalih bukan mudallis
- Ada kemungkinan Abu Shalih mendengar dari Malik
- Ada kemungkinan Abu Shalih mengirsalkan dari Malik
Dengan ketiga poin di atas sudah jelas
kemungkinan yang lebih rajih adalah penyimakan Abu Shalih dari Malik
yang ditetapkan oleh poin 1 dan 2. Tidak pada tempatnya anda mengatakan
kalau hadis lafal an bisa saja mursal, karena mursal ditetapkan
atas perkataan ulama yang mu’tabar sedangkan dalam kasus hadis Malik
tidak ada penegasan ulama mu’tabar yang dimaksud.
Sangat aneh Anda berhujjah bahwa para ulama tidak ada yang mengatakan dalam kitab-kitabnya Abu Shaalih ini me-irsal-kan hadits dari Maalik Ad-Daar. Jika memang ada riwayat irsal Abu Shaalih dari Maalik, tentu mereka mencatatnya – begitu yang saya tangkap dari tulisan Anda. Selanjutnya, dengan semangatnya Anda kemudian mengatakan kebersambungan sanad (dengan isyarat sima’) dari perkataan para imam bahwa “Abu Shaalih meriwayatkan hadits dari Maalik Ad-Daar (rawaa ‘an Maalik Ad-Daar atau yang semakna dengannya).
Telah saya katakan – dan juga contohkan – bahwa perkataan “riwayat” itu tidak bisa dijadikan hujjah sebagai penyimakan tanpa qarinah. Tidak perlu saya ulang di sini.
Qarinah sudah saya sebutkan dan ngomong-ngomong apakah illat bisa ditetapkan tanpa adanya qarinah?. Jika penyimakan tidak bisa dipastikan maka hadis lafal an oleh perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttasil kecuali anda bisa membuktikan kemursalannya dengan menunjukkan melalui
- Tidak mungkin adanya pertemuan dengan analisis tahun lahir dan wafat
- Pengutipan Ulama mu’tabar bahwa terjadi inqitha’
Kedua hal ini harus benar-benar terbukti, tidak hanya bersifat mungkin atau dugaan semata. Karena illat yang mendhaifkan tegak berdiri dengan hujjah bukan dengan zhan semata. Dalam kasus hadis Malik anda tidak tahu tahun wafat Malik jadi
tidak bisa dipakai. Kemudian anda juga tidak bisa menetapkan siapa
ulama yang menegaskan inqitha’. Jadi itupun tidak bisa dipakai.
Akan saya coba jawab pernyataan Anda bahwa para imam tidak ada yang menyatakan secara shaarih lagi manthuq kemursalan riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar.
Saya katakan : Pernyataan Al-Khaliliy di atas telah membantah Anda, walau mungkin itu belum memuaskan Anda.
Bukan masalah puas dan tidak puas, tetapi
masalahnya Al Khalili juga menegaskan adanya penyimakan, bagaimana bisa
anda menafikannya begitu saja. Orang yang objektif menilai data dengan
adil
Perlu Anda ketahui bahwa dalam banyak kitab ‘Uluumul-Hadiits telah banyak dijelaskan bahwa jalan mengetahui kemursalan hadits/riwayat itu ada bermacam-macam. Diantaranya adalah :
1. Mengetahuinya dengan cara mencermati perkataan para imam ahli hadits bahwa si Fulan telah melakukan irsal. Cara ini adalah maklum. Misalnya saja – sebagaimana contoh yang telah saya berikan – bahwa ‘Atha’ bin Abi Rabbah telah memursalkan riwayat dari beberapa orang shahabat. Pernyatan ini ditegaskan secara manthuq oleh para ulama dalam kitab mereka.
Dan inilah hujjah Anda – yang Anda kira sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui kemursalan riwayat.
Sejak kapan saya mengira begitu, lagi-lagi anda menisbatkan pada saya hal yang tidak ada pada saya. Kita sepakat cara ini tidak bisa diterapkan pada kasus hadis Malik karena tidak ada penegasan mantuq oleh para ulama.
2. Mengetahuinya dengan melakukan penelitian tentang sejarah, tahun lahir, tahun wafat, dan yang lainnya. Cara ditempuh jika sebagai alternatif jika tidak ada pernyataan ulama yang menegaskan penyimakan atau kemursalan riwayat. Dan inilah yang sedang kita bicarakan kali ini. Dengan cara ini pula, riwayat mudallas dapat ditentukan – tapi bukan di sini kita bicarakan riwayat mudallas.
Lha memangnya dalam kasus Malik cara ini
bisa digunakan?. Bukankah anda sendiri tidak tahu tahun wafat Malik yang
berarti cara inipun tidak bisa dipakai.
Dua jalan di atas (dan juga jalan-jalan yang lain yang tidak saya sebutkan) riwayat bisa diteliti apakah ia muttashil atau munqathi’.
Jadi, untuk mengetahui adanya inqitha’ ataupun irsal yang ditempuh oleh muhadditsin tidaklah selalu diperoleh melalui jalan adanya perkataan ulama sebelumnya akan adanya inqitha’ atau irsal. Apakah Anda terlalu awam dengan kitab-kitab takhrij para ulama melalui dua metode di atas ?
Kalau memang ada jalan lain, seharusnya
jalan itulah yang anda sebutkan bukannya malah, maaf berbasa basi
menisbatkan hal yang aneh pada saya.
Dan apabila tidak diketahui bertemunya, maka hukum asal dua perawi yang sejaman adalah bertemu dan mendengar selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’ seperti ditegaskan oleh imam mu’tabar, atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan, atau perbedaan negeri yang jauh dan tidak adanya rihlah (bepergian untuk mencari hadits)”
Silakan perhatikan apa yang saya cetak tebal (bold) di atas. Sekarang saya tanya ulang kepada Anda : “Adakah kemungkinan bahwa Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan ?”. Saya harap Anda bisa menjawab dengan jujur – karena prinsip dalam diskusi adalah mencari kebenaran.
Mari kita perhatikan yang anda cetak tebal, ada dua yaitu
- Selama tidak didapatkan adanya indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’
- Atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan
Sudah saya tunjukkan Abu Shalih dan Malik sejaman. Adakah
indikasi yang menunjukkan ketiadaan sima’?. Jawabannya tidak ada, tidak
ada penegasan dari imam mu’tabar. Saya rasa kita sepakat Al Khalily tidak menyebutkan itu pendapat siapa. Jadi cetak tebal pertama tidak ada masalah bukan. Sepertinya yang anda permasalahkan adalah cetak tebal kedua yaitu atau tidak adanya kemungkinan bertemu dikarenakan usia belia seorang perawi yang tidak memungkinkannya menerima periwayatan. Di sini anda kemudian bertanya Adakah
kemungkinan bahwa Abu Shaalih tidak bertemu dengan Maalik Ad-Daar
dikarenakan usianya yang belum mencukupi untuk menerima periwayatan?.
Bagi orang yang kritis pertanyaan anda dan hujjah cetak tebal anda itu
tidak nyambung, ada perbedaan besar di antara keduanya. Kata yang anda
cetak tebal menunjukkan tidak ada pertemuan karena usia perawi yang tidak memungkinkan, artinya kita memiliki data yang pasti bahwa usia perawi tersebut memang tidak memungkinkan. Pertanyaan anda justru adakah kemungkinan usia Abu Shalih belum cukup sehingga mungkin Abu Shalih tidak bertemu?. Yang anda cetak tebal adalah kemungkinan tidak bertemu dengan dasar data yang valid mengenai usia sedangkan pertanyaan anda dalam kasus hadis Malik adalah kemungkinan tidak bertemu karena mungkin usia Abu Shalih tidak mencukupi (karena tidak ada data valid soal usia). Mungkin karena mungkin, bisakah anda melihat kalau anda terburu-buru dalam berhujjah.
Jika masih ada kemungkinan adanya kelemahan riwayat yang dengan itu tidak bisa di-tarjih dengan kemungkinan lain yang menunjukkan keshahihannya; maka riwayat itu termasuk dla’if. Ini termasuk bagian dari ‘illat hadits. Saya kira, tidak perlulah saya mengulang beberapa kali pernyataan ini.
Bicara soal kemungkinan, anda terlalu
ketat dalam berandai-andai. Dengan kemungkinan gaya anda ini saya bisa
mendhaifkan begitu banyak hadis Shahih Bukhari dan Shahih Muslim karena
hadis tersebut diriwayatkan dengan lafal ‘an oleh perawi mudallis yang
tidak bisa dipastikan penyimakannya jadi mungkin terputus.
Adapun pernyataan Anda yang menukil syarat Al-Imam Muslim bahwa riwayat tersebut diterima dengan syarat sejaman dan ada kemungkinan untuk bertemu; maka penjelasannya adalah sebagaimana di atas. Maksudnya, “kemungkinan bertemu” di sini adalah kemungkinan yang benar-benar nyata tanpa ada kemungkinan lain yang berlawanan dengan itu.
Saya sudah tunjukkah hujah saya di atas
dan sekarang saya katakan sungguh naif, anda berkata soal kemungkinan
yang benar-benar nyata. Apakah Inqitha’ anda itu mungkin? Bukankah
mungkin inqitha’ ini karena mungkin juga usia Abu Shalih tidak
mencukupi?. Dari sisi mana kemungkinan ini bisa benar-benar nyata?. Bagi
saya itu terlalu banyak mungkinnya. Saya tanya apakah jika memang kedua
perawi sejaman maka itu sudah benar-benar nyata penyimakan?. Bukankah
ada kemungkinan mursal khafi? Lantas bagaimana bisa anda tidak
mempermasalahkan hadis-hadis perawi yang pernah memursalkan hadis.
Bukankah jika ia pernah memursalkan hadis tidak menutup kemungkinan
kalau ia tidak menyimak hadis lafal ‘an secara langsung. Jika ada perawi
yang meriwayatkan dari 5 sahabat dengan lafal ‘an kemudian diketahui
bahwa salah satunya diriwayatkan dari sahabat secara mursal khafy maka
bukankah ada kemungkinan riwayat dari 4 sahabat yang lain mursal khafy
pula.? Yah kan mungkin saja.
Akan saya coba contohkan penerapan persyaratan Al-Imam Muslim itu, yaitu : Riwayat Rasyid bin Sa’d dari Tsauban sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Al-Imam Ahmad 5/277 (Cet. Al-Halabiy) tentang mengusap kaus kaki. Ibnu Abi Haatim dalam Al-Maraasil (hal. 22) dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari ayahnya ia berkata : “Rasyid bin Tsauban tidak mendengar dari Tsauban”.
Saya akan coba tulis jawaban kritikan tersebut dari sisi persyaratan Al-Imam Muslim : “Sejaman”. Bukan tashhiih secara keseluruhan, ataupun membandingkan perkataan Imam yang lain bahwa Rasyid mendengar dari Tsauban. Tolong diperhatikan yang ini.
Apakah Rasyid bin Sa’d itu sejaman dengan Tsauban hingga memungkinkan mendengarkan/menerima hadits darinya ?
Tsauban diketahui meninggal tahun 54 H. Sedangkan informasi Raasyid bin Sa’d bukan dari sisi tahun kelahirannya. Namun dari sisi peristiwa lain yang ia ikuti. Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan bahwa Raasyid bin Sa’d ini ikut dalam perang Shiffin. Telah diketahui bahwa perang Shiffin terjadi pada tahun 36 H. Dari sini diketahui secara pasti bahwa antara Raasyid dan Tsauban itu sejaman kurang lebih (minimal) selama 18 tahun.
Dari sinilah syarat sejaman karena kemungkinan bertemu sudah pasti ada…. yaitu minimal 18 tahun.
[Contoh saya bawakan dari kutaib Al-Mashhu ‘alal-Jaurabain karangan Al-Imam Jamaluddin Al-Qaasimiy, taqdim : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir, dan ta’liq Asy-Syaikh
Tentu saja ini berbeda dengan kasus Abu Shaalih As-Sammaan dengan Maalik Ad-Daar, Kemungkinan pertemuan mereka itu belum pasti, sebab masih ada kemungkinan lain yang telah saya sebutkan di atas. Oleh karena itu, keliru jika Anda menerapkan persyaratan Imam Muslim dalam riwayat Abu Shaalih dari Maalik ini. Klaim Anda tidak mencukupi dalam hal ini.
Kemungkinan lain anda itu sudah saya
bahas di atas lagipula kasus hadis Malik tidaklah sama dengan contoh
hadis yang anda bawa. Karena dalam contoh anda terdapat penetapan yang
jelas dari Imam mu’tabar bahwa hadis tersebut inqitha’ sedangkan pada
kasus Malik tidak ada.
Jika telah diketahui keterputusan riwayat atau adanya kemungkinan keterputusan riwayat, maka riwayat dianggap mursal. Sama saja apakah ia perawi mudallis atau bukan – walau ia termasuk tsiqah. Apalagi dalam riwayat Abu Shaalih di sini hanya dinyatakan dengan kata “riwayat” saja dari Maalik Ad-Daar, dan disampaikan dengan shighah : ‘an.
Adanya kemungkinan keterputusan bisa
dianggap mursal jika memang ada hujjah pasti yang menunjukkan bahwa
sanad tersebut mungkin terputus. Kalau kemungkinan tersebut hanya
berdasar pada dugaan atau kemungkinan pula maka lebih baik berhujjah
dengan kesaksian perawi tersebut yang terkenal tsiqat dan bukan
mudallis. Karena dalam hal ini telah ditetapkan bahwa hadis lafal an
dari perawi tsiqat bukan mudallis adalah muttasil jika tidak ada
keterangan yang membatalkannya. Ini lebih pasti dari sekedar
kemungkinan.
Hadits mu’an’an ini diterima itu jika memenuhi 5 persyaratan. Dari kelima persyaratan itu, 2 persyaratan harus mutlak ada (sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Muslim), yaitu :
1. Hadits mu’an’an itu bukan termasuk hadits mudallas.
2. Adanya kemungkinan mereka untuk saling bertemu – lihat sedikit perincian penjelasan beserta contoh yang telah saya tulis di atas.
Saya sudah menunjukkan bahwa kedua
persyaratan tersebut terpenuhi, silakan dilihat dan dipelajari kembali.
Mohon maaf kalau ada kata-kata yang salah.
.
.
Salam Damai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar